41

3.6K 409 47
                                    

Chapter kali ini tanpa direvisi jadi kalau ada typo maafin yak😂 tandain aja typonya👌

Happy reading🎉

Shamira POV

"Kita mau kemana?" tanyaku saat Kak Hafidz menyodorkan helm ke arahku.

"Pacaran," jawabnya singkat.

"Maksudku tempat yang mau kita tuju."

"Nanti kamu juga tau," kata Kak Hafidz. Setelah selesai memasang helm miliknya, tangan Kak Hafidz bergerak kearahku untuk memasang kaitan helm yang kugunakan. Aku memang selalu kesulitan dalam memasang maupun melepas kaitan helm, dan ternyata, Kak Hafidz peka.

"Makasih," kataku.

"Sama-sama."

"Ayo naik," ajaknya yang sudah lebih dulu menaiki motor matic berwarna hitam cantik.

Aku naik ke boncengan dengan hati-hati, takut kalau gamisku nyangkut.

"Udah?"

"Iya, udah," jawabku.

Kak Hafidz hanya mengangguk, tapi nggak kunjung menjalankan motornya.

"Kak?" panggilku.

"Aku udah siap, ayo jalanin motornya."

"Kamu belum pegangan."

Oh iya, lupa.

"Sudah," kataku saat tanganku sudah berpegangan pada behel motor.

"Belum," kata Kak Hafidz.

"Sudah, Kak," kataku meyakinkan.

Kak Hafidz sedikit menoleh kebelakang dan bilang,"Siniin tanganmu."

"Buat apa?"

"Siniin," pintanya. Dengan ragu, aku mengulurkan tangan kananku.

"Kalau begini baru sudah siap jalan," katanya saat tanganku berada di pinggangnya.

Rasanya aneh tapi menyenangkan. Ini kali pertama aku dan Kak Hafidz berboncengan berdua dan aku berpegangan di pinggangnya. Ini kali pertama juga ada pria yang memboncengku selain Ayah dan Kak Ilham.

"Tau nggak kalau behel motor itu sebenarnya bukan buat pegangan?"

"Kalau bukan buat pegangan lalu buat apa?" tanyaku, karena sedari dulu aku selalu berpegangan pada behel motor kalau sedang dibonceng, kupikir fungsinya memang untuk berpegangan tangan. Tapi ternyata,"Biar gampang kalau mau geser motor."

"Kita jalan sekarang, pegangan yang erat ya."

Aku mengangguk mengiyakan.

"Bismillah," gumam Kak Hafidz.

Melewati jalan yang sepi dengan kecepatan sedang, angin yang bertiup cukup kencang, dan pemandangan langit sore yang mengagumkan membuat senyum lebar terukir di wajahku.

Rasa masih nggak percaya itu hadir lagi.

Sekarang, aku dan Kak Hafidz jalan bersama, katanya kami akan berpacaran. Rasanya lucu sekaligus menyenangkan. Pria yang selama ini kukagumi, ternyata punya sisi manis yang nggak banyak orang ketahui.

"Shamira," panggil Kak Hafidz.

Aku suka saat Kak Hafidz memanggil namaku seperti itu. Apalagi saat Kak Hafidz memanggil namaku dan mengukir senyum lebar saat menatapku.

"Ya?"

"Kamu senang?"

"Iya, aku senang banget."

Seperti Fatimah & AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang