Mauren Putri Ababil?

763 80 8
                                    

Mari bermain, dan yang kalah akan mati!

- Mauren Putri Ababil

°

°

Pagi ini, tepat saat matahari mulai meninggi di atas kepala seluruh siswa maupun siswi.
Mereka berceloteh ria dengan tekukan terlihat di setiap alis.

Cuaca yang sering dianggap sehat itu sekarang sedang mereka lakukan. Berjemur di bawah teriknya matahari. Apalagi jika ditambah dengan pidato yang katanya singkat dari kepala sekolah.

Singkat memang, namun tak juga berhenti.

Selesai upacara bendera yang rutin dilakukan setiap hari senin, mereka dikabarkan jangan dulu meninggalkan lapangan. Ada seputar informasi penting menanti untuk disampaikan. Mau tak mau seluruh siswa maupun siswi untuk tetap menetap di lapangan terbuka. Mereka iri pada guru-guru yang berada di koridor sekolah sambil meneduh, sedangkan mereka berdiri di bawah cahaya matahari. Katanya sudah seperti anak sendiri?

Pidato itu terus berlangsung membuat siswa maupun siswi berceloteh tak karuan mendengarnya. Hingga inti dari informasi itu baru saja terucap, beberapa dari mereka menghela napas karena namanya terpanggil kedalam sebuah kampanye yang mungkin akan mereka lakukan beberapa hari kedepan.

Aditia Fahreza Angkasa, nama itu terdengar setelah Mauren Putri Ababil disebutkan. Kabarnya, Mauren mendapatkan nilai tertinggi di tes lisan kemarin.

"Mungkin segitu saja dari saya, kalian bisa lihat selengkapnya di mading"

Siswa maupun siswi hanya menahan emosi ketika darahnya terasa meninggi, naik turun dada mereka. Berdiri dengan kaki yang terasa pegal, telinga yang memanas karena harus mendengarkan pidato singkat, dan tubuh yang sudah mengering karena sinar illahi. Ketika dengan mudahnya bapak di depan mengatakan selengkapnya berada di mading? Lalu, untuk apa mereka disini? Sedangkan selengkap, seringkas, rangkuman informasi, nama hingga waktu Kampanye berada di mading?

Sudahlah, ini telah terjadi.

°°°

Bel istirahat berbunyi, yang dimana jamnya adalah jam favorite bagi siswa dan siswi.
Mengisi perut mereka dengan asupan makanan, menghirup bau udara selain bau tinta, dan melihat ke segala arah selain buku catatan.

Angkasa berjalan melewati kelas-kelas sepi yang sebagian penghuninya berada di kantin. Sambil membawa delapan buku paket bahasa inggris, ia menopang buku itu dengan kuat. Takut-takut jika nantinya terjatuh.

"Ma sya allah Angkasaa, jangan cosplay jadi siput dulu napa" pekik Satya ketika melihat Angkasa yang jauh di belakang.

Ingin sekali Angkasa memelintir lengan Satya yang sedang membawa tiga buah buku itu. Enak saja delapan per-banding tiga.

Angkasa hanya memberikan tatapan tak ramah pada seorang Satya. Melihat itu, Satya hanya kembali acuh sambil melangkah tebar pesona. Ya, memang diantara Satya, Zulfi, dan Mozza hanya Angkasa yang berlaku layaknya siswa lugu. Membuatnya semakin tidak disukai karena bergabung dengan circle se-famous teman-temannya.

Meski terasa berat atas buku yang ada di genggaman, Angkasa memaksakan diri untuk berlari menghapiri Satya. Demi mensejajarkan langkah.

Di setiap langkah yang mereka lewati, disetiap itulah titik mata tertuju pada Angkasa. Siswa cupu dengan segudang prestasi, namun Angkasa selalu terlihat kecil dimata mereka walau namanya cukup dikenal. Ia abaikan karena itu sudah biasa.

The Cupu Boy (PEMBARUAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang