"Nanti aku ada tugas ke Bekasi. Kemungkinan jemput kamu agak telat. Kalau menurutmu kelamaan, aku bisa minta tolong Dani atau Rion buat anter kamu," tegas Aiden dengan menatap mata Nata lekat.
Nata menghela napasnya, "Aku bisa pulang sendiri, biar kamu nggak keburu-buru," jawab Nata mencoba memberikan penawaran para lelaki yang duduk di belakang kemudi itu.
Aiden menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya memicing ke arah Nata, "Aku yang anter kamu, aku juga yang jemput kamu. Nanti aku buat perkiraan kalau misal kamu harus nunggu aku lebih dari lima belas menit, aku bakal minta tolong Rion atau Dani buat anterin kamu pulang," jelas Aiden dengan nada bicara yang terdengar seperti tidak menerima penolakan dari Nata.
Terlalu malas untuk berdebat di Senin pagi dengan Aiden, Nata pun memilih untuk menganggukkan kepalanya menandakan ia menyetujui ucapan Aiden. Nata lantas melepas seatbelt yang ia kenakan. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
Pukul setengah enam pagi.
Nata yakin beberapa jurnalis sudah mulai berangkat untuk menjalani liputan di lapangan. News Anchor juga sudah memulai siaran pagi mereka di dalam studio. Sebenarnya ini terlalu pagi untuk Nata yang memiliki jadwal liputan pukul sembilan.
"Hari ini ke mana?" tanya Aiden sambil membuka kotak bekal berisi nasi uduk yang dibuat oleh Nata.
"Masih kasus yang sama."
Aiden memasukan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Matanya meneliti raut wajah Nata yang berubah menjadi khawatir, "Sidang pledoi hari ini?" tanya Aiden memastikan dugaannya.
Nata mengangguk, "Kemungkinan untuk Ayah dan yang lainnya cuman dua. Diterima atau ditolak. Tuntutan lima tahun penjara atau kurang." Sorot mata Nata menatap balik Aiden yang masih menatapnya sambil mengunyah makanannya.
"Problems in this life exist because they have the way to solving them. There are so many answers to solve it, Na," ujar Aiden untuk menenangkan Nata.
"I know. But i don't know how to get through it. Kedepannya mungkin aja aku bakal di cap "Anak Koruptor", it's possible right?"
Mendengar ucapan Nata, Aiden meletakkan sendok dan tempat bekal di atas dashboard mobilnya. Alisnya saling menaut menandakan ia sedikit kesal, "Na? Aku kira kamu bakal berpikir sedikit lebih dewasa untuk melewati masa sulit ini."
"Maksud kamu?"
"Sejak kapan kamu dengerin omongan orang?"
Nata membalas tatapan Aiden dengan penuh keyakinan, "Sejak kamu ajak aku untuk ikut ke acara keluarga kamu minggu ini."
Alis Aiden saling bertaut, matanya membelalak kaget, "Nggak ada hubu—"
"Ada!" Suara Nata terdengar meninggi, "Aku mencoba untuk siap menghadapi keluarga kamu. Mereka pasti bakal menilai aku. Mereka juga bakal ngeliat bibit bobot keluargaku. Apa respon mereka waktu tau aku anak Mahendra Wijaya? Kamu bisa ngira kan?"
Aiden mengusap wajahnya. Lalu, matanya menatap Nata dengan nanar. Ia sedikit merasa bersalah. Mengapa ia tidak memikirkan perasaan Nata terlebih dahulu. Ia juga tidak yakin apakah keluarga besarnya dapat menerima Nata atau tidak. Tapi apapun yang terjadi dapat ia pastikan Nata akan selalu ada di belakangnya. Tidak ada satupun yang bisa menyakiti perasaan wanitanya.
"OK. Aku nggak maksa kamu untuk ikut. Aku juga bakal bilang sama Ibu kalau kamu ada kerjaan."
Nata menggeleng, "Sayangnya aku bukan orang yang ingkar janji. Aku udah terlanjur janji ke Ibu kamu untuk dateng."
***
Nata memposisikan diri di selatan Gedung Pengadilan Tipikor. Ia mengatur napasnya serta berdiri tegap menghadap ke Dani dan Valen yang ada di balik kamera. Tangan kirinya membenarkan posisi earphone yang ada di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Walk of Love (COMPLETED)
Chick-LitTidak ada yang dapat mengetahui perjalanan hidup kita. Seperti halnya, Serenata Renjana. Berawal pada saat Nata menolong anggota militer yang menjadi salah satu korban jatuhnya pesawat di Perairan Belitung. Setelah itu, Nata yang merupakan seorang j...