Author POV
Nata mencari posisi duduk yang tepat untuk berbicara dengan Aiden. Berulang kali Nata bergerak tak nyaman dari menyilangkan kaki hingga duduk dengan posisi tegak.
"Sandaran aja."
Nata menoleh menatap Aiden yang sama sekali tidak membalas tatapannya. Aiden memandang lurus ke depan, ke arah tanaman milik Ibunya yang tersusun rapi di halaman belakang rumahnya. Aiden mengajak Nata untuk menyelesaikan masalah mereka di halaman belakang rumahnya, dengan pintu yang mereka tutup. Walau begitu, keluarganya yang berada di ruang tengah dapat melihat secara jelas dia dan Nata yang duduk membelakangi mereka.
"Rawon Ibu Niken enak," ujar Nata.
Aiden tersenyum masam. "Semua masakan Ibuku emang enak, Na. Tapi rawon favorite-ku," tuturnya pelan.
"Om Ibas belum ke sini?" tanya Nata. Setidaknya chit chat darinya ini bisa mencairkan suasana di antara mereka. Lebih tepatnya, sebelum memulai pembicaraan yang sebenarnya.
"Udah. Tapi tadi pagi ke proyek sama Mas Andru untuk peninjauan terakhir."
"Oh." Nata mengangguk-anggukan kepalanya. Menandakan ia paham dengan ucapan Aiden.
Tidak ada jawaban lagi dari Aiden. Sehingga hanya suara teriakan Rinjani yang terdengar di telinga mereka berdua. Nata kebingungan untuk memulai dari mana untuk memulai obrolan pagi ini. Berbeda dengan Aiden yang terlihat santai, seperti sudah mempersiapkan rangkaian kata untuk diutarakannya.
Aiden berdeham pelan. Dengan penuh keyakinan, Aiden mengucapkan satu kata yang bisa memulai obrolan serius di antara mereka, "Maaf."
Nata menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku yang minta maaf duluan harusnya." Nata mengembuskan napasnya pelan. "Nggak seharusnya aku egois dan kalut sama emosiku waktu di balkon hari itu," ujarnya menyesal.
Kini giliran Aiden yang menggeleng pelan. Ia menatap wajah Nata yang kini sedang menunduk sambil memainkan jemari tangannya. "Aku salah udah bentak kamu kemarin. Aku yakin Papa kamu aja nggak pernah ngelakuin itu ke kamu," jelas Aiden.
"Tapi kalau waktu itu aku nggak gegabah untuk langsung masuk kamar dan ninggalin kamu... kejadian kemarin juga nggak akan terjadi, Mas," sanggah Nata dengan sesal yang menusuk di dadanya.
"To be honest... i hate to fall out with you like yesterday, Nana."
"Aku juga."
"But, I'm pissed off with the way you have treated me."
"I know." Nata menangkupkan kedua tangannya di pipi dan menumpukan sikunya di paha. "I know i'm wrong."
Aiden mengulurkan tangannya ke rambut Nata dan mengusapnya lembut. Aiden hanya memandangi ekspresi wajah Nata yang terlihat benar-benar menyesal.
"Maaf... kemarin aku terlalu kasar sama kamu. Mungkin aku juga terlalu lambat dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah kita. Tapi seperti yang aku bilang kemarin, aku nggak mau bertindak bodoh dan salah lagi. Aku cuman nggak mau kamu kecewa lagi," jelas Aiden.
Nata meneteskan air matanya dan segera menghapusnya sebelum Aiden melihatnya menangis. Bukan karena Nata tidak ingin terlihat lemah. Nata hanya tidak ingin membuat Aiden merasa bersalah lagi.
"Masalah Raya itu, awalnya waktu di rumah sakit Raya tanya apa aku masih tugas di Natuna. Aku jawab iya dan dia cerita soal keadaan di sana akhir-akhir ini, karena kebetulan Raya habis dari sana sebelum
ke Jakarta. Raya yang ngasih tau aku, Na, bukan aku yang minta ke dia," jelas Aiden.Nata mengangguk. "Iya. Dia bilang kok
kalau dia yang cerita ke kamu duluan... tapi bukan itu Mas yang aku permasalahin. Just open up to me... untuk semua masalah yang lagi hadepin," jawab Nata lirih.Aiden memejamkan matanya sejenak seraya memijat pelipisnya pelan. "Bukan aku nggak mau cerita, tapi aku nggak mau kamu merasa terbebani dengan ceritaku. Lagian nggak seharusnya aku melibatkan kamu."
"Aku nggak akan merasa terbebani, Mas. Justru aku seneng kalau kamu bisa jadiin aku tempat cerita kamu, sekalipun setiap hari kamu akan ngeluh ke aku. Lagian ini bukan cuman masalah kerjaan kamu, ada masalah lain yang sedang kamu hadepin tapi kamu memilih untuk nutupin semuanya dari aku." Nata mendongakan kepalanya dan menatap Aiden lekat. Nata mengatur napasnya sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Aku tau, nggak semuanya bisa diceritain ke orang lain. Tapi setidaknya kamu bilang kalau kamu lagi nggak baik-baik aja. Mana aku tau Mas kalau kamu kemarin lagi hectic urusan Tante Dian, kalau aku nggak nanya ke kamu?" lanjut Nata.
"Aku bingung kalau cerita harus dari mana," jawab Aiden singkat.
"Aku emang salah, jarang ngasih kesempatan kamu untuk cerita ke aku. Aku nggak sepeka itu untuk selalu nanyain kamu kalau aku nggak lagi nyariin kamu."
Aiden meraih tangan Nata yang menggenggamnya erat. Jemari tangannya turut bergerak mengusap punggung tangan Nata dengan lembut. Aiden melihat ke pipi Nata yang sedikit basah. Ia menebak bahwa Nata menangis tanpa sepengetahuannya tadi.
"Bukan gitu, Na... aku emang nggak tau kalau cerita harus gimana." Genggaman tangan Aiden semakin mengerat. "Setelah ini aku coba pelan-pelan untuk lebih terbuka sama kamu ya?" lanjutnya.
"Maaf ya, Mas. Aku belum ngerti sifat kamu dari kemarin. Maaf juga, kalau aku nggak peka sama situasi yang sedang kamu hadepin. Aku juga minta maaf untuk sikapku yang masih kekanak-kanakan," ucap Nata lirih.
"Aku juga salah, Na. Aku nggak mencoba terbuka sama kamu," sahut Aiden.
Nata mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia mengangguk sebagai tanda memaafkan Aiden. Nata balik menatap Aiden yang masih melihat ke arahnya. Ada raut bersalah serta khawatir di wajah Aiden. Kini, giliran Nata yang semakin mengeratkan genggaman tangan mereka berdua. Senyuman mulai mengembang di bibirnya.
"Kita mulai lagi ya, Mas?"
Aiden tertawa pelan. Ia menuntun punggung tangan Nata hingga tepat berada di depan bibirnya. Aiden mengecup tangan Nata dengan lembut. "Kita nggak pernah berakhir, Nana. Jadi nggak ada kata untuk memulai lagi."
Nata terkekeh pelan. "Okay. Let's get recovery!" seru Nata.
"Lah... Udah kan tadi?" sahut Aiden seraya menaikan salah satu alisnya ke atas.
"Ya udah kita lanjutin lagi ya, Mas Aksa?" ujar Nata dengan nada sedikit mengejek, karena sedari tadi ucapannya tidak ada yang dibenarkan oleh Aiden.
Aiden tersenyum melihat Nata yang kini mulai tersenyum kepadanya. Senyuman Nata lah yang kini menjadi obat rindu untuknya, setelah beberapa hari belakangan hubungan mereka tidak baik-baik saja.
Nata menautkan kedua alisnya. "Kok nggak jawab?"
"Lanjutin perjalanan kita ke level selanjutnya kan?" goda Aiden.
***
Oke sebentar lagi sabar tunggu yaa😆Maaf lama banget update-nya. Lagi ujian dua minggu kemarin huhu
Terima kasih semuanya yang udah sabar menunggu🙏🏻❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Walk of Love (COMPLETED)
Literatura FemininaTidak ada yang dapat mengetahui perjalanan hidup kita. Seperti halnya, Serenata Renjana. Berawal pada saat Nata menolong anggota militer yang menjadi salah satu korban jatuhnya pesawat di Perairan Belitung. Setelah itu, Nata yang merupakan seorang j...