bagian 4

2.1K 67 3
                                    

Pagi ini, hari pertama Mega menjalani profesi barunya, babysitter. Setelah semalaman dirinya tak bisa memejamkan mata, mengingat calon bossnya yang...uhh gantengnya membeludak kaya kali Ciliwung saat musim hujan. Dari mini dress sampe gaun malam, semua sudah dicobanya. 'Yang benar saja kerja momong anak mau pake beginian, yakali momong bapaknya juga.' Apa yang kini dipikirkankannya itu, dan lagi-lagi kaos t-shirt yang kembali menunjang penampilan kali ini, minus celana belel pastinya.

"Dek, tumben celana butut lo gak dipake? Dah mo insap ya?"

"Ih, abang paan sih? Kepo aja" sungutnya."Mami mana bang?"

"Tau"

"Yodah gue cabut sekarang yak!"

"Serah!"

Setelah sampai di depan rumah mewah yayang Erlan, dan diijinkan masuk sama pak satpam, Mega memarkirkan motor satria warna ungunya itu. Sedikit merapikan rambut dan tampilan wajahnya, dia kembali melangkah menuju teras rumah itu.

"Permisiiii!!! ada tamu di sini!!!"
"Permisiiiii!!! tamu nih wooyyy"!!

"Kamu siapa? Bertamu gak sopan banget!"

"Saya calon istri, etss calon babysitter buat om ihh, maksud saya calon babysitter buat anak-anak om Erlan" 'dan kalau perlu calon ibu buat anak-anaknya juga mau bingitss' imbuhnya lagi dan tentunya cuma dalam hati. 'Yaelah, calon mertua galak banget sih! Guekan jadi takut.'

"Tapi anak saya gak ada bilang apa-apa tuh!" Bersedekap dada dengan angkuhnya dan menelisik dari ujung kepala hingga kaki.

"Tapi tante, saya memang sud--"

"Mah, suruh dia masuk. Dia ysng akan menjadi pengasuh anak-anak mulai hari ini." Terang Langit dari balik punggung mamanya.

Senyum tercetak jelas di wajah Mega, tentu saja itu lebih seperti ejekan bagi   Salma. Masuk kedalam rumah mengikuti mama dan juga Om Langitnya itu menuju meja makan. "Siapa nama kamu?" Kali ini dengan nada dan raut yang lebih bersahabat ketimbang tadi.

"Mega tante" suasana yang lebih santai daripada tadi, juga saat melirik kepada dua bocah yang sedang asik memakan sarapannya itu. Mega tau mereka  pasti tidak akan merepotkan, lihat saja mereka tampak manis-manis dibanding satu keponakannya, anak dari kakak pertama yang sangat usil. Mega membayangkan, betapa bahagiannya kalo saja kedua anak itu memanggilnya bunda, senyum mengembang di bibir Mega.

"Apa setiap hari kamu selalu senyum-senyum sendiri begitu?" Suara barithon membuyarkan lamunan indah Mega.

"Enggak om, saya cuma bahagia akhirnya kuliah saya pasti bisa lancar, karna saya bisa mendapat uang untuk bayarannya. Cengiran kuda khasnya kembali menghiasi wajahnya, dan itu membuat Langit mual.

"Anak-anak nama kalian siapa?" Nada sok manis keluar dari bibir Mega.

"Aku Lintang Ayu Langit Mahardika dan ini saudara kembarku Awan Putra Langit Mahardika. Kami kesayangan papa Erlan dan mama Senja yang tidak menerima lowongan buat jadi calon mama.

Eh, tunggu!

'Dia tau apa yang ada dalam otak gue, oh, apa katanya barusan calon mama? Emang mamanya kemana? Minggat? Bodoh banget tuh cewek, ah tapi biarlah, dia udah baik jagain jodoh gue'

"Emang mama kamu kemana?" Yah pertanyaan lolos dari bibirnya, yang tanpa dia sadari telah mendapat pelototan tajam dari Langit dan Salma.

"Mama udah di surga"

Jleb!

Dia merasa bersalah dengan pemikirannya barusan, diraihnya bahu bergetar Lintang dan mencoba mengusapnya. Namun, segera ditepis begitu saja oleh Awan.

"Jangan modus deh, kita udah tau kok apa niat kamu sebenarnya. Baik-baikin kita terus mau daketin papa kitakan? Ngaku deh?"

Waduh! Anak-anak ini gak sepolos yang dipikirkannya ternyata.

"Ih, siapa bilang. Tante gak mau kok modusin papa kalian." Tapi kalo beneran disuruh nikah sih mau banget imbuhnya lagi, dan tentunya cuma dalam hati.

"Mah, anak-anak papa berangkat dulu ya, kalian akan diantar sama tante Mega mulai hari ini." Langit mengecup kedua pipi Lintang dan Awan, yang pastinya diiringi rasa iri di hati Mega, yang dengan segala kehaluannya.

"Ayo tante anter sekarang ya?"
Mereka berlalu begitu saja meninggalkan Mega "eh ini tas kalian kenapa gak dibawa?"
"Biasanya papa yang bawain tas kita, kan sekarang ada tante, ya tantelah yang harus bawa.

"Eh busyett!"

"Jangan bicara kasar sama cucu-cucu saya!" Tahu-tahu Salma sudah di dekatnya dengan pelototan tajam, mungkin sudah ciri khasnya.

Mega duduk di samping kemudi, sedang anak-anak songong itu duduk di belakang."Tante, jangan mimpi ya mau nikah sama papa kita! Tante Lena yang cakep aja ditolak mrntah-mentah sama papa, apalagi tante yang model begitu." Andai saja yang bicara seperti itu bukan anak dari si pemikat hatinya, mungkin sudah dia bungkam mulut anak itu pake telor ceplok bikinannya. "Gak! Tante gak suka sama papa kalian." Tapi bohong, lanjutnya bergumam.

'Ya tuhan, kenapa juga om ganteng udah punya anak, mana dua lagi, songong pula.' Gumamnya sambil menuju bangku tempat tunggu orang tua siswa. "Mbak ini kakaknya Lintang sama Awan ya?" Tanya seorang yang mungkin orang tua temannya Lintang dan Awan. "Emang papanya kembar yang mana sih?" Tanya ibu-ibu yang lain.

"Bu-bukan saya bundanya" memasang wajah semanis madu, demi menciptakan keyakinan pada si penanya. "Kok gak pantes ya, jadi bundanya mereka?" Ih, si ibu itu meragukan dirinya rupanya. "Apanya yang gak cocok bu? Apa menurut ibu saya ini terlalu muda? Kalo iya biar saya jawab. Mas Erlan suami saya itu jatuh cinta pada pandangan pertama, bahkan sudah beberapa kali saya tolak lamarannya. Ya, berhubung dia kukuh ingin meminang apa boleh buat, selain saya terima saja pinanangannya. Asal ibu tau ya, dia bahkan sampe berlutut loh, ketika saya tolak dia." Dengan jumawa Mega menceritakan Langit, tentu semua itu hanya bualannya.

Ehmm!!

Degh!

Degh!

Suara itu?
Gak asing baginya. Menoleh ala-ala wanita anggun dengan gaya slow motion, Mega merasakan tenggorokannya tercekat, mungkin kalau boleh diibaratkan, bagai nelen biji kendondong. Ah, rupanya Tuhan tak ingin dirinya terlalu membual. Ets! Tunggu dulu, bukankah ucapan itu merupakan sebuah doa? Mungkin saja dia kemari ingin menyatakan cintanya, dan ingin menua bersama.
Dengan gaya dibuat setenang mungkin, meski jantungnya ingin melompat keluar dari tempatnya, Mega tersenyum manis dan meraih pundak Langit. Tidak sampai disitu kegilaan Mega berhenti, bahkan dengan nekatnya agak berjinjit dia beranikan diri mencium pipi kanan Langit, walau bayang-bayang pemecatan dan berbagai umpatan akan diterimanya. Masa bodoh dengan semua, yang terpenting baginya kini, membuktikan pada ibu-ibu songong itu bahwa pernyataannya bukanlah bualan semata. Meskipun aslinya iya.

Tbc.

❤❤❤

Nb. Bagaimana ya kira-kira reaksi Langit pada babysitter anaknya itu?
Boleh ya krisannya😊 see you😘😘

Om Duda Aku Padamu (Langit Mega)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang