"Bibi, boleh tidak, aku meminang anak Bibi?"
Mendengar hal konyol yang keluar dari mulut Alfa, Nala justru tersedak keripik yang ia makan. Teh yang disediakan untuk Alfa langsung diminum sampai habis setengah.
"Apa kamu bilang? Minang aku?" Nala menatap dengan tatapan tak percaya sembari mengelap mulutnya yang basah karena teh dengan tangannya.
"Dengar, ya! Aku belum mau nikah, aku jadi guru!"
"Mending kamu nikah cepat saja daripada jadi guru," timpal Nita yang sejak dulu tidak suka jika Nala bercita-cita sebagai guru.
Nala terdiam. Ternyata, ibunya sampai sekarang belum juga setuju jika ia ingin menjadi guru.
"Ibu, kan, sudah bilang. Ibu maunya kamu jadi dokter, Nal!" ujar Nita penuh penekanan di setiap katanya. Dan untuk kesekian kali dilontarkan kembali.
"Aku phobia sama darah, bu. Aku--"
"Mau phobia atau tidaknya itu urusan kamu! Yang penting ibu mau kamu jadi dokter!" Nita memotong ucapan Nala yang belum sempat dituntaskan. Dan beranjak pergi tanpa kembali mengomel, sebab kehadiran Alfa.
Nala sudah berkali-kali menjelaskan, bahwa ia phobia darah. Setiap kali melihat cairan merah pekat berbau anyir, rasa mual muncul dan akhirnya membuatnya pingsan. Dan kali ini, ia benar-benar kehabisan kata.
"Aku mengacau, ya?" tanya Alfa di tengah kesalnya perasaan Nala saat ini.
"Tidak," jawabnya singkat tanpa menoleh. Pasalnya hal ini sudah sering terjadi jauh sebelum kedatangan Alfa.
"Daripada bosan, kita keluar saja, yuk," ajak Alfa yang merasa bersalah dengan dinginnya sikap Nala.
Nala menaruh remot TV begitu saja, lalu berdiri dan langsung berjalan menuju kamar tanpa berkata sepatah kata pun.
Beberapa menit kemudian, Nala keluar dari kamar dengan setelan baju yang rapi. Rok berwarna merah panjang menutupi mata kaki itu terlihat indah ketika ia berjalan. Rambutnya terurai dengan sedikit jepitan di atasnya.
"Ayo, katanya mau keluar. Aku sudah siap," ujar Nala pada Alfa yang terus menatapnya tanpa berkedip. Setelah kejadian satu tahun lalu, baru hari ini lah ia mau keluar berdua dengan seorang pemuda.
"Ini baru bidadariku," gumam Alfa tanpa ia sadari. Dan masih sedikit terdengar oleh Nala.
"Uluh uluh ... mau kencan, ya? Katanya trauma," sindir Pesa yang baru saja masuk sembari mencomot keripik di depan TV.
"Heh, ternyata ucapan kakak itu bullshit!" lanjutnya menatap sinis pada Nala yang membungkam.
"Trauma bukan berarti tidak bisa keluar bersama lelaki. Terlebih dengan dulur," timpal Alfa yang tahu bagaimana perasaan Nala saat ini. Digenggamnya lengan mulus itu keluar dari rumah.
"Kita mau kemana, mas?" tanya Nala saat Alfa baru saja sudah mengambil motor dari rumah kakeknya. Tak ada jawaban mengingatkannya dengan ucapan Alfa sewaktu berada di rumah.
Di samping rumah, Nita tengah mengangkat jemuran yang sudah kering. Tak ada keinginan untuk bertanya akan kemana Nala pergi. Seilah hal itu bukan hal penting untuk dicemaskan.
Nala duduk menyamping di atas motor setelah mendengar perintah singkat untuk naik. Jok yang terlalu tinggi mengharuskannya untuk berpegan pada bahu yang berlapis dengan jaket.
"Bibi! Anaknya aku bawa untuk dipinang, ya," ujar Alfa sedikit berteriak, lalu menjalankan motornya tanoa menunggu jawaban dari Nita.
Tak ada percakapan selama dalam perjalanan. Hanya angin yang tak terlihat, namun pandai dirasakan yanghadir selama perjalanan berlangsung.
"Kita mau kemana, nih?" Alfa yang merasa bosan membuka pembicaraan. Mengeraskan suara supaya didengar.
"Terserah."
Jawaban Nala itu singkat, tapi dingin. Cara seperti itu pasti membuat lelaki mana saja merasa bosan, lalu menjauh. Bahkan tidak mau mendekat.
Tapi, tidak dengan pemuda yang satu ini. Dengan sejuta akal dan kebucinannya, Alfa bertekad untuk tetap berusaha menarik perhatian Nala yang jutek bin dingin itu.
Berkali-kali pertanyaan dilontarkan, Nala hanya menjawab singkat. Menjawab sepentingnya. Sampai motor itu berhenti di sebuah warung bakso.
"Kenapa kesini?" Kali ini Nala yang bertanya dengan pertanyaan aneh bagi Alfa. Berhenti disini sudah pasti dengan tujuan makan bakso.
"Al! Aku tidak bawa uang," keluh Nala meraih lengan Alfa agar mengurungkan niat. Berharap, kembali menaiki motor, justru tangannya ditarik oleh Alfa.
Bakso yang sudah dihidangkan di depannya ini sungguh menggiurkan. Tapi apa daya Nala yang tidak membawa uang. Semenatara pemuda di depannya itu sudah melahap baksonya.
"Al, aku tidak bawa uang. Aku tidak mau makan ini," keluh Nala mendorong mangkuk bakso yang panas itu.
Alfa terkekeh. "Makan saja, nanti aku yang bayar. Tidak usah malu-malu."
Nala menghela nafas. Kenapa tidak mengatakannya lebih awal? Bakso itu pasti sudah habis kalau tahu Alfa yang membayar.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
Fiction générale[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...