Bonus Chapter #1

16.8K 1.1K 35
                                    

Enam bulan kemudian...

Nata mengambil langkah panjang dan berjalan lebih cepat agar segera sampai di tempat di mana ia memarkirkan mobilnya. Nata harus segera tiba di suatu tempat sebelum pukul lima sore.

Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat pada saat Nata mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Ada hal yang sedang dipikirkan pula oleh Nata yang menjadi pemicu debaran di dadanya. Nata mengarahkan kemudi masuk ke dalam halaman parkir suatu gedung yang sudah tidak didatanginya selama dua bulan belakangan.

Sesaat setelah turun dari mobil, Nata melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukan pukul empat lewat tiga puluh menit. Tandanya, masih ada waktu tiga puluh menit untuk Nata bertemu seseorang di dalam sana, sebelum jam berkunjung berakhir.

Langkah kakinya terasa ragu untuk masuk ke dalam rutan di mana Ayahnya menjalani hukuman. Ada satu hal yang membuat Nata ragu dan cemas untuk bertemu dengan Mahendra Wijaya—walaupun hampir setiap bulannya Nata menyempatkan diri untuk mengunjungi Mahendra Wijaya. Namun, selama itu pula Nata belum berani menceritakan tentang rencana pernikahannya dengan Aiden.

Berulang kali Nata menelan ludahnya secara kasar sambil duduk menunggu Ayahnya di ruang temu untuk keluarga bertemu para tahanan yang ada di rutan ini. Kakinya bergerak tak nyaman, ia takut bila Ayahnya tidak berkenan memberikan restu untuknya.

"Assalammualaikum, Nata."

Nata mendongakan kepalanya dan meraih tangan lelaki paruh baya yang ada di hadapannya saat ini. "Waalaikumsalam, Ayah," jawab Nata sopan. Setelah mengecup singkat tangan Ayahnya, Nata kembali duduk berhadapan dengan Mahendra Wijaya. Dengan penuh keyakinan, Nata menarik napas panjang dan menatap mata Ayahnya dalam. "Gimana keadaan, Ayah?" tanya Nata.

Mahendra terlihat tersenyum tulus menghadap putrinya. "Baik, Alhamdulillah."

"Talitha belum ke sini, Yah?" Pertanyaan yang sama, yang ditanyakan oleh Nata setiap ia datang ke sini beberapa bulan belakangan.

Gelengan kepala dari Mahendra menandakan bahwa belum pernah sekalipun adik tirinya menjenguk Ayahnya di sini. Senyuman miris terlihat di wajah Mahendra yang membuat hati Nata teriris dan perih melihatnya. Nata tidak habis pikir dengan kelakuan ibu dan adik tirinya yang belum sekalipun mengunjungi Ayahnya di rutan.

Nata meraih tangan Ayahnya yang berada di atas meja. Digenggamnya dengan erat tangan Ayahnya dan sesekali Nata mengusapnya lembut. "Nata akan usahakan untuk datang ke tempat Ayah secara rutin. Maaf sebelumnya, kalau bulan lalu belum sempat ke sini, Yah," jelas Nata yang mulai bisa berbicara lebih santai dan tidak kaku pada Mahendra.

"Apa kamu lagi banyak kerjaan, Nat?"

Nata mengangguk ragu. "Ada beberapa hal yang harus Nata selesaikan terlebih dahulu, Yah."

"Ayah paham, Nat, kamu pasti lagi sibuk, ya?"

Nata meyakinkan dirinya untuk berani mengutarakan apa yang harus ia sampaikan pada Ayahnya. Berulang kali Nata menarik napas dalam sebelum ia berani berbicara serius pada Mahendra, "Yah, kedatangan Nata saat ini juga ingin meminta restu pada Ayah."

"Restu?" Dahi Mahendra terlihat berkerut.

"Nata mengharap restu Ayah untuk pernikahan Nata nantinya."

"Dengan Aiden?"

Nata mengangguk pelan. "Nata juga berharap Ayah bisa datang ke pernikahan kami, untuk menjadi wali nikah Nata," ujar Nata.

Ekspresi wajah Mahendra sangat kaget. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya.

Sementara Nata, mendudukan kepala dan menggigit bibir bawahnya. Nata takut dengan ucapan Ayahnya setelah ini. Bagaimana pun, Nata juga membutuhkan kehadiran Ayahnya di hari pernikahannya nanti, untuk menjadi wali nikahnya.

The Walk of Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang