EKSPERIMEN PERTAMA

3 0 0
                                        

Setelah Maila membawa sesuatu di tangannya. Sepertinya di sedang menggenggam sebuah tongkat atau sesuatu yang panjang di kedua tangannya. Kemudian dia membuka tangannya dan menyerahkanku dua tongkat yang seukuran genggaman tangan.

"Apa ini? Dua tongkat dengan ukiran di dalamnya?" tanyaku kebingungan sambil mengamati benda tersebut.

"Ya sudah, Gento bersama Maila dan Janeta saja. Aku akan membantu yang lainnya di garis depan," ujar Woka sambil mengambil sabit besar di belakangnya dan pergi keluar.

"Tunggu, apa kau yakin?" tanyaku khawatir.

"Tenanglah, dia adalah penjaga senior yang sudah berpengalaman dan cerdik. Dia pasti bisa menjaga dirinya. Untuk sekarang, aku akan memandumu menggunakan alat itu. Akanku jelaskan sambil berjalan," ujar Maila menahanku mengikuti Woka.

"Apa boleh buat, aku lagipula tidak bisa membantu untuk saat ini. Akan lebih baik aku bersamamu untuk saat ini. Aku memang payah," kataku dengan kesal.

"Kau akan membantu, karena kau akan punya peran yang besar di sini. Pegang tanganku," ujar Maila.

"Baiklah," kataku.

Tak lama setelah memegang tangan Maila, kami sudah berada di atas sebuah atap. Dari atas sana aku dapat melihat kekacauan dan orang-orang yang panik. Pemandangan yang cukup mengerikan karena tidak sedikit dari antara mereka yang menjadi korban. Sepertinya petugas keamanan telah dilumpuhkan dan petugas medis belum tiba.

Pasar yang tadinya ramai dan damai berubah menjadi keributan dan kepanikan. Teriakan para pedagang yang menawarkan barang berubah menjadi teriakan yang histeris. Banyak orang berusaha menyelamatkan diri mereka msing-masing.

"Ini, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku pada Maila.

"Aku rasa ketakutanku telah menjadi nyata, mereka sudah mulai memengaruhi dunia manusia," kata Maila dengan ketakutan dengan tatapan yang kosong.

Aku mencoba melihat ke arah tatapan Maila. Akupun diam seribu bahasa menatap hal tersebut. Aku mulai berpikir apakah ini akan menjadi perang dunia ketiga. Dari atas dapat terlihat jelas bahwa banyak hewan buas yang datang. Tidak hanya dari hewan buas, bahkan hewan liar lainnya juga datang dan berbaris dengan rapi. Semua itu dipimpin oleh seeokor hean yang bahkan aku kira tidak mungkin ada.

Seekor naga berkulit hitam dengan sayap besar dan nafas apinya. Aku berharap kalau itu bukan kiamat, tetapi sepertinya hal itu akan terjadi. Ini bukan saatnya memikirkan itu, aku harus cepat menghentikannya.

"Maila, kita harus menghentikannya secepat mungkin,"seruku padanya.

"Apa kau melihat mereka?" tanya Maila pada Janeta.

"Ya, aku melihat mereka sedang membantu menghentikan hewan itu. Beberapa sedang menghadapi naga itu. Aku dengan dari mereka, kalau kita menghentikan naga itu maka semua akan kembali normal," ujar Janeta.

"Baiklah, artinya kita bisa membantu melumpuhkan naga itu dari sini. Gento, pegang kedua tongkat itu seperti orang memanah!" perintah Maila.

"Eh, orang memanah?" tanyaku.

"Sudah ikuti saja ucapanku! Kita kehabisan waktu," ujar Maila.

"Baik, baik. Akan aku lakukan seperti yang kau perintahkan," balasku sambil mengambil kedua tongkat tadi. Lantas, aku menuruti apa yang Maila katakan, bersikap seperti orang memanah. Aku bahkan merasa seperti orang konyol karena tidak terjadi apa-apa.

"Bagus, lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyaku dengan kesal.

"Bacalah mantra yang ada di tongkat itu. Kau akan segera tau apa yang harus kau lakukan," jelas Maila.

AnemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang