Suasana mulai gelap saat rombongan kami tiba di tempat yang mungkin disebut kutaraja itu. Sumpah keadaan sudah mirip set lokasi untuk syuting film kolosal televisi di chanel ikan terbang yang dahulu sering ditonton Mama saat aku masih kecil. Walau tanpa dekorasi daun dan bungga - bunga palsu yang ditempel di rerumputan atau di pepohonan.
Obor - obor sudah dinyalakan karena tentu saja belum ada gerakan 'listrik masuk desa' ... Oh lebih tepat sepertiya disebut 'listrik masuk kota'. Namun beberapa orang masih melakukan aktivitasnya saat kami melewati beberapa rumah penduduk.
Bangunan didominasi dengan batu dan kayu alam. Jangan bayangkan ada pilar - pilar tinggi besar sebagai penyangga macam di cerita - cerita kartun Cinderella. Tetapi yang namanya istana pasti tetap saja memiliki keindahan tersendiri.
Setahuku Kerajaan Singasari bukanlah salah satu kerajaan besar seperti Sriwijaya atau Majapahit. Namun sebagai kerajaan bercorak Hindu - Budha maka tidak heran gaya arsitekturnya lebih mirip bangunan 'pura' dengan banyak gapura.
Memasuki kawasan istana yang dikelilingi tembok, walau tidak terlalu tinggi yang terbuat dari batu mirip batu bata. Gerbang terdiri dari dua lapis dan terlihat beberapa penjaga membawa gada dan tombak berdiri menjaga pintu gerbang.
Begitu masuk ke gerbang kedua lebih banyak lagi pengawal yang berlalu lalang secara berkelompok. Selain itu juga terlihat beberapa pelayan wanita juga. Rombongan kami melewati taman istana yang indah walau ukurannya tidak terlalu luas. Ada beberapa wisma dan pendopo serta tempat raja bertahta yang berhias serba gagah.
Entah mengapa rasanya badanku sudah tak bertulang, selain duduk beralas kayu yang membuat bagian bawah tubuhku nyaris mati rasa. Menjadi lebih berat lagi rasanya saat menyadari tidak mungkin sebuah mimpi begitu nyata dan begitu lama. Ternyata benar kata orang, bahwa iklas itu adalah kata yang mudah diucapkan tetapi terlalu sulit dipraktekkan.
Masuk ke bagian belakang istana, lalu kami digiring menuju semacam tanah berumput yang cukup lapang. Tetap dijaga oleh para prajurit, sedangkan Raden Panji - Panji itu bahkan tidak berhenti dan terus berkuda entah kemana dengan beberapa prajurit hingga hilang dari pandangan.
Jujur aku belum pernah terlambat ke sekolah tapi berdiri disini sekarang rasanya seperti anak yang sedang dihukum karena terlambat mengikuti upacara. Menunggu entah siapa yang datang menentukan nasib kami nantinya. Lidahku sudah gatal sekali untuk bertanya namun tak satupun orang bersuara, membuat nyaliku ciut seketika.
Bahkan suara jangkrik di malam hari yang selalu tertulis di cerita - cerita novel, akhirnya untuk pertama kalinya kudengar dengan jelas untuk pertama kalinya. Sebab, tinggal di perkotaan dengan polusi tinggi yang biasa terdengar di malam hari adalah suara abang - abang sate atau nasi goreng keliling, bukan suara binatang kecil yang hobby melompat itu.
Rasanya waktu berjalan begitu lambat hingga kulihat sekelopok orang berjalan mendekati kami dan otomatis membuat para prajurid mundur ke samping. Mungkin mereka yang disebut 'abdi dalem' istana.
Seorang wanita yang sudah berumur tampak berjalan terlebih dahulu diikuti pelayan wanita lainya. Sekali padang saja terlihat dia memiliki kedudukan yang cukup penting di istana ini. Aura ketegasan yang didukung garis wajah yang kuat dan terkesan dingin sanggup membuatnya disegani. Mungkin ini yang dirasakan Harry Potter saat bertemu Prof. McGonagall untuk pertama kalinya di Hogwarts.
"Pisahkan mereka !" Hanya kata - kata itu yang keluar dari mulutnya. Seperti mendapat komando, para pelayan yang berada dibelakangnya berjalan mendekati kami. Refleks aku mundur kebelakang saat salah satu pelayan wanita berdiri di depanku dan matanya seakan memindai dan menilai penampilanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGASARI, I'm Coming! (END)
Ficción históricaKapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan dimana sebenarnya jasad I Gusti Ketut Jelantik dikebumikan. Kurangkah dia berikhtiar? Lalu apa namanya kegiatan blind date yang harus Linda...