Sudah tengah malam, suara jangkrik pun terdengar jelas. Menandakan bahwa orang-orang sudah tertidur pulas, kecuali Nala yang gelisah. Sementara Alfa menyembulkan sedikit kepalanya.
Pelan-pelan Nala turun dari kasur, mengendap-endap menuju jendela agar Pesa tidak bangun. Melihat-lihat keluar, di mana ayahnya berdiri tadi. Dan ternyata Gibran tak ada lagi di sana.
Baru saja akan menuju lemari, Pesa menggeliat. Masih dengan mata yang setengah terpejam Pesa melihat pintu lemari bergerak sendiri. Hal itu membuatnya bangun dalam keadaan kaget.
"Kak, kenapa pintu lemarinya gerak?" tanya Pesa gemetaran. Tangannya memeluk bantal.
"Eee ... mu-mungkin hantu," ceplos Nala tak tahu harus berkata apa.
Pesa gadis penakut ini langsung berteriak memanggil Nita. Berlari keluar dalam keadaan panik. Nala pun panik karena itu, sebab yang di dalam lemari bukan hantu, melainkan Alfa.
Keluarnya Pesa memberi kesempatan Nala untuk mengeluarkan Alfa dari lemari.
"Alfa, ayo keluar." Nala memanggil setengah berbisik.
Alfa yang masih mengerti apa yang dikatakan Nala langsung berdiri. Ia tak melihat ada kayu, sehingga kepalanya tak sengaja membentur kayu tersebut.
"Eee monyet," latah Alfa memegangi kepala.
"Ayo! Keburu Pesa balik," peringat Nala sambil mengajak Alfa menuju jendela.
Alfa yang masih merasa sakit di bagian kepala, menuju jendela yang ditunjuk oleh Nala. Waahh, isi kepalanya saat ini seakan sedang perang.
Suara Pesa mengadu takut pada Nita sudah terdengar mendekat. Nita pun hanya menyangkal dan memarahi karena omong kosong Pesa tentang hantu.
"Kalau ibu cek gak ada apa-apa, awas saja ya," peringat Nita masuk ke kamar Nala.
Nala yang sudah gugup hanya bisa terpaku di tempat. Beruntung Alfa sudah keluar dari kamar.
"Mana?" tanya Nita mengedarkan pandangannya.
"I-itu, Bu. Di lemari," jawab Pesa gugup.
Dengan antusias Nita membuka lemari yang ditunjuk. Dan alangkah terkejutnya ketika tak menemukan apapun di dalam.
"MANA?!" tanya Nita sedikit geram.
Pesa hanya melongo di tempat melihat tak ada apapun di dalam lemari. Padahal dia benar-benar yakin pintu lemari ini bergerak sendiri.
"Kalau mimpi jangan dibawa-bawa ke alam nyata! Ganggu orang tidur aja," protes Nita keluar dari kamar. Wajar, ibu-ibu itu masih mengantuk dan sedang diganggu dengan keanehan anaknya tercinta.
"Kak Nala, tadi ...."
"Eee, pintu lemarinya daritadi gak bergerak," ujar Nala berbohong.
"Kakak bilang tadi itu hantu," tukas Pesa merasa janggal.
"Kakak kira kamu mau nakutin kakak, makanya kakak bilang itu hantu." Sekali lagi dia harus berbohong. Kalau seandainya bocor pasti Pesa akan balik mengadukannya.
"Kau tidurlah, kakak belum mengantuk."
***
Jembatan ayunan, itulah sebutan warga Negeri Agung untuk jembatan yang di bawahnya terdapat sungai mengalir. Di mana saat ini menjadi tempat Nala dan Alfa menghabiskan waktu selama beberapa minggu ini. Dan lusa adalah hari mereka mengambil ijazah di Baturaja.
"Aku masih ingat pas kepalaku tercium kayu lemarimu. Waaahhh, sangat enak seperti makan ayam," ucap Alfa menutup mata sambil membayangkan saat ini ia sedang memakan bakso. Tangannya pun bergerak mengusap perut.
Nala menyadarkan Alfa dengan memukul bahu. "Ada-ada saja. Kalau enak, kenapa gak diulang?"
"Karena aku kasihan sama kayunya. Masa iya aku keenakan, dia kesakitan karena kepalaku," ujar Alfa seakan kepalanya itu adalah kepala besi.
"Hilih, kepentok batu baru tau rasa." Nala bersedekap menatap ke arah lain.
"Jangankan batu, kepentok hatimu aku juga gapapa."
Ups! Beberapa hari ini Alfa kumat. Mungkin karena tak lama lagi mereka akan berpisah. Nala sudah terbiasa, jadi dia tak lagi jengah dengan ucapan maut milik Alfa.
Angin yang berhembus kali inj sangat menyejukkan. Daun-daun di dahannya menari mengikuti alur angin berhembus.
Tiba-tiba Pesa datang dengan pakaian yang biasa dia pakai. Pakaian berlengan pemdek dan rok selutut. Dengan tatapan tajam dan langkah yang anggun dia mendekat.
Tanpa bicara, tangan Nala dicengkram. Ditarik paksa dari tempat ini. Nala bingung, tapi langkahnya terpaksa berjalan. Alfa ingin mencegah, tapi yang dicegah terus berjalan ke depan.
"Pesa. Kita mau kemana?" tanya Nala.
"Berhenti, Pesa!" cegah Alfa.
Awalnya Alfa berniat untuk menarik Pesa, tapi Nala memperingatkan untuk tetap diam dan hanya mengikuti alur.
Entah apa yang membuat Pesa seperti ini. Berjalan ke depan dengan tatapan tajam, tanpa mengeluarkan kata apapun. Itu pun sambil menarik paksa lengan kakaknya, Nala.
Jalan yang dilewati ini adalah jalan menuju rumah. Di teras barang-barang Nala sudah tergeletak di tanah. Setelah sampai, Nala didorong hingga terjatuh. Tersungkur ke tanah.
"Barang aku kenapa di luar, Bu?" tanya Nala saat Nita keluar sambil mengunyah cemilan.
"Hukuman," jawab Nita singkat.
"Sekarang pilih! Pergi dari sini atau jadi dokter? Atau bisa juga nikah muda," tambah Nita tak peduli dengan Nala.
Gibran yang baru saja pulang mendekat pada anaknya yang terdiam di tempat.
"Pergi dari sini, nak. Buktikan kalau kamu bisa sukses lebih dari namanya dokter," ucap Gibran pada Nala, sambil menatap tajam ke arah Nita.
Nala berdiri, menatap nanar sang ayah. "Ayah gak punya keinginan yang sama dengan ibu, kah?"
"Iya. Ayah juga mau kamu jadi dokter. Tapi karena kamu punya cita-cita sendiri, kamu boleh memilihnya sendiri." Gibran mengelus puncak kepala Nala.
"Nala janji, kalau Nala gak bisa jadi dokter, Nala bakal jadi guru. Masalah uang, nanti Nala akan kerja yah," lirihnya langsung memeluk tubuh Gibran.
"Paling-paling ayah udah koit sebelum kak Nala kesini," sahut Pesa meremehkan.
"Jangan dengarkan dua wanita iblis ini, Nal. Pergilah, ayah menunggumu."
Berat. Langkahnya sangat berat untuk meninggalkan rumah. Nala akan sangat merindukan Gibran. Merindukan sosok yang selalu mendukungnya di titik terberat.
"Bu Nita. Jangan menyesal di kemudian hari, ya." Alfa memperingatkan. Menggenggam tangan Nala untuk pergi dari sana.
Entah bagaimana takdir membawanya. Apakah mungkin masih ada kesempatan bertemu kembali? Tidak ada yang tahu.
Bersambung ....
Maaf ya baru update. Terus baca Mimpi Yang Terluka. Jangan lupa votenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
General Fiction[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...