Ternyata waktu sangat mudah berlalu. Digunakan dengan baik atau sebaliknya, dia akan tetap berlalu. Entah itu disadari oleh manusia, ataupun tidak. Tapi waktu benar-benar berlalu sangat cepat.
Setelah satu hari menginap di Baturaja, hari ini adalah hari pengambilan ijazah. Setelah selesai mengambil, Nala sudah berada di pelabuhan bersama Alfa. Bus yang sudah dipesan pun akan berangkat sekarang.
"Al, nanti kita ketemu lagi di Baturaja, ya," pinta Nala sebelum menaiki bus.
"Setelah aku jadi dokter, aku tunggu kamu di taman," jawab Alfa. Dia memang memiliki kantor warisan sang ayah, tapi dia lebih memilih untuk menjadi dokter. Sedangkan warisannya diserahkan kepada adik bungsunya.
"Boleh aku minta satu hal?" tanya Nala.
"Tentu." Alfa mengiyakan. Menguntai seutas senyumnya untuk menegarkan hati atas kepergian ini.
"Aku minta, jangan jatuh cinta selain padaku." Dibalik kata ini terdapat keberatan yang mewakili. Alfa mengangguk.
Setelah berpamitan, hanya lambaian tangan yang bisa diberikan oleh Nala. Setelah ini ia akan merasa seorang diri, tanpa ada yang menemani.
"Izinkan aku bahagia, Tuhan." Hanya ini do'a yang bisa dilontarkan. Sampai Nala tertidur di dalam bus.
***
Rumah ini rapi dan bersih, tanpa harus Nita bersusah payah membersihkan tapi semenjak kepergian Nala yang baru beberapa hari, rumah kerap kali seperti kapal pecah. Kalau Pesa tidak ada kan tidak masalah. Tentu Nita yang akan membersihkan, kali ini dia mulai naik pitam.
"Pesa! Kamu ini perempuan kok tahan banget rumah kotor. Bersihin!" teriak Nita dari dapur.
"Males ah. Lagi enak-enaknya rebahan juga," jawab Pesa menutup telinganya dengan bantal. Inilah kerjaannya sehari-hari, kalau tidak jalan-jalan dengan teman pasti tiduran di kamar.
Sambil memasang wajah marah, Nita langsung ke kamar Pesa.
"Pesa, ini rumah sudah seperti kapal pecah. Mainan Tio di mana-mana, pakaian dalam lemari acak-acakan--"
"Tinggal diberesin apa susahnya si, bu? Mainan itu juga kan salah Tio yang berantakin," potong Pesa sebelum Nita melanjutkan kata-katanya.
"Selama Nala ada di sini rumah rapi, bersih terus. Masa iya kamu gak bisa contoh yang bener," protes Nita membawa-bawa nama Nala.
Sambil duduk, Pesa menatap tajam Nita di ambang pintu.
"Ibu udah berani ya bandingin aku sama si Nala itu. Sebenernya ibu itu sayang aku apa sayang dia?!"
"Bukan begitu. Ibu mau kamu contoh kelakuan Nala yang bener," lanjut Nita mulai tak tahu harus menjawab apa.
"Sudahlah, Bu. Udah beruntung ya aku mau jadi dokter. Kalau bukan karena ibu, aku sangat malas!" ucap Pesa berdiri mendekat. Dan tanpa rasa bersalah, dia mendorong Nita dan menutup pintu dengan kencang.
Nita tertegun. Selama ini Pesa tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Ada sesuatu yang hilang dari rumah ini. Kehangatan keluarga yang dia rasa perlahan mulai hilang.
Pesa sudah tak lagi menghargai dan Gibran yang mulai bersikap dingin. Lagi-lagi Nita harus melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan ketika Nala dan Pesa di Baturaja. Dia sekarang seolah tidak memiliki seorang putri di rumah ini.
Hari demi hari Pesa mulai kelewatan. Setelah Pesa melanjutkan sekolah ke tingkat SMK dengan jurusan kecantikan, dia sudah jarang mengabari keluarganya di kampung, kecuali minta uang.
Dulu hanya mengirim setiap dua minggu sekali dan sekarang satu minggu saja tidak sampai. Pesa sekarang sangat boros bukan karena masalah sekolah, melainkan hanya untuk berfoya-foya, belanja mengikuti gaya teman, bahkan uang sekolahnya kerap kali dipakai. Tanpa diketahui Nita dan Gibran.
***
Sementara di Jakarta, Nala justru merindukan keluarganya termasuk Alfa. Meskipun Alfa memberinya sebuah kartu debit untuk kebutuhannya di Jakarta, Nala tetap mencoba mencari pekerjaan sampingan.
Jauh dari keluarga, bukan berarti harus bergantung hidup dengan orang lain kan? Dan sekarang Nala sedang mencari-cari lowongan pekerjaan setelah pulang test di kampus.
Sampai Nala berjalan di tempat sepi dekat jembatan. Niatnya menyebrang jembatan malah dihalangi beberapa preman.
"Mau kemana, cantik?" tanya salah satu preman itu persis seperti suara buaya zaman sekarang.
"Permisi," ucap Nala hendak mengabaikan. Tapi dia sendiri justru kembali dihalangi. Tangannya dicekal memancing emosinya untuk memelintir tangan preman itu.
Otomatis preman itu meringis kesakitan ketika Nala memelintirnya. Sementara preman satunya lagi di tendang hingga terjatuh.
Preman itu kira Nala adalah gadis biasa yang mudah untuk memberikan harta demi menyelamatkan nyawa. Tapi Nala tetaplah Nala. Dia adalah tipe gadis yang tidak mau memberi harta secara percuma.
Saat akan pergi, tas Nala ditarik oleh preman yang tangannya tadi dipelintir. Nala yang berusaha mempertahankan barangnya, merebut dengan paksa. Alhasil, tasnya tak sengaja terjatuh sungai di bawah jembatan.
"Alfa," lirihnya dengan jantung yang langsung berdegup kencang. Kartu, uang, dan handphone semuanya ada di sana.
Saking shocknya melihat tas terjatuh Nala sampai tak sadar jika preman itu memukul dari belakang. Membuatnya meringis kesakitan.
Lantas Nala sendiri ditendang dari belakang sehingga jatuh dari jembatan dalam keadaan tak sadarkan diri.
Bersamaan dengan kejadian itu, Nita yang sedang membuat kopi dikejutkan oleh poto Nala yang terjatuh dan pecah.
"Suara apa, Nit?" tanya Gibran yang mendengar suara pecahan.
Tanpa menunggu jawaban, Gibran langsung menuju ke arah sebuah bingkai poto Nala saat masih kecil yang terjatuh. Firasat buruk mulai menyelimuti hati Gibran.
"Nala," lirihnya, khawatir.
"Bingkai potonya yang jatuh, orangnya yang dikhawatirkan," sewot Nita dari dapur.
Gibran sudah terbiasa dengan sikap Nita. Jadi dia antusias meraih ponsel jadul untuk menelepon Nala. Tapi ponsel-nya saat ini dalam masa tenggang.
"Nit, kamu gak isi pulsa?" tanya Gibran, gelisah.
"Gak perlu-perlu juga. Biasanya Pesa yang telepon."
"Tapi kita juga perlu, Nit."
"Ngapain juga sih nelpon Nala? Kalau dia kangen, dia pasti telepon kok. Gitu aja sibuk." Nita mengomel panjang lebar. Membahas Nala, ada sesuatu yang membuatnya merasakan antara ingin marah dengan tidak.
Gibran menghela napas. Besok dia bertekad untuk membeli pulsa demi menghubungi putri sulungnya untuk memastikan keadaan yang baik-baik saja di sana. Walaupun harus berhutang terlebih dahulu.
"Semoga kau baik-baik saja di sana, nak. Ayah merindukanmu," ucap Gibran memandang poto putrinya dengan mata berkaca-kaca.
Keadaan yang berubah tercipta atas perginya salah satu keluarga meskipun itu untuk cita-cita. Bagaimana jika salah satu anak membangun rumah tangga baru? Pasti ada rasa haru dan sedikit kehilangan.
Dunia kadang kejam, kadang juga berpihak dengan cara baik-baik. Bahkan sulit diduga ketika takdir dihadirkan satu per satu.
Bersambung....
HAI HAI!
TERUS BACA DAN SHARE CERITA MIMPI YANG TERLUKA. JANGAN LUPA VOTEMENT-NYA YAAAA ....TYPO? KRISAR GAPAPA😁
SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
General Fiction[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...