Chapter 35

10.3K 1K 8
                                    

Aiden POV

Mataku masih tidak teralihkan dari layar laptop. Padahal, saat ini waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Biasanya, aku bukan tipe orang yang dapat berkerja di jam orang sedang tertidur pulas. Karena tidur merupakan salah satu hobiku. Kalau saja bukan karena aku mendapatkan sinyal keterlibatan NATO di Laut China Selatan, aku pasti saat ini sudah bergelung dengan selimut abu-abuku.

Gerakan mataku terhenti saat aku mendapatkan pesan dari salah satu rekan kerjaku mengenai kapal patroli milik pasukan militer Filipina yang mulai berjaga di sekitar laut kedaulatannya. Berarti ini pertanda bahwa China juga sudah mempersiapkan armada laut untuk melakukan ekspansi ke perairan lain bila terjadi konflik serius antara negaranya dan NATO. Sebenarnya, keterlibatan NATO ini sebagai tindakan pencegahan atas kekhawatiran negara-negara anggota NATO atas pemblokiran navigasi China di LCS. LCS merupakan salah satu jalur perairan yang dilewati oleh negara anggota NATO dalam hal perdagangan.

Aku harus mulai mengawasi gerak-gerik China yang dapat mengkhawatirkan perairan kedaulatan Indonesia lagi, khususnya Perairan Natuna. Ekspansi yang dilakukan China bisa datang tidak terduga dan tiba-tiba. Maka dari itu, TNI Angkatan Laut diharapkan untuk bersiap dan siaga.

Setelah merasa semua pekerjaanku selesai, aku segera menyandarkan tubuhku di punggung kursi seraya memejamkan mata. Satu yang langsung terlintas saat mataku terpejam.

Nana.

Sedang apa ya Nana saat ini? Apa ia sudah tidur? Atau masih harus mengerjakan beberapa berita online serta artikel? Ingin rasanya aku menghubunginya dan menanyakan suatu hal.

Nana, kamu butuh informasi dan fakta mengenai keterlibatan NATO di Laut China Selatan? Ya.. siapa tahu Nana membutuhkan untuk dituliskan di berita online milik Media-Net.

Bisa-bisanya di saat sedang bersitegang dengannya, aku malah memikirkan hal untuk mengajaknya bercanda. Bibirku tertarik ke samping membayangkan bagaimana kesalnya Nana bila tiba-tiba aku menanyakan hal seperti itu saat ini.

Rencananya, sore tadi kedatanganku saat menemui Nana untuk menyelesaikan semua permasalahan di antara kami. Tapi itu hanya rencana. Dan faktanya, untuk pertama kalinya aku berdebat hebat dengan Nana. Tidak heran untukku, saat melihat keberanian Nana saat ia membantah ucapanku. Nana memanglah seperti itu. Keras kepala dan... galak.

Saat ini aku berpikir, apa mungkin sikapku padanya tadi terlalu keras? Atau ucapanku terlalu kasar? Ya... aku mengaku salah. Namun, itu sebuah pembelaan untukku yang terus menerus disalahkan oleh Nana. Padahal, bisa saja aku langsung menceritakan semuanya pada Nana saat di balkon apartemennya. Tapi apa boleh buat? Nana malah masuk ke dalam kamar dan membiarkanku kebingungan sendirian di luar.

Butuh keberanian untukku dalam menyelesaikan masalahku dengan Nana. Mengingat, pertama kali aku bertengkar dengannya, pada saat aku membayar kado yang dibeli Nana untuk Ayu. Padahal niatku baik, aku hanya ingin turut memberikan sesuatu kepada Ayu. Namun, ternyata aku salah. Dan tindakanku tidak sesuai dengan jalan pikiran Nana. Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati. Sama halnya dengan masalah ini. Aku juga ingin mencari langkah dan penyelesaian yang tepat untukku dan Nana.

Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan. Aku pun beranjak dari meja kerjaku dan berjalan menuju tempat tidur. Sepertinya aku butuh menenangkan pikiran dan mengistirahatkan diri.

***
Aku melihat Ibu dan Tante Dian sedang sibuk dengan urusan para wanita di dapur rumahku. Dari kamar aku sudah mencium aroma rawon yang membuat cacing diperutku memberontak. Aku berjalan menghampiri Ibuku yang sejak kemarin datang ke Jakarta, untuk menemani Tante Dian.

"Bu." Aku memeluk Ibuku dari belakang dan mengecup pelipiskan pelan. "Masak rawon ya?" tanyaku penasaran.

"Udah mandi, Sa?"

Aku mengangguk pelan.

"Ya udah, sana panggil Raka, Dimas sama Rinjani dulu! Setelah itu kamu baru boleh makan," kata Ibuku.

Tak ada pilihan lain untukku, selain menururti perintah Ibuku. Namun, sebelum aku memanggil ketiga bocah yang sedang asyik bermain di halaman depan, aku memutuskan untuk mengambil ponselku di kamar.

Aku membelalak kaget, setelah melihat notifikasi pesan masuk dari Nana pagi ini.

Serenata Renjana :
May i come to your house?

Sure, Nana, sure, batinku setelah membaca pesan darinya.

Dengan senyuman yang mengembang, aku membalas pesan dari Nana dengan hati berbunga-bunga.

Me :
Sure. You take care💙

Blue hearts means hope. It's use to show how deep your love to someone. It's like water in the deep ocean or sea. Blue hearts also stands for trust to someone.

Menunggu beberapa menit, jam atau hari, untuk Nana yang sangat jarang meminta bertemu terlebih dahulu, tidaklah masalah untukku.

The Walk of Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang