Beberapa hari telah berlalu sejak hari dimana aku melihat sang Resi. Aku yakin Resi Agung Dang Hyang Lohgawe, yang aku tahu namanya dari Sawitri itu memiliki kekuatan spiritual dan mungkin kekuatan itu juga bisa membantuku kembali ke masa depan.
Demi Tuhan, aku bahkan belum menyusun soal PAS untuk murid - muridku. Dengan kata lain pekerjaanku menumpuk entah di masa depan atau masa lalu.
Sialnya hingga hari ini selain nama sang Resi, Sawitri tidak mau mengatakan apapun lagi. Dia akan pura – pura tuli hingga aku mengganti topik pembicaraan yang lain. Bertanya pada orang lain, aku tidak berani karena mungkin itu hal yang terlarang untuk dibicarakan.
Mensejajarkan langkah kakiku dengan Sawitri "Ceritakan tentang Resi itu. Aku mohon padamu, dimana aku bisa menemuinya, Sawitri?" tanyaku gemas
Mendengus dan membuang pandang dariku kemudian berkata, "Dasar wanita keras kepala!"
Mendesah lalu berkata, "Iya benar, aku memang keras kepala. Ayolah, siapa tahu dia bisa membantuku untuk kembali pulang ke tempat asalku!"
"Masalah para pelayan bukan urusan Resi Agung, Rengganis. Berapa puluh kali lagi aku harus mengulanginya hingga kau paham?" jawabnya ikut gemas hingga menggeretakan giginya.
"Aarrgghh... aku bingung menjelaskannya padamu. Tapi aku benar – benar ingin pulang!"
"Kau ingin pulang ke mana, Rengganis? Kau tidak akan pernah bisa pergi dari sini!" suara Pangeran Anusapati yang pelan namun dingin membuat bulu kudukku meremang. Astaga... Heran, kenapa juga dia selalu muncul dadakan... Memangnya dia tahu bulat... Eh
Ternyata fokus pada pembicaraanku pada Sawitri membuatku tidak sadar bahwa kami telah mendekati pendopo. Parahnya Pangeran Anusapati sudah berdiri tak jauh kami.
Pantas saja Sawitri dari tadi menjawab dengan suara pelan dengan gigi nyaris rapat. Aku kira dia geram karena kesal padaku, ternyata dia takut... bukan takut denganku pastinya, tapi pada sosok sangar yang sedang menyipit memandang kami berdua.
Dibelakang Pangeran tampak Raden Sadawira yang membawa busur panah di bahunya, wajahnya nampak geli memandangku. Sedangkan Madra dan Wasa masing – masing membawa busur dan anak panah milik Pangeran Anusapati.
Raden Sadawira melangkah mendekat lalu merangkul punggung Pangeran Anusapati "Jangan terlalu galak pada Rengganis. Tujuanmu tidak akan tercapai, yang ada dia malah semakin ketakutan padamu," ucapnya sambil menyeringai.
Mendengus mendengar ucapan Raden Sadawira, namun matanya masih menatapku tajam, "Lepaskan tanganmu dari punggungku, Sadawira!"
"Upss... Maaf atas kelancangan hamba, Gusti Pangeran Anusapati yang terhormat," jawabnya tanpa rasa takut atau bersalah justru terlihat geli.
Mendengus sekali lagi mendengar jawaban Raden Sadawira "Kita berangkat!" perintah Pangeran Anusapati sambil melangkah dan tentu membuatku dan Sawitri menyingkir seketika.
Sawitri memberi isyarat agar kami mengikuti Pangeran Anusapati dan rombongannya dari belakang. Menundukkan kepala karena kali ini gagal lagi mendapatkan informasi mengenai Resi Agung. Apa aku akan menyerah ? Jangan harap, karena Sawitri adalah orang yang kedua ratus sekian yang mengatakan jika aku ini 'wanita keras kepala'.
"Kita akan pergi kemana Sawitri?" Tanyaku pelan
"Setiap awal tahun Saka, Raja akan mengadakan lomba panahan, Rengganis." Bukan Sawitri yang menjawab tetapi Raden Sadawira tanpa menengokkan kepalanya "Jangan lupa beri semangat pada Pangeran Anusapati nanti. Semangat itu amat sangat penting agar dia menang!" lanjutnya, tetapi kali ini kepalanya menengok dan tidak lupa dia mengedipkan sebelah matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGASARI, I'm Coming! (END)
Historical FictionKapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan dimana sebenarnya jasad I Gusti Ketut Jelantik dikebumikan. Kurangkah dia berikhtiar? Lalu apa namanya kegiatan blind date yang harus Linda...