bagian 22

1.1K 43 0
                                    

"Mi, apa Langit boleh menjenguk Mega? Sebentar pun tak apa, saya mohon." Langit mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, memohon pada mertuanya. Karna, sudah hampir sebulan Mega tak sadarkan diri, papi Mega dan kedua kakaknya tidak mengijinkan Langit menemui istrinya.

"Tidak!"
Bukan mami mertuanya yang yang menjawab, melainkan papi mertuanya yang menyahut tegas. Dia sudah tidak sudi melihat Langit berada di dekat putri semata wayangnya.

"Pi, biarkan Erlan menemui istrinya, dia berhak atas itu Pi!" Menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang diucapkan istrinya.

"Mami sudah gila? Lihat apa yang dilakukannya pada pitriku!" Bentaknya keras pada istrinya.
"Itu semua sudah digariskan Pi, semua diluar kehendak kita. Papi istighfar Pi."

"Tapi melalui dia! Melalui dia putriku terbating tidak berdaya, dia hampir bertarung dengan nyawa saat ini, Mami lihat, putri kita kembali mengalami masa kritis. Mami lihat, gara-gara jalang yang dipelihara menantu tersayangmu itu, putri kita hampir mati! Mami lihat!!! Keadaan mobil yang sudah tidak berbentuk, Mami bayangkan, saat putri kita, wak-waktu itu selama hampir dua jm, terjepit diantara bangkai mobil. Mami ingat????" Pria paruh baya itu berkata panjang lebar, dengan derai air mata. Dia sosok lelaki yang pantang mengeluarkan air mata, tapi hari itu, membuat air mata pertamanya keluar, saat menyaksikan keadaan putri tercintanya dalam keadaan mengenaskan.

Langit yang mendengar semua itu, tidak mengelak, dia merasakan nyeri yang teramat sangat, saat membayangkan istrinya dalam keadaan yang diceritakan papi mertuanya. Sedangkan dirinya justru sibuk tengah menemani wanita licik nan jahat seperti Lena. Dia memang pria bodoh, pria paling bodoh di dunia, sungguh seandainya bisa, ingin rasanya dirinya menggantikan posisi istrinya saat ini.

"Kalau kamu memang mencintai putri saya, saya harap kamu segera pergi dari kehidupan kami! Lupakan kalau kamu pernah menikah dengan kami!" Bahkan papi mertuanya menyebut dirinya dengan sebutan saya, tidak lagi menggunkan kata papi, Langit tidak bisa membantah, dia memang salah. Apa yang bisa dia berikan pada istrinya? Bahan justru dirinya yang mengantarkan sang istri menuju jurang kematian, mungkin memang benar, apa yang waktu itu sahabatnya ucapkan, seandainya dia menjauhi Mega, istrinya itu tidak akan mengalami nasib buruk.

Rima tidak membantah apa yang diucapkan suaminya, meskipun dia tidak ingin terlalu menyalahkan menantunya itu.

"Selamat siang Pak Raditama, bayi dalam kandungan pasien harus dikeluarkan, ini akan membahayakan nyawa pasien." Ucapan sang Dokter yang tiba-tiba mendekat, membuat dada Langit seperti dihantam ribuan ton batu. Dia ingin menjerit, sakit itu menyerang, sakit itu tidak terlihat, tapi rasanya begitu nyata, Langit kalah, kalah dengan keangkuhan Dunia. Langit merasa dirinya benar-benar membawa sial untuk istri dan anaknya. Bahkan saat anak itu belum terlahir, telah turut menerima kesialan dari papanya.

"Kamu dengar itu bajingan? Kamu dengar???" Kini pria paruh baya itu tidak lagi segan untuk berteriak. Langit, kini merasa lututnya lemas, dia terduduk bersimpuh  di lantai.

"Kamu pikir, dengan kamu menyesal semua bisa kembali seperti semula? Putriku terbaring di dalam sana, entah sampai kapan, dan cucuku, kamu telah membunuhnya!"

"Pi, sudah Pi, jangan berteriak-teriak, ini tidak baik untuk kesehatan Papi. Ini rumah sakit Pi, kasian juga dengan pasien di sini." Rima menenangkan suaminya, dengan mngelus punggung pria lima puluh tahun itu.

"Saya tidak akan mengulangi lagi ucapan saya, sekarang juga kamu pergi dari kehidupan kami, jangan pernah muncul di depan mata kami." Kali ini ucapannya tidak lagi bernada tinggi, dia kembali bernada datar, seperti biasanya saat di kantor.

"Baiklah Pi,-"
"Saya bukan papi kamu."
"Ba-baiklah Om, saya akan pergi." Langit terpaksa mengiyskan keinginan mertuanya, toh ini juga demi istrinya.

"Jangan lupa, segera urus perceraian kalian." Raditama berbicara tanpa menoleh lagi pada Langit.

Langit mati, dia merasa dirinya saat ini benar-benar mati. Kata itu tidak pernah ingin Langit ucapkan, tapi keadaan membuatnya harus. Langat kalah, dia benar-benar kalah.

"Saya pergi, tapi ijinkan saya untuk terakhir kalinya menemui istri saya, saya mohon."

"Baiklah kamu temuin dia Nak, mami ijinkan."

"Mi,-" Rima melotot pada Raditama, saat pria itu ingin berbicara, dia tidak boleh lebih kejam lagi terhadap Erlan, karna bagaimanapun, tidak dan bukan keinginan menantunya, menantunya hanya turut menjadi korban.

"Lima menit, tidak lebih!" Raditama kembali bersuara, saat Langit ingin memutar knop pintu ruangan istrinya dirawat.

Dia menoleh sejenak pada mertua laki-lakinya, sembari mengangguk, dan kembali melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam. Matanya menatap nanar, pada wanitanya, yang seluruh tubuhnya terpasangi alat-alat kedokteran yang menopang kehidupannya. Dia memeluk tubuh lemah istrinya, airmatanya jatuh menetesi pipi yang kini berubah tirus, yang disebabkan koma itu. "Maafkan aku sayang, kamu harus kuat, kamu harus kembali pulih, aku percaya kamu mampu melindungi anak kita. Langit menyatukan kening mereka, mengecup lembut dan dalam kening itu. Setelahnya, dia mengecup bibir pucat istrinya. "I love you, you are always mine." Setelahnya Langit beranjak menjauhi tempat istrinya berbaring.

Saat sampai di depan pintu, dia kembali menoleh, sambil menghapus jejak air mata yang masih terus saja membanjiri wajah tampannya.
Setelah pintu tertutup rapat, jari tangan Mega bergerak. Matanya perlahan terbuka, disaat yang bersamaan mobil Langit menjauhi area parkir Rumah Sakit, yang selama ini menjadi tempatnya bernaung. Langit telah memutuskan pergi, pergi dari negeri ini. Bersama putra-putrinya beserta mamanya.

Tbc.
❤❤❤

Jangan protes ya kalian, ini memang dikit banget, tapi ini aku bela-belain ngetik sambil nahan kantuk hllo. Karna semalaman belum tidur, terus pulang kerja tadi pagi langsung cus ketik-ketik manjah buat readersnya Dedek Mega sama Om Langit yang malang.

Eh, mau tanya nih, kira-kira mendingan mereka pisah aja kali yess, biarin ntar Mega sama Langit hidup dengan cara mereka sendiri.

Setuju??

See you all😘😘


Om Duda Aku Padamu (Langit Mega)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang