Ruang makan Istana Rajpur tersedia meja dengan kursi-kursi rendah dilengkapi bantalan duduk, meja panjang tempat meletakkan berbagai hidangan serta perlatan makan dan minum dari logam. Set menu thali terdiri dari aneka masakan daerah khas tersaji dalam mangkuk-mangkuk kecil dan piring logam berukuran besar. Nasi putih yang masih mengepulkan asap tipis ditemani lauk sambar dan rasam, berbagai jenis acar, hidangan kelapa parut dan santan dengan bumbu yang kaya rempah-rempah.
Air putih dalam bejana besar dituang ke gelas-gelas oleh para pelayan yang terus menundukkan kepala karena mereka tidak boleh menatap terang-terangan para tuan mereka. Air putih wajib tersaji saat makan agar tidak mengacaukan rasa makanan. Di samping itu tersaji teh yang direbus bersama rempah-rempah kapulaga, cengkeh, kayu manis, dan jahe, lalu dicampur dengan susu sehingga menjadi minuman teh masala yang manis dan kental.
Ruangan itu dipenuhi aroma hangat dan menenangkan dari rempah-rempah, dengan harapan mereka duduk bersama di sana menikmati hidangan dalam suasana yang damai dan kekeluargaan. Memang, makan bersama bisa menjalin keakraban dan ketenteraman dalam keluarga. Namun masalah kali ini rupanya hanya bisa diredam sementara.
Rajputana dan Imdad bisa makan dengan lahap, akan tetapi Maharana Udai Singh menahan-nahan kegusarannya sehingga tidak bisa menikmati hidangan di hadapannya. Setelah beberapa suap nasi dan kari, Udai Singh mencuci tangan dan memilih menghirup teh masala. Sambil mengangkat cangkir, ia melirik ke arah menantunya, Anuradha.
Wanita berusia 24 tahun itu terlihat menunduk saja selama duduk di meja makan, bahkan tidak menatap suaminya yang duduk berseberangan dengannya. Sementara Rajputana asyik mencomot ayam kari, melahap dengan tangan kosong. Rajputana tidak terlihat terbebani dengan kelakuan istrinya. Udai Singh bisa memahami kegalauan Anuradha karena tidak bisa memberikan keturunan selama 7 tahun pernikahannya dengan Rajputana. Namun sebagai pemimpin, ia harus mengutamakan kelanjutan kekaisarannya. Ia tidak boleh terpengaruh rasa simpati.
Selesai sarapan keluarga kerajaan itu, Udai Singh menyuruh Rajputana dan Imdad menemuinya di sasana. Dalam ruang tempat belajar dan menerima nasihat itu terdapat rak-rak besar penuh berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Di sana juga berjejer barang-barang hasil pertukaran budaya, penjajahan, maupun peninggalan nenek moyang.
Rajputana segera menjumput sekeping koin perunggu yang tergeletak di meja tulis lalu melempar koin itu ke udara dan menangkapnya, mengabaikan ayahnya yang berdiri menghadap lukisan diri. Rajputana memainkan koin itu bolak-balik di punggung jemari tangannya.
Imdad geleng-geleng kepala melirik kelakuan Rajputana yang terlihat suka main-main dan tidak pernah serius jika di hadapan ayahnya. Padahal jika di depan pejabat lain ia akan memasang gaya berwibawa. Imdad berdiri tegap di tengah ruangan menunggu titah, sedangkan Rajputana bersikap masa bodoh dan memilih ke tepi jendela melihat pemandangan taman sambil memainkan koin. Rajputana sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ayahnya.
Udai Singh mengeluarkan embusan lelah dan pundak tuanya menurun lemas. Ia pun menggelengkan kepala melihat tindak tanduk Rajputana. Salah satu alasannya ingin segera memiliki cucu agar Rajputana bisa bersikap lebih dewasa. Jika masih suka main-main saja, bagaimana ia bisa tenang menyerahkan takhta pada putranya yang satu ini?
Udai Singh melirik sekilas pada Imdad dan terbesit dalam hatinya, andaikan putranya bisa seperti Imdad. Tenang, berwibawa dan serius.
Mendengar suara napas ayahnya, Rajputana menggenggam koin perunggu itu lalu menautkan lengannya di belakang. Ia berbalik menghadap ayahnya. “Ada apa, Ayahanda? Anda tampak kesusahan?”
Udai Singh memungut buku tebal dari atas meja dan melemparnya ke arah Rajputana. Rajputana menangkis dengan mengangkat pergelangan tangannya. Buku itu jatuh berdebum di lantai. “Ah, Ayah, apalagi kesalahanku kali ini?” gerutu Rajputana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
RomantizmSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...