Fakri
Kucomot sekepal lumpur di comberan. Kutimang-timang dan kusidik-sidik: terlalu berat. Kucubit sedikit, kujadikan bola, kuberi jampi-jampi, dan jadilah: pelor meriam sakti.
"Atas nama keadilan," aku komat-kamit, ambil ancang-ancang melempar. Di depanku, sepasang anak SMA berjalan bersisian. Keduanya cekakak-cekikik macam orang sakau, tak sadar dengan mara bahaya yang tengah membayang di belakang. Baiklah.
Mereka pacaran, pastinya. Dua remaja yang menjalin kasih polos, melangkah dengan penuh semangat seusai sekolah. Si laki-laki bersikap jantan, berjalan di sisi kendaraan berada, melindungi kekasihnya. Si perempuan penuh perhatian, menggelayuti lengan pasangannya seolah tak ingin kehilangan. Oh, betapa pemandangan yang menyentuh hati. Hanya setan terkutuklah yang cukup kejam untuk mengganggu mereka.
Syukurlah aku lebih kejam ketimbang setan sendiri.
"Aku, Al-Fakri putra Kaisah, kurir azab dari Istana Neraka, mewakili segenap populasi Homo sapiens, menjatuhkan vonis bersalah terhadap kedua pendosa ini. Oleh sebab itu, bukalah hati untuk hidayahku dan binasalah: DJUROES PEMOESNAH BOECIIIIIIN!" bisikku—terlalu pengecut buat berteriak. Aku tidak memastikan apa lemparanku kena atau tidak. Aku bahkan tak yakin apa "bola meriam nista" itu terlontar di jalur yang benar atau malah melenceng ke jendela rumah orang. Aku—layaknya anak SD yang kepergok nyolong ayam tetangga—menyegerakan lompat ke belukar pinggir jalan.
Dengan gagah berani, tanpa memedulikan risiko baju kusut, serangan ulat, atau kerja keras paman-paman pengurus fasilitas jalan, aku menenggelamkan diri di antara lebatnya ranting dan dedaunan. Terdengar suara tubrukan, lalu jeritan, kemudian umpatan; dan aku pun tahu, tembakanku mengenai sesuatu.
Beberapa dari kalian mungkin sedang bersungut-sungut, "Ngapain juga ini manusia goblok masih jailin orang di umur segini? Kelebihan hormon?" Beberapa lagi mungkin cuma bisa mendesah pilu, mengusap dada dan khawatir soal kesehatan mentalku. Sisanya pijat kepala, pusing dan menyesal sudah buang-buang waktu buat berurusan denganku.
Nah. Persetan, kalian semua! Minggat sana!
Aku melakukan ini atas nama keadilan, seperti yang aku bilang tadi, demi kelestarian nalar dan nurani. Bila diumpamakan, aku adalah Robin Hood, seorang penjahat bagi para konglomerat, namun pahlawan bagi kaum melarat. Aku adalah instrumen kebajikan, seorang pria cerdik nan bernyali, pemberani yang membalaskan dendam walau nyawa dipertaruhkan. Aku adalah—
"'Sat! Siapa yang lempar, njing!" sergah suara kasar dan serak. Suara asing. Suara yang tak kukenal. Suara yang tak kuharapkan. "Keluar, goblok!"
Aku menarik lutut dan memeluknya erat-erat, menahan dorongan untuk keluar, bersujud, lalu memohon pengampunan. Sekalian, aku tak akan sungkan juga untuk mencucurkan air mata dan mengeluarkan seluruh duit receh di dalam sakuku. Tak banyak, memang; tapi setidaknya cukup buat beli empat butir Relaxa di warung sebelah. Tunggu. Bukan empat. Tiga. Harganya sudah naik.
"Setan!" sumpah si laki-laki. "Keluar, anjing!" Derap langkah menggeram. Dia makin mendekat. "Pengecut sinting!"
Ya. Cuma pengecut sinting. Jangan diladeni. Mungkin macam ngibul, tapi soal yang barusan ... aku bercanda. Sumpah! Setelah dipikir-pikir lagi, kenapa juga aku berbuat begitu? Mestinya, aku bawa katapel dan serang dari jarak yang lebih jauh! Bukan malah gatal-gatalan ngumpet di belukar begini! Bagaimana kalau sampai ketahuan?
Aku harap sujud, tangis, dan tiga butir Relaxa cukup untuk meredam kemarahan itu makhluk buas. Nah, pasti cukup. Aku pun bakal begitu kalau ada di posisinya.
"Setan!"
Aku terperanjat. Dia makin mendekat. Sialan.
Maaf, Bang. Itu ... tidak lain dan tidak bukan ialah ketidaksengajaan. Sumpah! Aku agak-agak payah dalam hal lempar-melempar. Yang aku incar itu perempuan yang lagi pacaran itu, tuh; bukan Abang! Abang mau, kan, maafin aku? tanyaku, mengoceh di dalam hati. Apa aku sudah tak waras?
Salah siapa ini?
Bukan aku, tentunya. Sama sekali bukan. Bagaimana mungkin aku, seorang pemuda berhati pengecut, berani-berani menjahili preman macam dirimu? Ini ... ini ... ini salah dia! Ya! Salah gadis itu! Dia biang keroknya .... []
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Palsu: Fail Romansa Si Antibetina
Teen FictionPanggil dia Anak Setan. Dia manusia miskin dengan uang saku lima ratus perak, dengan otak lebih ke licik ketimbang cerdik, pengidap sindrom antibetina, serta aktivis rasis gender sampai ke tulang. Ada dua hal yang dia senangi di dunia ini: uang yang...