10: Kaki

400 48 9
                                    

Imdad membopong gadis itu dipunggung dan membawanya menyusuri sungai. Perlu waktu puluhan menit hingga Chandni merasakan situasi kikuk itu dan dia berinisiatif mencairkan suasana.

“Tuan, bagaimana jika aku menyanyi sebagai balasan jerih payahmu membawaku?” tawar Chandni.

Imdad tertawa pendek. Ia mulai kelelahan membawa beban di punggungnya. “Kau punya timbang rasa juga rupanya,” sindirnya.

“Oh, tentu saja. Paman dan bibiku mengajarkan agar jangan berhutang pada orang lain. Aku harus bisa membalas budi baik orang lain secepatnya.”

“Ajaran yang bagus dari paman dan bibimu,” puji Imdad.

Chandni mulai menyanyi, bersenandung lebih tepatnya, karena dia tidak membuka penuh suaranya dan yang dinyanyikannya syair-syair pelesetan tentang percintaan, bahkan sesekali dia tertawa kecil oleh ejekannya sendiri. Imdad merasakan desiran suara gadis itu di tepi telinganya dan tersenyum sendiri. Hiburan yang cukup menenangkan perasaannya.

Suaranya tidak terlalu merdu atau berkarakter, tetapi suara yang mengalun lembut seperti pengantar tidur atau seorang wanita yang mengerjakan pekerjaan rumah sambil mendengungkan nyanyian. Imdad jadi penasaran bagaimana keseharian gadis penari itu.

“Aku rasa itu bukan lagu yang akan dinyanyikan di pertunjukkan,” sela Imdad.

“Oh, iya memang bukan,” sahut gadis itu. “Itu lagu yang dinyanyikan bibiku saat dia di rumah memasak untuk paman.”

“Kau selalu menyebut paman dan bibimu. Bagaimana dengan orang tuamu? Apa yang terjadi pada mereka?” selidik Imdad.

“Aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Kata Bibi aku ditinggalkan di pintu belakang sanggar. Karena kasihan padaku, maka dia memeliharaku. Paman dan bibi adalah orang terbaik yang aku kenal. Mereka sanggup menyayangi seseorang seperti anak mereka sendiri melebihi orang tua kandungku.”

Imdad tidak bertanya lebih lanjut. Tampaknya gadis itu memang tidak punya kehidupan lain kecuali sanggar seni dan tarian.

Hari semakin gelap. Mereka tiba di pinggir sungai di mana tampak seekor kuda putih menunggu. Kuda itu terikat di batang pohon dan berdiri tenang.

“Nah, itu kudaku!” Imdad bergegas mendekatkan gadis itu ke sadel kuda. “Kau bisa pindah sendiri ke atas Aanjay ‘kan?”

“Aanjay?” Chandni keheranan.

Imdad tersipu. “Itu nama kudaku. Aanjay artinya tidak terkalahkan.” Ia menepuk punggung kuda itu. “Aanjay tidak pernah kalah dalam balapan kuda. Benar ‘kan, Jay?” Kuda putih itu mengangguk.

“Oh.” Chandni jadi berpikir dia bukan satu-satunya yang suka bicara dengan binatang. Dia meraih sadel kuda lalu menarik tubuhnya dan berpijak menaiki kuda. Namun pergelangan kakinya yang terkilir nyeri bukan kepalang.

Chandni terpekik dengan tubuh tersangkut di punggung kuda. Imdad segera menangkap pinggulnya dan mau tidak mau mendekap pantat gadis itu. Telapak tangannya menangkup gundukan kenyal itu dan mendorongnya ke atas agar duduk mantap di sadel.

Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan wajah bersemu. “Bisakah kau tidak bertindak ceroboh? Kau membuatku serba-salah,” cecar Imdad dan gadis itu tertunduk segan. “Ma-maaf,” gumamnya.

Melihat wajah malu-malu itu, debaran jantung Imdad semakin cepat. Ini yang pertama kalinya ia bereaksi demikian terhadap seorang wanita setelah 3 tahun berlalu semenjak kematian istrinya.

Imdad segera memalingkan wajah menyadari ia punya rasa yang tidak pantas pada orang asing.
Imdad segera naik ke punggung kuda dan duduk di belakang gadis itu, mendempetkan dada bidangnya ke punggung tubuh mungil itu. Kedua tangannya melingkungi pinggang gadis itu untuk menarik tali kekang.

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang