25| Di Bawah Gemintang

863 160 313
                                    

Malam itu, sunyi mendekap Taeyong. Resah membelenggu hati pemuda itu. Pikirannya berkecamuk. Semakin berusaha membuang perasaan sedihnya, perasaan itu justru semakin membebaninya.

Taeyong duduk di balkon kamarnya. Kedua matanya terpejam, sensasi dingin dari angin malam terasa menusuk permukaan kulitnya. Sesaat, Taeyong menarik napas, kemudian membuangnya kembali. Sedikit upaya menghalau sesak yang ada.

Perkara membohongi perasaan memang sulit. Meskipun sudah mencoba merelakan, kepingan yang pecah dalam hatinya tak bisa kembali utuh begitu saja. Taeyong butuh waktu untuk benar-benar merelakan sepenuhnya.

Kenapa dia harus menaruh hati pada hati yang tak jatuh padanya?

Wajah seseorang melintas di benak Taeyong. Satu wajah yang begitu dia rindukan. Satu wajah yang sangat ingin dia lihat. Satu wajah yang senyumnya mampu menjadi pelipur lara bagi Taeyong.

Membuka mata, Taeyong lalu mengambil ponsel dari sakunya. Menghubungi nomor dari seseorang yang baru saja dia pikirkan; ibunya.

"Halo? Taeyong?"

Suara lembut memasuki indra pendengaran Taeyong. Membuat kerinduan yang selama ini terpendam semakin membuncah.

"Mama." Nada suara Taeyong sedikit bergetar memanggil ibunya. "Mama apa kabar?"

"Alhamdulillah, Mama baik. Kamu sendiri gimana, Nak? Kamu sehat? Kamu makan dengan teratur kan? "

Perhatian ibunya selalu berhasil membuat kehangatan menyelimuti hatinya. "Aku sehat, Ma. Aku makan dengan teratur, jangan khawatir, aku jaga diri baik-baik sesuai pesan Mama." Taeyong mengulas senyum sedih. "Aku minta maaf belum bisa pulang."

Semenjak kuliah, Taeyong jarang sekali pulang ke rumah—bisa dihitung dengan jari kapan saja Taeyong pulang ke rumah. Terakhir kali dia pulang enam bulan yang lalu. Bukan serta-merta masalah jarak, tapi ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman berada di rumah.

"Mama ngerti, kok." Taeyong membayangkan kini Mama tersenyum lembut. "Enggak biasanya anak Mama yang paling ganteng ini telepon duluan," lanjut sang Ibu terkekeh. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu, Nak?"

Firasat Ibu memang kuat. Ibunya selalu mengerti perasaan Taeyong, meski tanpa diberitahu. Selama beberapa detik, Taeyong membiarkan keheningan menyeruak. Deru napas teratur sang Ibu membuat pemuda itu merasa tenang.

"Ada yang mau kamu ceritakan?"

Biasanya Taeyong akan sok tegar di depan orang lain. Namun kali ini dia membiarkan ibunya mengetahui kesedihan yang dia rasakan. "Ma, aku sedih..." ucapnya menahan tangis. "Aku cinta sama seorang perempuan di sini, tapi.... perempuan yang aku cintai cinta sama laki-laki lain. Dia sama laki-laki itu saling cinta. Dan lagi, laki-laki itu teman baik aku." Taeyong meneguk salivanya susah payah. "Aku berusaha merelakan, aku berusaha ikut bahagia buat mereka, tapi rasanya susah, Ma..." Segala kesedihan itu akhirnya dia tumpahkan, setelah selama ini dia simpan sendiri. "Taeyong mesti gimana, Ma? Kalau aku nangis, wajar nggak? Dari kecil Ayah selalu larang aku nangis, katanya anak laki-laki nggak boleh nangis, kalau nangis berarti lemah."

"Enggak, kok. Menangis itu bukan cuma hak perempuan. Omongan ayah kamu yang satu itu nggak usah didenger." Helaan napas Ibunya terdengar. "Nak, laki-laki juga manusia yang dibekali perasaan. Menangis bukan hal yang memalukan. Apa yang salah menjadi lemah? Itu bukan suatu kesalahan, melainkan sebuah tanda bahwa kita manusia, bisa merasakan berbagai emosi—termasuk merasa sedih."

Air yang sudah menggenang di pelupuk mata akhirnya meluruh. Di bawah gemintang malam itu, Taeyong membiarkan dirinya menangis meluapkan kesedihan.

"Nak, satu hal yang perlu kamu ketahui.... sesuatu yang ditakdirkan untuk kamu tidak akan pernah melewatkan kamu. Entah apa yang terjadi kedepannya, barangkali perempuan yang kamu cintai akan menjadi milik kamu, atau sebaliknya. Yang jelas, Tuhan tahu yang terbaik untuk kamu. Kamu percaya itu, kan?

Jichu's Indekos | Kim JisooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang