Setelah semalaman menunggu jawaban pesan dari Aiden, Pagi ini Nata bangun lebih siang dari biasanya. Nata Terbangun pada pukul sebelas siang dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan. Bahkan, terlihat jelas di pipi Nata, bekas air mata yang telah mengering. Untung saja sekarang adalah hari Sabtu dan Nata juga tidak memiliki jobdesk liputan atau siaran apapun.
Nata melangkahkan kakinya keluar dari kamar, hendak menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Sembari menegak habis air putih yang ada di dalam gelas yang digenggamnya, Nata melirik ke sofa yang ada di ruang tengah apartemennya. Di sana, Ayu sedang bergulat dengan beberapa kertas serta menatap ke arah laptop yang ada di hadapannya.
"Belajar mulu!"
Ayu mendongak dan menatap Kakaknya tajam. "Bulan depan gue udah ujian!" sahutnya ketus.
Tatapan Ayu kini berubah menyelidik ke arah Nata. Dahinya berkerut kebingungan setelah melihat keadaan kacau Kakaknya pagi ini.
"Jadi semalem kasur geter-geter itu gara-gara lo nangis?" Ayu langsung memberikan pertanyaan yang membuat Nata berbalik memberikan tatapan tajam untuknya. "Lo lagi nggak baik-baik aja kan?" tanya Ayu sekali lagi. Namun, suaranya terdengar bingung dan khawatir kali ini.
Bagaimana tidak? Selama ini, Ayu jarang sekali melihat Nata menangis apalagi sampai terlihat kacau seperti ini.
Nata tidak menanggapi ucapan Ayu dan hanya mengedikkan bahunya santai. Ia lalu berlalu kembali menuju kamar tidurnya, untuk mengecek ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas.
Keadaan ponselnya masih tetap sama. Tidak ada satupun notifikasi pesan balasan dari Aiden.
Benda pipih tersebut dilemparkannya pelan begitu saja ke atas tempat tidur. Dengan mengembuskan napas kesal, Nata memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh serta sisa air mata yang mengering di pipinya.
Ini pertama kalinya Nata menangisi seorang laki-laki, setelah bertahun-tahun ia menyendiri. Bukan tanpa sebab Nata menjadi kacau sejak tadi malam. Kalau saja Aiden memberikan kabar dan menyebutkan di mana ia saat ini, mungkin saja Nata tidak akan sebingung dan sekacau ini. Semua itu ditambah dengan pembicaraan Aiden dengan seseorang kemarin, sesaat sebelum Aiden mematikan panggilan telepon Nata.
Raya. Nata sangat yakin, 'Ya' yang dimaksud Aiden adalah Kakak Perempuan Rion, Raya. Nata menyadari bahwa dirinya sendiri lah yang membuat rumit pikirannya saat ini. Kalau saja, Nata tidak terlalu kepo untuk bertanya ke Rion di mana keberadaan Raya, mungkin saja Nata tidak sekalut sekarang.
Setelah mengeringkan rambutnya yang basah, Nata kembali mengambil ponselnya. Raut wajah Nata berbinar setelah melihat notifikasi pesan balasan yang ditunggunya sejak semalam.
Aiden :
Nana, Maaf. Aku baru sampe rumah pagi ini. Semalem ada sedikit masalah yang harus diurus. Parahnya, ponselku mati. Maaf, Nana.Nata mengembuskan napasnya lega. Setidaknya Aiden sudah memberikan kabar mengenai keberadaannya saat ini. Aiden juga telah menjelaskan alasannya tidak membalas pesan Nata sejak semalam. Tanpa pikir panjang, Nata memutuskan untuk menghubungi Aiden.
"Assalammualaikum, Na."
"Iya, Waalaikumsalam. Udah di rumah ya?"
"Tadi jam sembilan sampe rumah, Na. Kamu udah makan?"
Nata mendudukan dirinya di tempat tidur, seraya menyisir rambutnya yang sudah kering.
"Belum. Kamu?"
"Belum juga. Kamu masak nggak?"
"Enggak." Nata terdiam, tidak mungkin ia memberi tahu Aiden bahwa ia baru saja bangun. Pasti Aiden akan merasa curiga, karena tidak biasanya Nata bangun sesiang ini. "K-kamu mau aku masak?" tanya Nata ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Walk of Love (COMPLETED)
Literatura FemininaTidak ada yang dapat mengetahui perjalanan hidup kita. Seperti halnya, Serenata Renjana. Berawal pada saat Nata menolong anggota militer yang menjadi salah satu korban jatuhnya pesawat di Perairan Belitung. Setelah itu, Nata yang merupakan seorang j...