7 - PAST

40.1K 6.5K 498
                                    

Beberapa hari telah berlalu dan untungnya tanpa insiden berarti kecuali hampir memecahkan hiasan mirip guci atau insiden melemparkan bunga - bunga untuk mandi tepat ke wajah Pangeran Anusapati.

Bayangkan bagaimana tidak kaget saat hendak berbalik badan tiba - tiba dihadapkan pada pemandangan seorang pria yang sedang membuka pakaian di bagian bawah badannya.

Syukur - syukur hanya bunga yang terlepar tidak sekalian dengan mangkuk tanah liatnya. Sejak insiden itu sepertinya kadar ketidaksukaan pangeran padaku bertambah berkali - kali lipat. Entah sebuah anugerah atau musibah tapi aku juga dilarang mendekati tempat pemandian saat sang pangeran ingin mandi.

Jujur semakin lama harapanku makin memudar dan berusaha menerima takdir yang aneh ini. Apa aku sudah mampu beradaptasi ? jika pertanyaan menyangkut makanan, sepertinya perutku mau diajak berkompromi.

Sebagai pelayan ternyata kami hanya bisa makan singkong, ubi jalar atau umbi - umbian yang aku bahkan tidak tahu namanya. Paling mewah kami hanya bisa makan buah - buahan.

Menurut Sawitri hanya kaum bangsawan yang bisa bebas makan nasi dan daging karena harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat jelata.

Kecuali ada perayaan besar dimana ada pembagian makanan barulah rakyat bisa makan nasi dan daging. Walaupun jujur aku tidak sanggup lagi mengunyah pinang yang sepertinya menjadi kebiasaan orang - orang di masa ini. Sumpah pengalaman pertama cukup membuatku mual seketika, walau banyak yang heran tetapi mereka mau memaklumi ketidakcocokanku dengan pinang.

Keadaan istana juga beberapa hari ini nampak sibuk karena akan ada perayaan keagamaan menyambut awal tahun Saka. Para pelayan wanita sibuk membuat rangkaian dari bunga hingga buah - buahan. Sebaliknya pelayan pria sibuk membuat patung besar yang biasa disebut ogoh - ogoh itu. Sebagai pelayan pangeran kami hanya akan membantu para pelayan lain saat malam sudah larut.

"Ah, ternyata ini yang kau lakukann setiap kali pergi menghilang. " Ucapan Sawitri membuatku terhenyak tiba - tiba

Melangkah mendekatiku yang sedang duduk "Apa ini caramu berdoa ? Kau benar - benar berasal dari gunung yaa ? Benarkan tadi itu cara kalian berdoa pada Dewa kalian ?"

Menghembuskan napas sejenak melepas kain panjang yang menutupi seluruh tubuhku. Jujur aku tidak tahu kapan dia masuk ke kamar, namun syukur dia menunggu hingga aku selesai sehingga aku tidak harus mengulang shalatku. "Iya, ini cara kami beribadah eh maksudku berdoa. Eeem ... kau tidak akan memberitahukan ini pada Nyi Ratri kan Sawitri ? " aku harap - harap cemas menunggu jawabannya.

"Tidak akan, tapi kau harus hati - hati. "

Bernapas lega mendengar jawabannya "Terima kasih Sawitri"

"Kau sudah selesaikan ?" Tanyanya bersemangat lalu melanjutkan "Ayo kita lihat pangeran bertanding "

"Haaaah ..."

Berdecak lalu menariku berdiri "Jangan hah ...hah terus, kalau tidak buru - buru kita tidak akan dapat tempat untuk melihat para pangeran dari dekat"

"Maksudnya ??"

"Lihat saja nanti. Kau memang dari gunung mana sih ? ... Heran aku"

Awalnya Sawitri berjalan cepat melintasi pendopo, tentu saja sambil menyeret tanganku guna mengikutinya entah kemana. Untung saja para pelayan wanita dilarang berlari - lari di kompleks istana kecuali dalam situasi khusus. Maksud situasi khusus itu apa, aku juga tidak begitu paham dan tidak ingin mengalaminya.

Bayangkan harus berlari dengan kaki telanjang di jalanan tak beraspal, dengan ranjau batu di mana - mana cukup mengerikan untuk dilalui. Tetapi berjalan cepat versi Sawitri tidak dapat dianggap enteng, karena rasanya hampir - hampir sudah seperti berlari versi diriku.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang