Part 3 : Awal

98 46 15
                                    

Nala dan Alfa telah tiba di rumah yang dekat dengan jembatan. Di belakangnya terdapat pohon-pohon jati yang tumbuh. Dan kebetulan pemilik rumahnya sedang menyiram tanaman di halamannya.

"Eh, Nala," sahut Devi melihat sahabatnya berkunjung. Lantas menghentikan kegiatan dan lamgsung memeluk Nala.

Nala melerai pelukan. "Aku boleh pinjam kotak P3K-mu, tidak?"

Devi mengangguk sekilas dan langsung merangsek masuk ke dalam rumah. Sementara Nala menarik ujung jaket Alfa untuk duduk di pinggir aspal jalanan. Kelakuan Alfa yang membersihkan tempatnya untuk duduk dengan tangannya, membuat Nala yang melihatnya kesal.

"Mas ini mau duduk atau mau tidur, sih? Duduk saja. Aspalnya sampai kapanpun tidak akan bersih kalau disapu pakai tangan."

Alfa akhirnya duduk menatap ke atas, ke arah rimbun dedaunan pohon. Hening tercipta saat di antara mereka tak ada yang mau membuka pembicaraan.

Kotak P3K yang ditunggu-tunggu dari Devi, datang. Dengan telaten Nala mengobati luka lebam di sudut bibir pemuda. Alfa meringis, lalu dipandangnya wajah Nala dengan lekat. Ada sesuatu yang berbeda dari netra indah yang dihiasi oleh bulu mata lentik itu ketika ditatap lebih dekat.

"Apa yang mas lihat?" Nala merasa diperhatikan bertanya dengan tatapan fokus pada kapas yang menempel di sudut bibir.

Entah sadar atau tidak, Alfa yang sepertinya candu akan wajah gadis itu langsung mengungkap bahwa Nala cantik. Mendengar jawaban itu, Nala menekan kapas di tangannya sehingga Alfa kembali meringis kesakitan.

Meskipun begitu, Alfa tak marah. Justru memperdalam tatapan dan memberikan senyumnya.

"Maaf." Nala merasa bersalah karena tidak mengobati Alfa dengan benar. Sebisa mungkin ia mencoba bersikap biasa-biasa saja.

"Tidak apa-apa. Lanjutkan saja. Meskipun sakit, berarti kau perhatian padaku."

Nala menoleh dengan rona wajah yang sudah berubah merah bak kepiting rebus. Sejenak mereka tidak dapat berkata sepatah katapun kala mata mereka bertemu satu sama lain.

"Ekheemmm!" Devi berdehem pelan, namun mereka sedikitpun tak bergerak. "Hei! Aku tidak suka jadi nyamuk, ya!"

Nala tersentak kaget. Debaran yang ada di dadanya begitu kencang. Matanya berkaca-kaca dengan tubuh yang bergetar. Sementara Alfa menggerutu dalam hati, karena moment tadi dirusak oleh Devi. Setelahnya terbesit rasa bersalah ketika melihat Nala berlari menuju jembatan.

"Nala!" Alfa beranjak dari tempatnya mengejar gadis itu.

Merasa sudah berada di tengah jembatan, Nala berhenti. Bertatapan dengan Alfa membuatnya kembali mengingatkan pada lelaki bernama Esran yang ia putuskan satu tahun yang lalu. Bukan karena Esran mirip dengan Alfa, melainkan sejak kejadian itu ada rasa trauma menghinggap di hatinya.

"Nala, kau kenapa? Maafkan aku jika ada sesuatu yang menyakitimu." Alfa berdiri di belakang Nala dengan rasa bersalah yang menjalar di dirinya.

Dipegangnya bahu Nala sehingga tubuh itu berbalik. Mata indah gadis yang terpejam perlahan mengalirkan buliran bening pada pipi mulusnya. Sepertinya air yang sedari tadi ditahan berhasil menerobos.

"Jangan menangis. Aku tidak suka melihat air matamu terbuang," ucap Alfa seraya mengusap pipi Nala yang sudah terlanjur basah. Mata itu mengerjap pelan setelah merasakan sebuah sentuhan di pipinya.

"Maafkan aku." Kalimat itu dilontarkan untuk kesekian kalinya.

Hati Nala berkata, mengapa tatapan pemuda itu membuatnya menangis? Bukankah Alfa belum tentu sama dengan Esran? Terlebih Alfa itu adalah dulurnya.

Hatinya menggerutu, mengapa wajah Esran terus muncul dalam pikirannya? Kenapa bayangan itu selalu menghantuinya? Apakah tak ada kesempatan baginya untuk membuka hati dan menjalani kembali lembar baru?

"Kenapa kau melamun?" Teguran Alfa membuyarkan lamunan Nala.

"Bukan apa-apa. Dan ini bukan salahmu, mas. Jangan meminta maaf." Nala tersenyum getir dan hendak berlalu.

"Bukan apa-apa, tapi kau menangis? Apa maksudnya itu?" Alfa kembali berhasil membuat Nala berhenti meskipun tak berbalik.

"Itu bukan urusanmu! Diam dan biarkan aku pulang!" jawab Nala dengan penuh penekanan pada setiap perkataannya.

Alfa terdiam. Tapi akhirnya ia mempersilahkan Nala untuk pulang. "Silahkan. Tapi izinkan aku untuk berkunjung ke rumahmu."

"Ke rumahku? Untuk apa?"

"Bukankah kita, sedulur?"

"Pintu rumah terbuka untukmu, mas. Silahkan datang kapan saja. Maaf sebelumnya, aku permisi."

Nala pulang dengan berjalan kaki. Rumahnya agak dekat di sana, sehingga tak perlu meminta Alfa untuk mengantarnya meski tadi ditawarkan.

Bersambung ...

Tekan bintangnya, readers!

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang