Taehyung.
SARAPAN kami setelah satu hari kepergian Papa terasa berbeda. Para maid di rumah ini juga merasakan hal yang sama seperti yang aku dan Jungkook rasakan. Papa adalah sosok yang ceria. Dia adalah Pria yang penyayang dan penyabar. Dia selalu bangun terlebih pagi dibandingkan kami meski kami juga tak terlalu kesiangan jika bangun dikala pagi. Dengan sabar Papa membangunkan kami untuk sarapan setiap paginya, meski kami sudah sama-sama beranjak dewasa. Tapi Papa tak pernah membedakanku dan Jungkook.
Dan kini, hanya benda mati yang berdering ketika jam sudah menunjukkan kesudahannya itulah yang membangunkan kami dari lelapnya kenyamanan istirahat. Sebetulnya tadi malam aku sama sekali tak tertidur. Mataku tak bisa kuajak kompromi untuk segera mengistirahatkan seluruh tubuhku. Namun, ini masih awal kematian Papa. Wajar jika aku masih belum sepenuhnya rela ditinggalkan olehnya.
Mood Jungkook perlahan membaik. Ketika bertemu denganku di meja makan, dia menyapaku hangat dengan senyuman keceriaan yang sempat hilang kemarin. Akupun ikut lega jika Jungkook merasa aman sekarang. Jadilah kami sarapan dengan tenang meski sebenarnya---aku masih belum setenang itu.
"Kak, apa Kakak pergi ke kantor hari ini?", tanya Jungkook mengawali pembicaraan kami setelah beberapa puluhan menit kami saling membisu.
"Iya. Kenapa?".
"Apa Kakak ngga dirumah aja? Takutnya ada tamu Papa yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa".
"Kau kan sudah dewasa untuk menghadapi demikian, Kook".
"Memangnya kenapa sih tidak dirumah saja seharian ini, Kak? Kantor itu kan milikmu. Kau bebas mau datang atau tidak di kantor, Kak. Lagipula---para karyawanmu akan memahami bahwa kita masih berduka", bujuk Jungkook karena dia sangat ingin sekali ditemani Kakaknya. Dia pun juga masih enggan kuliah karena belum siap bertemu dengan dunia luar setelah berduka.
"Maaf Kook, tetap Kakak tidak bisa. Bagiku, jika aku terus berada dirumah, aku tidak bisa mengikhlaskan kepergian Papa. Dengan melihat kondisi luar rumah yang cukup membuatku terhibur, aku rasa---perlahan aku bisa mengikhlaskan ini semua", jawabku tulus namun terpaksa diangguki oleh Jungkook. Aku berharap dia bisa memahami ini semua.
"Baiklah. Terserah Kakak saja".
Dari jawabannya yang acuh dan dingin itu menyiratkan sebuah tanda bahwa dia telah kecewa. Irama mengunyahnya pun melambat, berbeda dengan sebelumnya yang amat antusias memakan roti bakarnya.
"Yaudah Kak, Jungkook mau siap-siap kuliah", pamitnya setelah itu pergi. Aku jadi serba salah sekarang. Memahami kondisi hati Jungkook tidaklah mudah. Meski kami sama-sama lelaki, namun pemahaman kami tetaplah berbeda. Bisa dibilang Jungkook itu sama seperti wanita. Yang dikit-dikit mengandalkan perasaan. Berbeda denganku, rasanya perasaanku pun sudah mati karena masa pahit yang kualami beberapa bulan yang lalu. Jadilah aku lebih mengandalkan logika tanpa bertanya pada hati yang telah mati.
🏢🏢🏢
Disinilah aku sekarang. Menjadi sosok Taehyung yang dingin dan tegas di kantor. Perlu kalian ketahui, perusahaan ini bukanlah perusahaan turunan dari Papa. Perusahaan pemberian Papa memang sementara ini ku ambil alih karena mauku---aku akan memberikannya pada Jungkook. Supaya dia ada pekerjaan dan masa depannya cemerlang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Eyes Tell
Fanfiction"Mengapa mataku dipenuhi air mata? Irene, tetaplah disisiku dan tertawalah. Masa depan tanpamu bagai dunia tanpa warna, dipenuhi dengan dinginnya monokrom. Aku ingin kamu percaya padaku. Aku tidak akan pergi kemanapun", ucap Taehyung dengan derai ai...