12. Imdad Hussain

379 46 1
                                    

Pagi-pagi buta Imdad memacu kudanya menuju istana Rajpur. Mengenakan seragam kerajaannya berupa sherwani putih dan seluar katun, rambut ditutupi turban putih, pedang di pinggang, kaki panjang bersepatu lars bahan kulit warna cokelat yang sama dengan rompi pelindung dadanya.

Para penjaga membungkuk menyambut kedatangannya ketika ia melintasi gerbang utama istana. Imdad memasuki halaman lalu turun dan menambatkan kudanya di sebuah bongkot. Ia melangkah lugas menuju balairung untuk memberi salam pada raja terlebih dahulu sebelum bertemu putra mahkota.

Di ruangan luas itu lantainya terbuat dari batu pualam yang dipoles sebening permukaan air. Langit-langit kubah bundar yang dihiasi batu-batu berkilau seperti serpihan kaca. Sebuah singgasana berupa kursi besar berukiran warna keemasan dilapisi bantalan empuk dan kain beledu semerah darah. Dinding balairung dihiasi tirai panjang dan tinggi dari bahan beledu senada dengan kursi takhta sang raja.

Baru selangkah melewati pintu megah balairung, Imdad dikejutkan sergapan mendadak dari samping. Pemuda sepantarnya mendorong Imdad ke belakang tirai. Imdad hampir mencabut pedangnya jika orang itu tidak bersuara dengan memberi tanda telunjuk di bibir agar ia tidak bersuara.

"Ssst, Imdad, ini aku!" bisik Rajputana. Pria itu mengenakan jubah yang bersulam benang emas, akan tetapi tidak mengenakan turban mahkotanya. Imdad melirik tajam pada Rajputana. "Tolonglah aku, saudaraku, aku perlu waktu sejenak untuk menenangkan diri," pintanya.

Imdad mengedik jengah. Rajputana merangkulnya. "Imdad, kau adalah pasangan jiwaku, orang yang benar-benar mengerti aku," desaknya.

Sebelah kening Imdad terangkat. "Apa kau bertengkar dengan Tuan Putri?" tebak Imdad.
"Tidak ada kejadian aku bertengkar dengannya ataupun dengan istri-istriku yang lain. Yang ada adalah Anuradha bertengkar mereka."

Rajputana menurunkan rangkulannya. Keduanya melorot dan duduk di lantai. Rajputana menatap ke puncak tirai yang menutupi mereka dan mendesah lelah.

Imdad mengulum senyum dan menyindir sahabatnya itu. "Bukankah kemarin kita libur dan waktunya bersenang-senang? Kau harus mendapatkan energi baru untuk memulai hari."

"Andaikan saja," seloroh Rajputana. "Menghadapi para wanita lebih menyusahkan daripada menghadapi musuh di medan perang. Dalam peperangan masalah akan tuntas dengan pedang dan panah, tetapi dengan para istri ini ... meskipun kita bertarung di tempat tidur dan memuaskan mereka, itu tidak menyelesaikan masalah. Hari demi hari mereka semakin pencemburu dan mempersoalkan hal yang itu-itu saja. Sekarang bertambah masalah baru." Rajputana geleng-geleng kepala terhadap keluhannya sendiri.

"Apa lagi yang terjadi?" Imdad bertanya penuh simpati.

"Para selir marah pada Anuradha dan menuntut keadilan. Anuradha sering mengundang mereka ke jamuan santai di kediamannya. Mereka baru mengetahui minuman yang disajikan Anuradha untuk mereka ternyata membuat mereka tidak bisa hamil. Apa yang dilakukan Anuradha memang keterlaluan, tetapi aku tidak bisa menghukumnya. Permasalahan utamanya adalah Anuradha yang tidak kunjung hamil dan dia takut bersaing dengan perempuan lain. Jika keadaannya terus begini bisa-bisa Ayah menyuruh aku mencari istri lagi."

"Apa masalahnya kalau kau menikmati semuanya?"

Rajputana menatap ke dalam mata Imdad dengan sorot bersungguh-sungguh. "Semakin aku sering bersama mereka, aku menjadi tidak punya rasa lagi. Maksudku seakan aku melakukannya karena mereka menginginkannya, bukan karena aku menginginkan mereka. Aku bahkan tidak bisa ingat wajah mereka.

"Bukan karena aku tidak menyayangi mereka. Aku berusaha menyayangi mereka, tetapi perilaku mereka, tingkah laku mereka, setiap hari merongrong dengan pertanyaan siapa yang paling disayangi. Aku tidak tahu lagi cara untuk menyenangkan mereka. Semuanya sudah aku sediakan; perhiasan, alat rias, pakaian yang indah, kamar yang indah; tetapi tetap saja mereka menjatuhkan satu sama lain di belakangku dan begitu di depanku mereka memasang senyum penuh kepalsuan. Setiap saat mereka berusaha memberikan pelayanan yang terbaik untukku dan itu terasa palsu. Itu salah satu alasan yang membuatku malas beristri lagi."

Imdad tidak bisa berkomentar karena situasinya berbeda dengan Rajputana.

Rajputana mengguncang tubuh Imdad. "Karena itu, Imdad, mari kita bertukar posisi. Setelah ayahku mangkat, aku serahkan tahtaku untukmu dan aku bekerja untukmu."

"Kau tidak bisa melakukan itu, Raj. Garis keturunan yang ada dalam darah dagingmu itu tidak bisa diubah oleh siapa pun. Jika aku mengambil posisimu, aku bisa dianggap makar dan perang saudara tidak akan bisa dihentikan. Kau tahu banyak paman dan sepupumu yang siap menggantikan posisimu."

Rajputana berdecak kesal. "Sialan! Aku benar-benar iri denganmu. Setidaknya kau tidak perlu menikah dengan banyak wanita."

"Heee, aku rasa itu karena pilihanku sendiri," kilah Imdad. "Aku hanya memikirkan berperang dan aku tidak tahu apakah aku masih bisa hidup sekembalinya dari peperangan. Aku tidak ingin meninggalkan istriku dalam keadaan bersedih karena itu aku akan berusaha membahagiakan istriku. Namun takdir berkata lain. Istriku lebih dulu meninggalkanku dan terus terang saja itu meninggalkan kekosongan besar dalam hidupku dan aku tidak berani mengisi posisi itu dengan orang baru.

"Aku takut merasakan kembali kehilangan itu. Aku seorang ksatria berpedang dan aku siap menghadapi ratusan bala tentara musuh, tetapi aku bahkan tidak berani mengajak perempuan ke peraduan. Itu artinya kita diuji sesuai dengan ketentuan hidup kita masing-masing. Kau melihatku sebagai impian hidupmu, tetapi terus terang saja, justru dirimulah yang menjadi impian banyak laki-laki."

Rajputana tidak bersuara mendengar perkataan Imdad. Entah benar atau tidak apa yang diutarakannya, yang jelas sobatnya ini selalu bisa mematahkan argumennya. Rajputana berdecak lagi dan mengembus napas lelah untuk ke sekian kali. Tampaknya di kehidupan ini ia tidak punya pilihan lain kecuali menjalaninya.

"Kau tahu, temanku, jika aku bisa terlahir kembali, aku hanya ingin menjadi sepertimu. Seseorang yang bisa bertemu dengan cinta sejati dalam hidupnya dan hanya maut yang akan memisahkan. Aku punya banyak cinta dalam hidupku, tetapi tidak ada satu pun yang memberiku ketenangan jiwa. Namun aku masih berharap akan menemukan seorang yang bermakna dalam hidupku dan jika aku sudah menemukannya, aku tidak akan pernah melepaskannya."

Mereka berdua lalu sama-sama terdiam. Sama-sama merenung dalam hati mereka. Memikirkan tentang sosok seperti apa wanita yang akan membuat mereka merasakan cinta sejati.

Tiba-tiba bunyi serupa dengkuran halus terdengar. Rajputana menoleh ke wajah sahabatnya. Bunyi gemuruh itu berasal dari perut Imdad.

"Kenapa perutmu? Kau belum makan?" tanya Rajputana.

Imdad mendengkus, "Tentu saja belum. Aku ke sini pagi-pagi dan belum makan. Malam tadi juga aku tidak makan karena ingin buru-buru tidur. Katamu ada urusan penting yang harus kita lakukan hari ini."

"Astaga!" desis Rajputana. Ia menarik pundak Imdad agar berdiri bersamanya. "Kalau begitu mari kita makan dulu. Aku juga belum makan gara-gara istriku merajuk sejak seharian kemarin."
Rajputana dan Imdad keluar dari balik tirai persembunyian mereka dan berjalan berbarengan menuju ruang makan.

"Memangnya kita akan pergi ke mana hari ini?" tanya Imdad.

"Kita akan ke Manapur untuk menemui Sir Robert Lanchester. Kita akan berbisnis dengannya. Ia akan memperkenalkan senjata baru pada kita."

*
*
*

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang