Chapter 34

9.4K 900 3
                                    

Serenata POV

Ini merupakan kedua kalinya aku menangis karena Mas Aksa. Bukan karena sikapnya lagi, tetapi karena ucapannya kemarin. Semua rangkaian kata yang terucapkan olehnya cukup untuk menyadarkanku.

Menyedihkan? Iya. Aku terlalu bodoh dan naif. Aku terus menyalahkan Mas Aksa, karena ia tidak terbuka padaku. Aku menyalahkan Mas Aksa yang tidak tegas saat itu. Tapi bodohnya, aku tidak mencoba untuk melihat diriku sendiri. Semalaman aku berpikir dan mencoba mengulang semua ingatan tentang memoriku bersama Mas Aksa semenjak kami bertemu. Dan aku menemukan kesalahan yang tidak aku sadari.

Kesempatan.

Aku jarang menanyakan kabar atau kegiatan yang dilakukannya hari itu juga. Bahkan, seingatku terakhir aku memintanya untuk bercerita tentang pekerjaannya itu saat Mas Aksa tugas ke Natuna. Tepatnya satu hari setelah aku bertemu Ibu Niken di supermarket. Dari situ dapat kupahami bahwa aku jarang memberikan kesempatan untuk Mas Aksa berkeluh kesah padaku. 

Harusnya aku mengerti, Mas Aksa bukan orang yang mudah terbuka dengan orang lain. Mas Aksa harus 'dipancing' terlebih dahulu agar mau bercerita. Seperti saat Mas Aksa sibuk mencari siapa pengirim pesan teror padaku, dan yang terbaru adalah kejadian seminggu yang lalu. Tentang Mas Aksa yang hilang kabar seharian. Ia baru mau menceritakan padaku saat berada di apartemenku, itupun aku yang terlebih dahulu meminta penjelasan padanya.

Kesalahanku yang kedua, hingga saat ini ternyata aku belum memahami siapa Mas Aksa—Ralat! Saat ini mungkin sedikit demi sedikit aku mulai mengerti tentang Mas Aksa. Harusnya aku bisa memahami alur sikap dan watak dari Mas Aksa setelah beberapa bulan ini. Namun, nyatanya tidak. Aku bahkan baru menyadari Mas Aksa memang tidak pernah langsung bercerita padaku, kalau tidak ditanya terlebih dahulu.

Dan kesalahan yang ketiga, ada pada diriku sendiri. Terlalu banyak ego dalam benakku. Aku pun juga terlalu mementingkan egoku sendiri, tidak memikirkan perasaan Mas Aksa. Fatal. Menurutku ini fatal. Bagaimana bisa dalam suatu hubungan hanya ada satu hati dan pikiran yang ingin dimengerti?

Memang secara tak kasat, aku lah yang sebenarnya paling salah. Mas Aksa sudah banyak mengerti dan memahami keadaanku selama ini. Baik di saat senang ataupun di titik terlemahku. Dan di saat aku sedang memiliki masalah yang cukup mengguncangku, tanpa diberi tahu, Mas Aksa mengerti apa yang harus dilakukannya untukku. Mas Aksa rela pulang lebih awal dari tugasnya untuk menemuiku dan menyiapkan telinga untuk mendengarkanku. How lucky am i?

Aku memandangi layar ponselku yang menampilkan chat room milik Mas Aksa. Senyuman mengembang di bibirku, seraya mataku mengeluarkan air mata yang turun membasahi pipiku. Jemari tanganku kini tak ragu untuk menekan keyboard yang ada di layar, menuliskan pesan singkat, namun penuh harap kepada Mas Aksa.

Me :
May i come to your house?

Ya... setidaknya aku bisa bersyukur, sejak kemarin Ayu pulang ke Bekasi. Jadi, aku tidak perlu repot-repot menjelaskan alasan mengapa semalam kasurku bergetar. Tentu saja karena aku menangis.

The Walk of Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang