"Pake nih" Dari depan, Alvis mengulurkan jaket kebelakang tubuhnya, tepat Shilla duduk. Shilla melirik tubuhnya sendiri dan jaket Alvis bergantian.
"Lo buta?! Gue udah pake." Shilla bersungut, mendorong jaketnya kedepan.
"Duduk ngangkang, rok ke angkat. Paha lo mau di umbar?" Shilla mendengus, tapi tetap menurut.
Setelah memastikan gadis itu memasang jaket di pahanya dengan benar, Alvis melajukan motornya keluar sekolah.
Gadis itu anteng duduk di jok belakang, memegang ujung belakang kaosnya. Alvis pasrah, padahal otaknya sudah berandai-andai akan mendapatkan pelukan hangat di perut. Tapi ternyata, ujung kaos lebih seksi di banding perut kotak-kotak nya.
Kurang lebih, setengah jam mereka lalui untuk perjalanan. Shilla sibuk menyeleksi buku-buku yang akan ia beli. Ralat, yang akan Alvis beli untuk gadis itu. Alvis hanya membuntutinya, sesekali dia juga akan sok sibuk melihat-lihat buku yang tampak menarik.
Shilla itu cantik, hanya saja terlalu jutek untuk di dekati. Kesan pertama untuk gadis itu adalah... Perfect. Dia masih ingat, bagaimana awalnya dia memutuskan mengejar Shilla. Hari dimana dia dan Shilla satu kelompok belajar. Gadis itu selalu berusaha keras untuk mencapai kesempurnaan. Dia wanita tegas, tapi tetap mengutamakan keadilan. Segala masukan ia terima saat berdiskusi, tidak salah jika Shilla disebut 'pendengar yang baik'.
Waktu itu,dia tidak sanggup menahan debaran yang menggila hebat saat gelang berombre milik Shilla menyangkut dengan jam tangan yang ia pakai. Bahkan, sekedar membantu melepaskan saja, dia tak sanggup. Susah payah Alvis bersikap biasa saja, saat Galih si kampret menggoda nya. Game online yang selalu menyita fokusnya, mendadak ambyar saat dia mainkan. Sungguh gila, dengan perasaan nano-nano waktu itu.
Shilla kembali membolak-balik bagian belakang novelnya satu-persatu, dia bimbang. Sebenernya, Shilla tahu diri, mengingat mereka masih anak sekolah yang mengandalkan uang jajan dari orang tua.
Memutuskan mengambil jalan tengah, Shilla keluar dari jejeran rak besar yang dipenuhi buku-buku. Surga dunia bagi seorang Arshilla Fadila.
Dari jejeran rak kayu di sebelah kanan, Alvis keluar membawa satu buku di tangan.
"Udah?" Tanya Alvis heran, melihat hanya ada dua novel yang Shilla peluk. Gadis itu mengangguk samar, kemudian menyerahkan kedua novelnya untuk di nota.
"Katanya 5, kok dapetnya 2. Kenapa? Mulai ngerasa gak enak yah sama gue?" Bibirnya tersenyum menyebalkan, matanya menatap menggoda pada Shilla.
"Dari dulu gue seenaknya aja sama lo tuh! Lagian, novelnya gak ada yang seru, jadi gue ambil dua." Shilla melirik ke arah lain, enggan menatap manik Alvis yang menyorot nya dalam.
"Yakin? Gak ada yang seru.." Shilla mengangguk, menatap Alvis sekilas.
"~Tapi, tadi gue lihat. Lo balik lagi pas mau bayar, ngembaliin tiga buku ke tempatnya semula." Shilla tersentak dengan penuturan Alvis, dia tak menyangka lelaki itu tahu kelakuan konyolnya. Padahal, tadi pagi dia sudah menuntut lelaki itu untuk menepati janji, sekarang dia yang plin-plan dengan permintaannya sendiri.
Alvis nyaris tertawa dengan wajah diam Shilla "Udah ambil aja. Gak usah sungkan, calon mertua lo horang kaya kok, gak bakalan miskin cuma buat beli 5 novel doang" Ucapnya jenaka.
"Sombong! Udahlah, jangan berlagak sok. Beli pulpen sebiji aja masih ngemis sama orang tua. Buruan bayarin sana!" Shilla mendorong bahu Alvis untuk segera bayar. Tak kuasa, Alvis tertawa terbahak dengan sikap gadis itu. Dia...lucu sekali.
Berbalik, Alvis menunjukkan satu buku yang tadi dia bawa.
"Ambil jalan tengah. Lo suka main gitar kan? Pertengahan 5 adalah 3. Jadi, gue tambahin buku ini."
Shilla membaca judul buku itu "Siapa yang mau belajar gitar? Gue bisa."
"Gue. Lo yang jadi gurunya."
***********
Berjalan beriringan seperti ini, mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Sangat cocok. Alvis bahkan sesekali menggoda Shilla, yang malah mendapat tatapan iri dari beberapa orang yang mereka lewati.
"Kita makan dulu yah?"
Pinta Alvis, berjalan mundur menghadap Shilla."Gak!" Ketus Shilla yang masih mempertahankan wajah tebalnya dengan kelakuan Alvis. Dia, malu.
"Lo gak kasihan sama gue? Pulang tanding, gue langsung meluncur nepatin janji cuma buat lo. Gue belum makan, cuma nyemil roti 2 biji, pizza sepotong, bakso semangkok, sama cilok sewadah doang." Ucapnya dengan wajah sedih. Alvis berkata jujur, seharian dia tidak masuk ikut pelajaran, memilih tanding basket dan bolos jam pelajaran terakhir.
"Bego!" Shilla melirik Alvis yang kembali berjalan disisinya.
"Kalau belum kena nasi, itu namanya belum makan." Terserah saja Alvis berkata apa, dari tadi dia hanya menanggapi seperlunya, seperti...memaki misalnya.
"Double bego!"
"Plisss, gue laper banget, ini aja udah lemes. Lo mau, gue pingsan di jalan, gegara belum makan nasi?"
Shilla berhenti, menatap Alvis tajam.
"Bawel! Cepetan!"
Alvis bersorak, melompat kesenangan. Shilla mengerjap sekali, menatap satu tangannya yang digenggam erat, di tarik semangat oleh Alvis.
Sekali lagi..
Ada apa dengan jantungnya?
*****
"Ck. Lo bilang mau makan nasi?" Sungut Shilla gondok, melihat Alvis yang memakan burger king nya dengan tenang.
Alvis melirik "Kapan? Gue gak bilang 'mau makan nasi' tuh, gue bilangnya belum makan nasi." Menekankan tiga suku terakhir, Alvis menghendikkan bahunya acuh, kembali melahap burger nya.
"Bodo!"
Keduanya kembali melanjutkan makan, sesekali Alvis melirik Shilla yang sedang menyantap es krim coklatnya. Gadis itu bilang, bahwa dia tidak lapar, alhasil Alvis memesankan es krim dengan rasa pilihan Shilla sendiri.
Anak rambut sering kali menjuntai, ikut masuk ke mulut Shilla. Dia tidak mengikat rambutnya seperti biasa. Alvis jadi teringat sesuatu, membuatnya terkikik geli.
"Stres!" Cibir Shilla mendengar kikikan Alvis.
Lelaki itu bangkit, berjalan ke arah Shilla.
Gadis itu nampak cuek, tak bergeming terus saja menikmati es krim meski sesekali dia harus menyelipkan anak rambutnya yang jatuh ikut kemakan. Aktivitasnya terhenti, semua orang di sekelilingnya menatap Shilla iri. Tubuhnya menegang, saat sebuah tangan mengumpulkan rambutnya menjadi satu, mengikatnya hati-hati.Shilla memutar lehernya kebelakang, mendapati wajah Alvis dengan senyuman menenangkan. Ada rasa panas menjalar di pipinya, debaran aneh itu kembali ia rasakan.
"Gue emang suka rambut lo di gerai, manis. Tapi, kalo itu buat lo kesusahan, gue gak suka." Shilla mengerjap, mencerna baik-baik kalimat Alvis. Lelaki itu duduk kembali setelah mengusap puncak kepalanya.
Kembali menghadap ke depan, debaran aneh itu kian nyata. Hatinya bertalu-talu gila. Apa Alvis bisa mendengar detak jantungnya sekarang?
Shilla berkedip cepat, menetralkan kembali otaknya. Meraba rambut, Shilla menatap Alvis yang sekarang juga sedang menatapnya.
Lelaki itu menyunggingkan senyumnya lebar
"Itu iket rambut lo yang gue curi waktu itu."
*******
Ada yang kangen author?
Eh..Alvis sama Shilla? 😍🥰Jangan lupa pencet bintang yah!!
Cuma modal jempol, gratis kok🥰

KAMU SEDANG MEMBACA
OPINI HATI
Novela JuvenilShilla yang mempunyai trauma kisah cinta di masa lalu di pertemukan dengan seorang Alvis, lelaki yang tidak pernah mengalami jatuh cinta. Bagaimana kisah mereka? Akankah Shilla menemukan cinta sejatinya?