"Nala, dengarkan saya. Saya melakukan ini karena aku mencintaimu."
"Saya ikhlas masuk ke dalam penjara kalau itu bisa membuatmu bahagia."
"Tolong, setelah ini jangan benci diriku."
Peristiwa di mana Randi dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke penjara berputar di pikiran Nala yang sedang duduk di samping ranjang Alfa. Menemani pemuda yang sekarang terbaring koma dan entah kapan akan kembali bangun.
Nala memegang lengan Alfa, dia cium punggung tangan itu penuh cinta. Hatinya berharap, semoga dia tak kehilangan untuk kedua kalinha secepat ini.
"Alfa, kapan kamu bangun? Emangnya kamu gak kasian sama ayah kamu? Cepet bangun, ya." Menangis, hanya itu yang bisa dilakukan Nala saat ini. Perihal ketidaksadaran Alfa tidak bisa ia atur. Hanya yang di-Atas lah yang dapat mengatur semua itu.
"Kak Nala."
Suara Pesa yang baru saja masuk membuat Nala langsung menyeka air yang membasahi wajahnya.
"Kak, Eva udah dapet donor ginjalnya. Operasinya baru dimulai kak," ucap Pesa begitu senang.
"Alhamdulillah kalau gitu. Semoga operasinya lancar," balas Nala yang dihadiahi sebuah pelukan.
"Makasih kak dan maafin Pesa kalau selama ini Pesa salah."
Pesa meminta maaf? Padahal dulu Nala adalah orang pertama yang paling dibenci. Bagaimana tidak? Pesa tidak memiliki apapun lagi sekarang. Dia hanya punya Eva. Profesi dokter saja tidak bisa dia dapatkan. Bahkan biaya operasi dan rencana sekolah Eva, Nala yang akan menanggungnya.
Nala melerai pelukan. "Kalau ada apa-apa kasih tau kakak," ucap Nala membelai kepala Pesa.
"Nala." Suara Alfa terdengar lirih. Bisa dipastikan Alfa saat ini sudah sadar.
Rajes yang duduk di sofa sudut ruangan spontan memanggil dokter. Tak lama, seorang dokter dengan seorang perawat masuk tergesa-gesa, menghampiri Alfa yang sudah membuka mata.
Dokter itu tersenyum. Ia melepas alat bantu pernafasan dari Alfa pasalnya, kondisi Alfa sudah mulai membaik.
"Pasien sudah sadar sepenuhnya. Bahkan sudah boleh pulang. Hanya saja, pasien untuk sementara harus memakai kursi roda karena belum bisa berjalan," detail dokter itu.
Setelah dokter tadi keluar, Nala mendekat ke arah Alfa. Tatapan mereka bertemu, menyiratkan sebuah kerinduan yang tak kunjung dilepaskan.
"Siapa kamu?" tanya Alfa membuat Nala berhenti melangkah. Wajah Nala juga menjadi tegang.
Namun, beberapa detik kemudian Alfa tertawa kencang. Sepertinya puas dengan wajah tegang tadi.
"Al? Are you okay?"
"Aku sedang tidak baik kalau berada di dekatmu, Nala. Rasanya seperti ingin mengerjaimu, selalu," kekeh Alfa.
"Kau itu baru saja sadar. Hilangkan dulu pikiranmu untuk mengerjaiku," omel Nala beralih membereskan barang yang berantakan di atas nakas.
"Lihat saja, setelah menikah aku akan mengerjaimu, haha ...." celoteh Alfa.
Baru sembuh saja sudah tertawa seperti orang gila, saking bahagianya. Mungkin saja karena sudah lama tidak sedekat ini.
Meskipun harus duduk di atas kursi roda, Alfa dibawa pulang. Iya, karena tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ke rumah sakit paling hanya untuk pemeriksaan Alfa lebih lanjut, sesekali, sampai Alfa sudah benar-benar bisa berjalan.
Sementara Randi divonis beberapa tahun penjara di pengadilan beberapa hari yang lalu. Tampak di wajahnya ada rasa bersalah. Kabarnya, Randi tidak pernah mau makan makanan yang dihidangkan oleh pihak polisi. Kecuali, Nala yang mengantarkan makanan. Oleh karena itu, Nala mengantarkan makanan sehari hanya sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
Fiction générale[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...