Sorry for the typosss
.
Mata Louis tak bisa berkedip, jantungnya berdetak kencang, dia mendapatkan email dari mantan kekasihnya. Eleanor Calder, betapa sangat senangnya ia mendapatkan email itu. Namun, Louis tersenyum kecut disatu sisi. Dia baru ingat kalau Ele telah menikah.
Disebuah taman pukul 8 malam, Louis menunggu Ele untuk datang. Terlanjur menyentujuinya, Louis harus berani menerima ajakan Eleanor sekarang.
"Hi Louis..."
Sapa Ele yang sepertinya sedikit kesusahan membawa barang belanjaannya. Dengan dua kantung plastic disebelah kanan dan tangan kirinya mendorong trolley bayinya.
"Hi..."
Balas Louis ikut membantu Ele menurunkan belanjaanynya. Tak sengaja Louis melirik kedalam trolley bayi itu, Bayi laki-laki dengan rambut blonde tengah terlelap tidur.
"Suamimu tidak marah, kan? Maksudku, kita berdua bertemu seperti ini. Suamimu tau kita bertemu, kan?" Tanya Louis yang sebenarnya sedikit canggung untuk mengatakan hal ini. Ele menggeleng. "Aku tak memiliki suami."
Louis mengangkat alisnya. Ele Berbohong. "Aku tau kau sudah menikah, Ele."
"Aku sudah bercerai. Tepat 10 bulan yang lalu."
Louis mengelus-elus punggung ELe, sedangkan Ele tersenyum saja. Dia menggoyang-goyang pelan trolley bayinya agar tak ada nyamuk yang bisa menggigitnya.
"Kalian sudah menikah dua tahun, kan?" Tanya Louis.
"Hanya satu tahun lebih. Pernikahan kami hanya sekedar hubungan badan biasa. Ketika aku hamil dia menggugat ceraiku."
Louis menggeram kesal. Bisa-bisanya bajingan itu hanya memanfaatkan Ele dengan percuma. "Aku akan hajar dia nanti."
"Tidak usah. Jika dia tak menyayangiku biarkan saja. Aku hanya mau dia mengakui anaknya saja."
Louis memeluk Ele, dia memang sangat-sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita. "Kau sudah punya tempat tinggal? Kau bisa tinggal dirumahku. Bayimu sudah lengkap kebutuhannya?"
Ele tersenyum. Dia terus seperti ini, tidak pernah bersedih. Dia selalu menutupi masalahnya dengan senyuman.
"Mamaku akan sangat senang jika kau tinggal denganku." Tawar Louis dengan senang hati. Karena memang itulah keinginannya dari dulu.
"Tidak terima kasih. Jika aku butuh, aku akan beritahu."
.
Ruby menatap pusara ini dengan air mata yang terus mengalir.Orang yang ia sayangi namun ia benci bersamaan kini telah pergi. Ben, Papa dari Ruby telah wafat. Meskipun memebncinya, Papa tetaplah Papa.
"Ruby, ayo pulang. Mamamu saja sudah pulang."
Ajak Harry untuk pulang. Ruby menggeleng.
"Ini sudah hujan, jangan buat aku marah."
Harry menggendong Ruby masuk kedalam mobil. Ruby masih tetap menangis. Bhakan ketika didalam mobilpun dia belum berhenti juga. Bahkan ketika masuk rumah Harry yang menggendongnya.
"Ruby, berhentilah menangis. Kau memangnya tidak lelah?" ucap Harry duduk disampingnya. Ruby menangis lebih kencang lagi. Suami macam apa dia ini?
"Kamu karena enggak tau rasa kehilangan salah satu orang tua itu gimana!" Jerit Ruby melempari Harry dengan bantal dan flat shoes yang ia pakai. "Ruby, stop!" ucap Harry terus mengelak namun gagal.
"Suami kurang ajar kamu ya, istrinya nangis bukannya dipeluk, disayang, malah menyuruh diam begitu saja. Hiks!!!!" Ruby pun akhirnya diam lalu berbaring ditengah-tengah ranjang. Tak ada tempat untuk Harry.
Ruby menangis lagi setelahnya. Harry mendekati Ruby yang berbaring dan hendak mengelus kepalanya. Namun Ruby menepisnya.
"Kamu tidur diluar. Gak usah sentuh-sentuh aku. Harusnya kamu itu peluk istrinya, elus-elus, cium, udah tau istrinya lagi sendih. Jahat!"
Ruby melempar bantal dan selimut pada Harry. Harry mengalah, baiklah dia tidur disofa.
Ruby semakin menangis lebih kencang lagi. Bukannya dia berusaha membujuk atau memohon untuk tidur dengannya, namun dia menyerah begitu saja.
"Kan, kamu nyebelin!"
Ringisan Ruby lama-lama menghilang. Hilang dan digantikan dengan dengkuran halus. Ruby mendengkur juga ternyata haha.
.
Pagi-pagi Ruby sudah bangun. Dia lapar. Bayi yang dikandungnya tidak boleh terlalu lama menunggu untuk segera makan. Itu sangat tidak boleh.
"Omelet sudah jadi, sosis sudah, mashed potato juga sudah."
Ruby membawa makanannya ke meja makan. Dia memakan sarapannya sendiri, sedangkan sarapan untuk Harry tak ia sediakan. Harry hari ini bekerja, pakaian tak disiapkan Ruby, dan tidak dibangunkan.
Yang jelas dia terlambat. Apalagi sekarang sarapan pun belum disiapkan.
"Roti, telur, butter, done."
Harry memanggang rotinya,s elanjutnya ia memasukkan butter kedalam teplon. Setelah butter itu cair, Harry memasuk telur. Namun, ketika Harry hendak mengangkat telur itu, teplonnya terjatuh dan dengan spontan Harry menangkapnya dan Harry menjerit detik itu juga.
Tangannyaterkena teplon yang panas.
"Harry, kamu hati-hati. Tuh, kan. Lihat, tangannya jadi gini kan. Untung cuma dua jari yang kena."
Ruby segera dan mematikan kompor lalu dia membersihkan tangan Harry dengan air dingin. Dia menyuruh Harry duduk, Ruby membuka kulkas dan mengambil stoples madu asli.
"Ruby, itu untuk apa?" Tanya Harry.
"Diam aja, mulut kamu itu ribut tau." Ruby mengoleskan madu dijemari Harry. Ini salah satu cara untuk mngobati jemari Harry yang terbakar.
"Jangan masak lagi. Nanti tangannya luka lagi." Gumam Ruby.
Harry mengangguk. "Aku sudah terlambat. Aku sarapannya nanti dikantor aja." Jawab Harry
Ruby mendengus kesal, tangannya sangat sakit. Dan ia mau bekerja? Yang benar saja? Tidak. Tidak boleh.
"Tangan kamu itu sakit. Hari ini libur. Besok baru kerja lagi." Ucap Ruby.
"Gak bisa. Hari ini aku ada meeting."
"Aku bilang Libur!"
Harry mengangguk. Fine, dia akan menuruti apa kata istrinya. Ruby memandangnya dengan wajah bersama. Dia melirik sarapannya yang belum ia sentuh.
"Kamu belum sarapan, kan? Kita makan bareng ya. Aku suapin." Ruby menyodorkan makanannya untuk Harry. Harry tersenyum lalu mengangguk-angguk.
"Udah enggak marah nih?" tanyanya.
"Enggak." Jawab Ruby.
"Mukanya gak serius gitu. Gak marah kan?"
"Enggak." Jawab Ruby lagi.
"Bohong nih. Masih ada tanduk dikepala kamu."
"Ih, kamu ngejek aku ya! Sebel! Gak boleh minta makanan aku. Buat sendiri. Udah kamu pergi kerja aja deh, kamu ribut dirumah!" Ruby membawa sarapannya pergi.
Yah, ya. Baru saja aku akan minta, ucap Harry.
"Ruby tunggu!" ucap Harry dengan slow motions.
"Gak usah panggil-panggil aku." Jerit Ruby. "Kamu gak usah coba menghalangi aku untuk jalan ya. Lepasin tangan kamu. Gak usah pegang-pegang." Ucap Ruby lagi.
Harry menaikkan alisnya? Aneh.
"Siapa yang megang kamu? Kamu dilantai 2 aku dilantai satu. Huh." Dengus Harry.
"Oh iya aku lupa." Ruby segera berlari menahan malu. Bodohnya aku.
.
Hei! Seneng aku liat Mr.Gay udah 3K votes yey! Ternyata ff absurd gini masih banyak yang suka lol. Happy Holidays, girls!
Gimme ur vommentsss :)
KAMU SEDANG MEMBACA
OM HARRY
FanfictionI'm Ruby. Fall in love with a gay? Its ok. Thank you ! x @Desmarmen