Part 11 : Kebenaran Nala, Tentang Esran

54 34 5
                                    

"Lo berani sama kita?" Fandi menantang.

"Kenapa enggak?" Nala meladeni.

"Sekali lo nyentuh Nala, lo gak selamat!" seru Alfa dari bangkunya dengan mengepalkan tangan. Ternyata Alfa menyeramkan jika sedang marah.

"Biasa aja kali, Bro. Cewek kayak dia gak pantes lo lindungin. Mending sama Yuni, Ayu atau Yayang," jawab Fandi berusaha mempengaruhi.

Sejenak hening, Alfa mendekat ke arah Nala dan Fandi berada. Sekarang dirinya sudah ada di depan Fandi.

"Siapapun yang lo maksud, Nala tetap yang gue pilih." Alfa menggenggam lengan Nala, memilih untuk kembali ke bangku.

***

Sekolah hari ini tak begitu melelahkan. Banyak jam pelajaran kosong, meski hati masih merasa lelah dengan cemoohan warga sekolah. Seperti biasa, Nala jam seperti ini mengantar makanan ke tempat Alfa. Pintu yang ditutup hendak diketuk. Terhenti pula ketika mengingat ucapan Alfa tempo hari.

"Pintu ini tidak terkunci, kecuali malam hari atau saat aku tidak ada di dalam. Jadi masuklah tanpa mengetuk atau memanggil. Jika kau masih melakukannya, berarti itu bukan kau."

Pintu itu langsung dibuka setelah menghela napas. Menampakkan Alfa yang tertidur pulas di sofa panjang. Nala tak tega membangunkan walau hari mulai sore. Piring di tangannya diletakkan di atas meja, sementara ia sendiri duduk di lantai menghadap meja. Kepalanya disandarkan di atas meja tepat memandang Alfa.

"Aku harap, mereka tidak mengatakan apapun. Dan aku harap, kau tidak akan percaya ucapan mereka." Nala bergumam. Harapan yang terlihat tidak mungkin diharapkan tercapai. Sampai akhirnya ia ikut tertidur.

Alfa membuka mata. Ia tak tidur, ia mendengar semua ucapan Nala. Sehingga ia bergumam dalam hati, "Kenapa jika mereka sudah berkata tentang masa lalumu? Kenapa aku diharapkan tidak percaya? Kurasa, gadis sepertimu Nala, tidak akan mungkin melakukan itu. Aku akan mencari tahu."

Mempercayai sesuatu itu harus ada alasan. Mendiamkan adalah hal yang salah.

Tiba-tiba Nala terbangun. Menangkap basah Alfa yang saat ini sedang menatapnya.

"Apa yang kau lihat? tanya Nala dengan garang.

"Bidadari," jawab Alfa tersenyum.

"Gak usah mengadi-ngadi! Nih, makan," suruh Nala menyodorkan makanan yang dia bawa tadi.

"Kamu kalau garang makan cantik," gombal Alfa sibuk mengurus makanannya.

"Terserah."

***

Sejak pagi Alfa tak menegur Nala meskipun keduanya selalu bersama. Tak seperti biasanya.

Satunya sengaja mendiamkan, satunya memang cuek. Jadi tak ada yang berusaha membuka pembicaraan.

Sampai pulang pun tak ada yang mau mengawali pembicaraan.

Masih dengan seragam putih abu-abu, seperti kemarin Alfa mengantar Nala pulang dari sekolah. Sejak Alfa mendiamkan, sejak itu pula sikap Nala kembali dingin, lebih dari sebelumnya. Padahal kecuekkan itu hampir diluluhkan.

"Maaf," ungkap Alfa membuat Nala berbalik. "Maaf, karena aku mendiamkanmu."

Nala mengangguk. Tentu jawabannya iya, tapi tak pasti.

"Kalau kau memaafkanku berarti kau mau jalan denganku. Sekalian aku ingin membeli sesuatu," tawar Alfa bersungguh-sungguh.

