bagian 17

1K 36 0
                                    

Mega yang sedari semalam tak bisa memejamkan matanya, sesekali turun ke lantai bawah, karna dari jam dua belas malam sang suami tidak kunjung pulang, bahkan ini sudah menjelang pagi. Ini sama sekali bukan kebiasaan Langit, Mega cemas, bahkan air matanya telah menetes, semenjak dua jam setelah kepergian Langit. Dia menyesal, sungguh, tapi dia sama sekali tidak sedang mengerjai Langit, keinginan itu murni, bukan rekayasa. Padahal, wujudnya saja Mega belum pernah menjumpainya, dia cuma melihat dari tayangan kuliner tradisional di salah satu televisi swasta. Kembali duduk di kursi rotan teras, depan rumahnya, bibirnya tidak berhenti menggigit ujung kukunya, karena cemas.

Bahkan ponsel Langit, sudah tidak lagi aktif, sedari pukul 2 dini hari. 'Kemana si Om? Aku nggak mau jadi janda diusia muda gini.'

"Nyonya, kenapa masih pagi begini sudah duduk di luar?" Bi Rum yang dengan tiba-tiba mengejutkan Mega, karna pikirannya sedang berlarian mencari suaminya.

"Iya Bi, saya sedang ingin menikmati udara segar." Bi Rum mengangguk, dan berlalu setelah pamit ingin berbelanja ke pasar.

Berjalan masuk kembali ke dalam rumah, dia berniat membangunkan Awan dan Lintang, sudah saatnya untuk menunaikan ibadah Subuh.

"Mami, Lintang pingin dipeluk!" Gadis kecil itu segera merentangkan kedua tangannya, untuk segera mendekap tubuh maminya.
"Mami pikir kalian belum bangun sayang, sini-sini sama mami!" Tidak menunggu lama, Awan juga Lintang segera berhambur ke pelukan mami mereka.

"Papa mana Mi?" Itu bukan Awan, jelas, karna yang bertanya adalah putri cantiknya, Lintang.

"Papa lagi mengurus keperluan, sebentar lagi juga bakalan pulang kok." Senyum tipis sebisa mungkin dia perlihatkan pada mereka, Mega tidak ingin ada kecemasan yang sama pada putra-putrinya. Meskipun, dia sendiri dilanda kecemasan yang berlebihan.

Langit, sebuah nama yang mampu menggetarkan seluruh jiwa Mega, bahkan saat usianya masih terbilang kanak-kanak. Langit, sosok yang selalu membuat hidupnya berwarna, meski dulu, disetiap pertemuan mereka sama sekali tidak menghasilkan sesuatu yang rimantis, Langit, yang menyempurnakan status gadisnya, menjadi seorang wanita dewasa. Langit, sosok suami yang akhir-akhir ini selalu menuruti keinginan nylenehnya. Namun, kini entah ada dimana? Sedang apa? Dan sama siapa? Pikirannya sangat tidak seperti biasanya, penuh rasa kekhawatiran.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, dia sudah mengantar Awan dan Lintang ke sekolahnya, setelahnya dia memasak. Meskipun pikirannya berlarian tak tau aturan, dia ingin, saat suaminya pulang nanti, sudah ada makanan yang terhidang di meja makan.

Huekk huekkk!

Mega berlari ke wastafel kamar mandi, samping dapur, dia memuntahkan angin dan sedikit air, tapi rasa mual yang bergejolak, seolah ingin memuntahkan semua yang ada dalam perutnya. Kepala yang sedikit ringan, mampu menghilangkan keseimbangan tubuhnya, perlahan penghlihatan Mega mengabur, tak lama semua menjadi gelap. Mega pingsan.

"Nyonya! Gimana ini? Aduh!" Mbok Rum bingung, harus berbuat apa, bahkan untuk mengangkat tubuh majikannya dia sungguh tidak mampu, setelah berpikir sejenak, dia berinisiatif memanggil satpam yang berjaga di depan rumah.

"Aduh mbok! Ada apa ini dengan Nyonya muda, bisa gawat ini kalo tuan Erlan tau." Pak Supri satpam di rumah Langit ketakutan, saat mengingat raut dingin Langit, dia pernah sekali, menyaksikan murka sang majikan, dulu saat masih bersama Senja. Baginya, sosok Langit type yang jarang menunjukkan kemarahan, meski pada pegawainya sekalipun, tapi justru saat marah sangat terlihat menakutkan.

Bi Rum, juga Pak Supri bergantian menghubungi nomor ponsel Langit, meski hasilnya nihil, entahlah, kemana majikannya itu, hal seperti ini, diluar kebiasaan Langit.

Mbok Rum, dengan setia mengompres kening Mega, dan membaluri dengan minyak kayu putih, di sekitar hidung dan kedua telapak kaki sang majikan. Disaat seperti ini, dia mengingat Senja, Mega maupun Senja, sama-sama memperlakukannya begitu baik, meskipun karakter mereka ada banyak perbedaan. Tapi bi Rum tetap menyayangi keduanya, seperti menyayangi anak kandung sendiri.

Hari telah menjelang siang, tapi sosok yang ditunggu-tunggu tak juga menampakkan dirinya, bahkan sang nyonya muda juga tidak kunjung sadar dari pingsannya, dia tidak tahu, apa yang terjadi dengan majikannya itu. Dia hanya berharap, tidak ada hal buruk padanya. Bahkan demamnya saja tidak kunjung reda.

"Mbok Rum, apa Tuan Erlan udah bisa dihubungi? Soalnya saya tadi udah hubungi kantor, katanya Tuan tidak ada di sana." Pak Supri masih terlihat begitu cemas, sama seperti bi Rum. "Belum bisa, mbok takut, kejadian yang lama terulang lagi,  mbok nggak mau, biar Tuan Erlan sama Nyonya Mega bahagia." Menyeka air mata yang tumpah, dengan punggung tangan tuanya, wanita paruh baya itu, benar-benar tidak menginginkan hal buruk, terjadi pada rumah tangga Langit-Mega.

"Kenapa nggak mencoba menghubungi Nyonya besar? Pasti tau kemana Tuan Erlan berada." Pak Supri masih memikirkan siapa lagi yang seharusnya dihubungi.

"Sudah, tapi beliau bilang nggak ada, saat ini beliau lagi Singapore, sedang liburan katanya." Bi Rum nampak putus asa.

"Nah! Nyonya besar Rima! Gimana mbok?" Pak Supri sumringah, saat menyebut maminya Mega. "Kamu jangan sembrono Pri, kalau keluarga Nyonya Mega tau, masalah yang seharusnya bisa selesai, justru semakin melebar, kita tidak tahu, apa yang terjadi dengan mereka, semoga saja semuanya tetap baik-baik saja, aamiin." Bi Rum, berucap sambil matanya menerawang jauh, dalam hatinya selalu melafalkan do'a-do'a untuk kebaikan Langit dan Mega.

"Aamiin!" Pak Supri menyahut cepat.

Tepat pukul 3 sore, Mega mengerjapkan matanya,  kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Tidak terlihat, di ruangan itu ada suaminya, karna yang terlihat hanya Pak Supri juga Bi Rum, pembantu yang sangat disayanginya. "Dimana Om Langit Bi? Dia sudah pulang kan?" Tentu pertanyaan itu yang pertama kali di dengar mereka berdua, tanpa suara mereka hanya menggeleng lemah.

"Bi, Mega nakal ya? Sampe Om Langit nggak mau pulang. Apa Om udah bosan ya Bi? Menuruti keinginan Mega. Mega janji, kalo si Om pulang nggak akan ngerepotin lagi, Mega nggak akan minta Om buat nyariin makanan aneh-aneh lagi buat Mega."

Huhuhuuu

Tangis Mega kembali pecah, dan setelahnya dia kembali pingsan. Dan sekarang, tanpa menunggu lama Pak Supri dan Bi Rum membawa Mega ke rumah sakit, mereka takut terjadi apa-apa dengan Nyonya muda mereka.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya dokter yang menangani Mega keluar juga, Bi Rum dan Pak Supri  segera menghampiri Dokter pria tersebut. "Apa yang terjadi dengan majikan kami Pak Dokter?" Mbok Rum sesegera mungkin melontarkan tanya pada sang Dokter. "Pasien tidak apa-apa, itu hal biasa yang terjadi pada wanita hamil." Dokter memberikan pernyataan pada mereka berdua, dengan sesekali menatap keduanya, dari sorot matanya jelas memperlihatkan tanya yang sudah mereka tebak, pertanyaan apa yang bersarang pada sang Dokter.

"Dimana suami atau keluarga Pasien?" Benar dugaan Bi Rum.
"Tuan kami, sedang ada urusan bisnis diluar kota Dok." Wanita paruh baya itu menjawab setenang mungkin, dia tidak ingin mengumbar aib majikannya. Pak Supri mengangguk mengiyakan pernyataan Bi Rum.

"Bisa kami masuk, untuk melihatnya Dok?" Bi Rum tak sabar ingin menemui Mega, dia tidak ingin, saat-saat seperti ini Mega bertambah sedih.

"Silahkan, tolong jangan biarkan pikirannya stres, itu tidak akan bagus untuk janin." Dokter memberikan wejangan pada Bi Rum. "Baik Dok, terima kasih." Dokter itu berlalu, setelah mengangguk pada mereka berdua.

Tbc.
❤❤❤

Kemana kamu Om? Jangan macem-macem sama Dedek Mega! Awas yaa! 😂😂

Salam sayang untuk readersnya Si Om dan Dedek Mega yess😘😘

Om Duda Aku Padamu (Langit Mega)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang