42

3.6K 343 37
                                    

Tandain typo yaa!

Happy reading🎉

Hafidz POV

"Aku baru sadar deh Sha, kamu beli susu rasa taro banyak banget?" tanyaku saat sedang menata belanjaan kami ke dalam kulkas.

Sore tadi, aku dan Shamira pacaran lagi. Nonton, mampir ke toko buku, makan, dan berakhir dengan belanja bulanan bersama. Ternyata pacaran enggak seburuk itu, kalau sudah halal ya tapi. Kalau belum halal mending tahan dulu buat nggak pacaran.

"Hah? Iya kak emang sengaja beli banyak sekalian biar nggak bolak-balik," jawab Shamira setelah suara bising mesin cuci berhenti.

Padahal aku sudah bilang di cuci besok saja, pasti Shamira capek. Tapi dia bersikeras mencuci sekarang soalnya besok pagi Shamira harus berangkat lebih awal. Ada janji temu dengan klien pagi-pagi sekali.

Aku berjalan menghampiri Shamira di bagian belakang rumah setelah selesai dengan kegiatanku.

"Eh nggak usah kak!" cegah Shamira saat melihatku ingin membantunya menjemur baju.

"Kenapa sih Sha?" gumamku tetap menjemur baju meskipun Shamira melarangnya.

"Kenapa setiap kali aku mau bantu ngerjain pekerjaan rumah, kamu selalu nolak?"

Shamira diam, aku nggak tau apa yang sedang di lakukannya sekarang di belakangku tapi aku merasa dia sedang menatapku.

"Padahal kemarin-kemarin kan aku sudah bilang mau bantuin kamu ngerjain pekerjaan rumah."

Aku mendengar suara helaan nafas yang pastinya berasal dari Shamira. Nggak lama setelah helaan nafas itu terdengar, Shamira berjalan dan berhenti di sampingku lalu mengambil baju yang sudah dikeringkan untuk dijemur.

"Kak Hafidz tuh suami aku."

"Dan kamu bukan pembantu aku," kataku. Aku menoleh ke samping untuk melihat Shamira tersenyum kecil tanpa menatapku.

"Memang, tapi dari dulu aku selalu ngebayangin kalau nanti aku punya suami aku pengen ngerjain pekerjaan rumah sendirian tanpa di bantu siapapun, termasuk suami aku. Karena aku pikir… pasti suami aku capek banget kerja, masa iya harus ngerjain pekerjaan rumah, lagipula aku masih sangat sanggup kok Kak ngerjain semuanya sendiri."

"Jadi sekarang lebih baik Kak Hafidz istrirahat," ucap Shamira sembari mengambil baju di tanganku lalu menggidikkan dagunya ke arah pintu.

"Gih sana masuk, istirahat, nanti kubawain teh hangat atau mau susu taro aja?" tanyanya lembut seraya menoleh ke arahku dan tersenyum.

Kalian tau nggak apa yang aku rasain? Sedih, lebih tepatnya terharu, senang karena bisa punya istri yang selalu mentingin suaminya lebih dulu. Salah satu sudut diruang hatiku menghangat, selama ini aku nggak salah udah jatuh hati sama Shamira. Karena dia memang sebaik itu, dan pantas dicintai dengan sebegitu dalamnya.

Salah nggak sih kalau aku bilang pengen nangis? Padahal Shamira pasti jauh lebih capek dari aku.

"Cepetan sana masuk, Kak, diluar dingin."

Aku menatap Shamira dengan menahan emosi yang bergejolak di hati, kemudian menggeleng pelan dan menariknya kedalam pelukan.

"Enggak," gumamku, lalu membisu beberapa menit ke depan untuk menghela nafas pelan berkali-kali dan bilang,"Kalau kali ini aku nggak mau nurutin maunya kamu, tolong jangan marah sama aku ya? Aku nggak bisa Sha biarin kamu ngerjain semuanya sendirian sedangkan aku malah istirahat. Iya, aku memang kerja tapi kamu pun juga kerja, kita sama-sama capek, karena itu kita harus bahu membahu ngerjain semuanya biar rasa capek itu nggak kerasa."

Seperti Fatimah & AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang