bagian 24

1.1K 40 0
                                    

4 tahun kemudian
Semua orang mengira, dia mampu melupakan masa lalunya, karna dia tidak lagi membahas pria masa lalu tersebut. Hanya saat kesendiriannya, pria itu selalu hadir dalam angan, walaupun luka itu masih menganga, tapi dia tidak mampu berdusta pada hatinya, karna dia hanya berdusta pada Dunia. Bahkan Dunia percaya, dia telah meninggalkan masa kelam itu. Tak ubahnya seperti boneka, boneka yang dimainkan seseorang, berkata dan bertindak atas dasar keinginan mereka.

Dia tidak lagi bisa memeluk masa lalunya, dia hanya mampu memeluk bagian dari masa lalu itu, karna bagian itu yang akan menyambung masa depannya. Dyassta Aditama, putra semata wayangnya, nama belakang yang diambil dari keluarga besar maminya. Sebab sang Opa tidak ingin, cucunya memiliki nama keluarga besar ayahnya, tidak ingin, bahkan seandainya bisa, menghapus jejak gen dan darah dari keluarga Mahardika. Rasa sakit itu masih menganga bagi pria paruh baya itu.

Seberapa rindunya wanita itu pada pria masa lalunya, dia mencoba menepis rasa itu, tidak ingin menyakiti hati papinya. Meskipun hatinya masih ada luka, tapi semua kalah oleh rasa yang tak pernah padam, rasa yang kian bergelora. Entahlah untuknya, masihkah sedikit saja mengingat tentangnya? Mega rasa tidak, mungkin saat ini mereka tengah berbahagia, bercanda tertawa tanpa ada beban, seperti dirinya. Bahkan untuk sedikit menarik sudut bibir saja terasa begitu kaku, teramat kaku.

"Mom, Dyasst mau eskim." Wanita itu menggeleng, tanda tidak ingin menuruti keinginan putranya. "Mommi, emmm eskim."

"No! Mom tidak ingin kamu sakit sayang." Bocah kecil itu merunduk, tidak menangis, tapi memainkan kedua kakinya.

"Ayo cepatlah kita harus segera pulang, jangan sampai Opa mengomel nanti Nak." Duplikat Langit itu hanya tersenyum kecil yang disertai anggukan.

Setelah sampai di rumah, Mega bermaksud ingin mengambil segelas air putih, tenggorokannya terasa sakit, belum mencapai kulkas, suara berat sang papi sudah memenuhi gendang telinganya.

"Bersiaplah, nanti malam akan ada pria yang melamarmu." Wajahnya mendongak menatap sang papi, dan perlahan menggeleng dramatis. Dia tidak ingin lagi berumah tangga, apalagi dengan pria yang tidak dikenalnya. Papinya sungguh egois, benar-benar egois, Mega kecewa. Kali ini dirinya tidak ingin repot-repot menutupi rasa ketidak sukaannya dengan sikap sang papi, sudah cukup, empat tahun ini dirinya seperti layaknya boneka. Dia ingin menentukan sendiri jalan hidupnya.
"Tidak ada bantahan! Apa kamu masih mengharapkan bajingan itu?" Dia tidak layak untukmu! Ucapnya tegas.

*****

"Nak! Tidak mungkin bukan, seumur hidupmu akan terus menduda seperti ini? Kamu butuh seseorang untuk mendampingimu." Langit tidak menanggapi sepenuhnya ucapan mamanya, saat pembahasan seperti ini kembali diangkat menjadi topik utama diantara mereka, lebih tepatnya mamanya.

Setelah tidak mendapat jawaban berarti, Salma kembali bersuara."Mama mau mengenalkan kamu sama Lilian, dia wanita yang tidak jauh berbeda dengan Mega, dia baik dan pastinya cantik. Kamu mau ya? Setidaknya untuk bertemu dulu dengannya, tidak apa tidak langsug komitmen, setidaknya kalian perlu saling kenal dengan jalan bareng. Demi mama."

Degh!

Kenapa mamanya  harus mengucapkan kalimat pamungkas seperti itu? Tidakkah dia menyadari, sama halnya dengan memaksakan sesuatu. Dan Langit tidak akan mampu menolaknya.

"Kamu bersiaplah, seminggu lagi kita akan kembali ke Indonesia, setelahnya  mama akan menghubungi Lilian, dia tinggal di Bali bersama mamanya. Mama yakin, kamu tidak akan kecewa." Langit hanya mampu menelan kembali ludahnya, sebenarnya dia masih ingin berusaha mengambil Mega ke dalam pelukannya. Namun, orang-orang suruhannya tidak ada yang mendapat info secuilpun tentang wanitanya itu, bahkan Langit menempatkan seseorang untuk selalu mengawasi rumah mantan mertuanya, demi mendapat foto Mega setidaknya, dan hasilnya gagal.

Om Duda Aku Padamu (Langit Mega)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang