"Jen..."
Jeno sontak menoleh kala mendapati sebuah tepukan di bahunya, tak tersenyum, hanya melempar tatapan sedikit heran. "Ngapain lagi lo disini?" tanyanya lantas selanjutnya mengalihkan pandangan pada langit pukul sepuluh pagi yang agak mendung.
"Pamer almamater baru lah, apalagi?"
Jeno terkekeh pelan, iya juga, dia baru menyadari kakak kelasnya itu datang sambil menenteng almamater kampusnya yang cukup mencolok itu.
"Langitnya gak seindah itu buat di pelototin mulu" ujar sosok itu lantas ikut duduk disamping Jeno— bangku panjang di taman belakang sekolah.
"Lo gak jauh-jauh kesini nemuin gua cuman buat ngomong itu kan?"
Orang itu mengangguk pelan sebelum terjadi lengang yang canggung, menghela napas panjang lantas berujar sembari menatap Jeno sekilas dari samping.
"Heejin... apa kabar?"
Sudut bibir Jeno tertarik sedikit, tatapannya tak teralihkan sedikitpun dari mengamati awan gelap di atas sana. "Gua gak tau, yang jelas gak baik-baik aja. Kenapa gak tanya langsung sama orangnya? Dia gak takut liat lo kaya dia takut kalau liat gua"
Orang itu, Mark Lee, terkekeh iba. "Lo bener, Heejin gak baik-baik aja, gua ketemu dia kemarin sore"
Lengang, Jeno tak menunjukkan tanda-tanda akan bersuara yang di tangkap oleh Mark sebagai kode mempersilakan dirinya menjelaskan maksud dan tujuannya datang kesana.
"Lo tau apa yang Heejin rasain selain perasaan takut dan gak aman setiap dia liat lo?" pertanyaan Mark dijawab gelengan, kepala Jeno yang awalnya sedikit mendongak menatap langit kini tertunduk, menatap tangannya yang saling bertaut bertengger di atas paha.
"Hatinya juga sakit, dia sedih luar biasa, kenapa? Karena dia liat lo, orang yang dia sayang, terlihat menyedihkan dan dia gak bisa ngelakuin apa-apa selain nahan perasaan takutnya itu."
Mark menghela napas panjang sementara kepala Jeno yang duduk di sampingnya semakin tertunduk, entahlah, perasaannya tak karuan hanya dengan mendengar nama Heejin saat ini.
"Heejin butuh waktu buat nyembuhin traumanya Jen, dia cuman butuh waktu. Gua tau lo khawatir setengah mati sama kondisi Heejin sekarang, gua tau lo juga pasti merasa bersalah, tapi hadirnya lo saat ini cuman memperkeruh suasana, Heejin yang udah sakit tambah sakit liat lo jadi lembek begini."
Mark menoleh ke arah Jeno lagi, menatap mantan adik kelasnya itu iba.
"Kasih Heejin waktu, dia cuman butuh itu."
Jeno tak menjawab, masih asik menunduk, selain karena perasaan bersalah juga karena matanya yang mulai memburam. Entahlah, jangan ejek Jeno, tapi dia gampang berkaca-kaca akhir-akhir ini.
"Oh ya, Heejin juga bilang kalau dia sebenernya kangen sama lo, tapi ya gitu, kalau liat lo bukannya seneng malah gemeteran" Mark terkekeh di akhir kalimatnya, merasa miris sendiri melihat kisah cinta adik kelasnya yang tak berjalan mulus, disaat yang lain paling-paling ribut soal mau makan apa atau pesan yang tak kunjung di balas, Heejin dan Jeno malah begini. Menyebalkan bukan? Nasib buruk sepertinya memang enggan menjauh dari keduanya.
"Gua pergi sekarang deh" ujar Mark lantas bangkit dari posisi duduknya, menyugar rambut ke belakang sebelum menoleh lagi ke arah Jeno yang masih enggan mengangkat kepala. "Jangan galau gitu, berdoa aja semoga traumanya cepet sembuh, masa pentolan Neo School ngegalau— gak lucu."
"Siapa yang lagi ngelucu sialan!"
Mark menahan tawa gara-gara mendapati mata Jeno yang nampak basah ketika cowok itu mendongak, maunya sih tertawa saja, tapi tidak, Mark masih punya otak. "Gua gak ada sapu tangan, gak bawa tisu juga, pake ini aja mau?" ujarnya sembari menyodorkan almamaternya ke arah Jeno disambut delikan muak.