Pertemuan tak terduga dengan ayahnya bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Jisoo.
Kemunculan ayahnya membangkitkan kenangan pahit: Pertengkaran kedua orang tuanya yang berujung perceraian.
Semua bermula dari perubahan drastis Papa yang mengundang kejanggalan; selalu pulang larut malam dengan dalih lembur kerja, jarang berada di rumah meski akhir pekan—sehingga Papa tidak pernah lagi menghabiskan waktu dengan mengajak Jisoo jalan-jalan. Alasannya selalu sibuk, sibuk, dan sibuk. Jika benar demikian, Jisoo mencoba mengerti. Namun, Jisoo setidaknya ingin Papa meluangkan sedikit waktunya dengan menyapa Jisoo dan bertukar cerita seputar keseharian mereka.
Rahasia dibalik perubahan Papa terbongkar. Mama mencari tahu sendiri penyebabnya, lalu menginterogasi Papa. Papa membela diri hingga serangan bertubi-tubi dari Mama berupa bukti dan fakta—membuat Papa mengakui bahwa dia menjalin hubungan dengan seorang wanita-yang merupakan kekasih masa lalunya.
Mereka saling menyalahkan, meneriaki satu sama lain, mempertahankan ego masing-masing. Air mata Mama, amarah Papa, dan cinta antara keduanya yang lebur tanpa sisa.
Saat itu, usia Jisoo masih empat belas tahun, tidak betul-betul mengerti permasalahan yang terjadi. Mentalnya terguncang hebat sewaktu Papa memutuskan untuk meninggalkan Mama, meninggalkan dirinya...
...meninggalkan mereka berdua.
Jisoo menjalani lembaran baru bersama Mama; mereka pindah ke rumah baru yang dibeli dari hasil tabungan Mama. Mama juga membangun indekos sebagai investasi cadangan.
Berpisah dengan Papa tak lantas membuat Mama menjadi terpuruk. Sebaliknya, Mama menjadi sosok yang lebih kuat. Mama selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Jisoo. Meski sering sibuk dengan pekerjaannya, Mama tidak pernah tidak menyempatkan waktu untuk Jisoo. Jisoo merasa begitu berharga karena kasih sayang yang Mama curahkan untuknya.
Memang, waktu bisa menyembuhkan luka. Tapi waktu tidak bisa membuatnya melupakan luka.
Kubangan luka yang disebabkan perbuatan ayahnya masih membekas di hati Jisoo. Jisoo pikir... memaafkan itu mudah. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Terkadang, memaafkan butuh waktu.
Jisoo melenguh. Sedih dan kecewa selalu meliputi gadis itu setiap mengenang kerumitan keluarganya. Jisoo tidak suka perasaan ini, karena membuatnya tidak bersemangat melakukan apapun.
Dia membolak-balikkan posisi tubuhnya berulang kali di atas tempat tidur. Ingin mengerjakan tugas, tapi suasana hatinya yang buruk menyebabkan kemalasan. Ingin tidur, tapi pikirannya terlalu kusut dan menolak untuk diajak beristirahat.
Maka, Jisoo memutuskan beranjak keluar menghirup udara dingin di malam hari yang terasa menusuk kulitnya. Jisoo melakukan kebiasaan anehnya tiap kali tidak bisa tidur; mengelilingi lingkungan sekitar indekos.
Jisoo menendang kerikil-kerikil yang berserakan di halaman belakang. Suara jangkrik dan cicitan tikus menemaninya dalam keheningan.
"Jichu?"
Sontak Jisoo berjengit kaget ketika mendengar panggilan itu. Jisoo memutar kepala dan melihat Namjoon, berdiri tidak jauh darinya, menatapnya dengan sebaris kernyitan di kening.
"Elo... ngapain?" tanya Namjoon seraya mendekat ke arahnya.
Mata Jisoo mengerjap. "Erm... iseng aja. Cari angin."
"Nggak tidur?"
"Nggak bisa," jawab Jisoo lesu, "susah..."
"Lagi banyak pikiran?" tebak Namjoon, tepat sasaran. Jisoo sempat membulatkan kedua matanya, gimana dia bisa tahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jichu's Indekos | Kim Jisoo
Fanfiction[On Going] Rated: 15+ Jichu's Indekos terdiri dari tiga lantai, diisi sembilan penghuni cowok-cowok ganteng dengan berbeda usia dan karakter. Penghuninya aneh semua, hobinya bikin rusuh, dan sakit kepala sang pemilik indekos: Panggilannya Teteh Jich...