"Kapan?"

"Selesai berganti baju, kita berangkat."

Lagi-lagi anggukkan adalah jawabannya. Sampai berlalunya waktu, sekarang mereka sudah berada di atas motor yang dikendarai entah akan ke mana.

Berhenti di toko baju membuat Nala mengernyitkan dahi, heran. Baju untuk siapa yang akan Alfa beli?

"Daerah di sini namanya tadi apa, Nal?" tanya Alfa melangkah masuk ke dalam toko.

"Air Karang, Sukaraya."

"Ooo ...." jawab Alfa singkat. "Sekarang kamu pilih baju yang cocok di tubuhmu, sebanyak yang kau mau."

"Kenapa aku? Kan kamu yang mau beli, Al," protes Nala, tapi yang diprotesi hanya diam. Akhirnya Nala pasrah, ia mulai memilih baju yang menurutnya bagus. Baju atasan berlengan panjang yang paling banyak dipilih, selain rok. Warnanya pun kebanyakan warna merah atau pink cerah.

"Sudah?" tanya Alfa saat Nala berhenti memilih. "Ayo ke kasir."

Setelah selesai membayar, pakaian yang sudah dibungkus itu diserahkan kepada Nala. Tentu Nala kembali protes, sebab pakaian itu Alfa yang membayar.

"Aku tidak punya uang untuk menggantinya, Al," keluh Nala hendak mengembalikan pakaian pada Alfa.

"Dasar gadis dingin, tidak peka. Aku membelikannya untukmu, sebagai permintaan maafku," jawab Alfa. Inilah khasnya, membelikan sesuatu supaya wanitanya memaafkan dirinya.

Nala terdiam. Benarkah ini untuknya? Baru saja mereka berbalik, seorang pemuda yang tentunya sangat dikenal oleh Nala berdiri tepat di hadapannya. Ia kaku di tempat. Apalagi pemuda itu menatap Alfa dari atas ke bawah dengan seksama.

"Lumayan," desisnya mengejek. "Racun apalagi yang kamu pakai ke dia, Nala?"

Esran, mantan pertama yang sudah berkhianat kepada Nala di masa lalu. Mempermalukan Nala di depan teman sekolah dengan tuduhan-tuduhan palsu. Semua temannya menjauh, menghina dan merendahkan membuatnya kehilangan segalanya. Seakan setelah mengakhiri hubungan adalah akhir kebahagiaan.

"Kau jangan tertipu dengannya, ya! Dia ini murahan dan kau jangan sampai menjadi korban selanjutnya." Esran memulai kembali ucapannya di masa lalu dengan tujuan yang sama, yaitu menghancurkan Nala.

"Cukup!" Nala angkat bicara. Selama ini dia hanya diam. Karena ini menyangkut Alfa, rasanya ia tak boleh mengalah.

"Aku tidak seperti yang kau ucapkan. Justru kau adalah pecundang," tambah Nala membela diri.

"Oh!" Esran memotong. "Aku ini masa lalumu, aku tahu semua!"

Dengan sekuat hati Nala berusaha untuk tetap tenang. Emosi tak boleh menguasainya kembali.

"Benarkah? Kau tahu kebenarannya, tapi kau menentangnya. Kau tidak pantas disebut lelaki setelah apa yang kau lakukan!"

Nala lantas pergi tanpa mengajak Alfa yang nampak sedang berpikir keras mengenai percakapan tadi. Alfa tidak mungkin mengejar, jadi buat apa berhenti di parkiran? Baginya Alfa sama saja, tidak akan percaya apalagi sudah banyak yang tidak percaya. Tapi pikirannya salah. Alfa mengejar dan sekarang sedang memegang tangan Nala.

Sebelum Alfa mengejar, Alfa mengingatkan pemuda yang dengan lancang membuat Nala pergi untuk menjaga cara bicara kepada seorang wanita.

"Ikut aku!" Alfa menggenggam lengan Nala, pergi dari tempat ini.

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang