Karena Chandni cedera, posisinya digantikan penari baru bernama Lavanya. Kepergian Ibu Kepala, Sarasvati dan Akash tempo hari adalah untuk menjemput gadis itu dari desa sebelah. Tinggal di desa tidak akan membantu bakat menarinya berkembang, karena itu Lavanya bersedia ikut ke kota Rajpur bersama perwakilan Sanggar Mohabbatein.
Lavanya gadis belia seusia Chandni. Gadis jelita berwajah tirus yang memiliki mata berwarna langit mendung. Mata yang terkadang menyorot tajam, tetapi mengerling indah apabila dia tersenyum di balik kerudung dupatta. Laki-laki dengan cepat terpesona melihat kecantikan Lavanya. Kulit kecokelatan dan perut kencang yang akan bergelombang jika ia memainkan tarian perut. Dia juga bisa melakukan 40 putaran dalam adegan tarian Kathak. Kepopuleran Chandni di antara para penari dengan cepat memudar.
Baru 3 hari dia cedera, kakinya belum sembuh total, akan tetapi ada saja orang yang meledeknya.
“Hmm, Chandni, sekarang kau cacat, kau tidak bisa menyombong lagi soal kehebatanmu menari,” ujar Priya, salah satu gadis yang menjebak Chandni di hutan saat mereka berkumpul di bawah pohon setelah istirahat dari pertunjukan.
“Ahahaha, iya dan kau juga ingin jadi selir? Huuu, jangan mimpi! Pangeran tidak akan mengambil gadis cacat sebagai selir. Tidak ada pria yang mau dengan gadis cacat. Kau tidak akan menikah seumur hidupmu, Chandni. Kau akan menjadi perawan tua,” timpal gadis lain.
“Uhm, iya, aku tahu Chandni cocoknya dengan siapa. Yaitu Ibu Kepala. Chandni akan menggantikan Bibi Sarasvati kelak. Tinggal seumur hidup di sanggar.”
Chandni langsung mencak-mencak dengan tangan berkacak pinggang. “Kalau tinggal selamanya di sini memang kenapa?” balasnya. “Apa salahnya jadi pelatih menari? Apa salahnya jadi Kepala Sanggar? Kalau bukan Bibi Sarasvati yang mengajari memangnya kalian bisa apa? Kalau sanggar ini bukan dikelola Ibu Kepala kalian pikir kalian bisa tinggal di sini?”
Priya mendorong Chandni dan balas berkacak pinggang. Chandni tergopoh mundur. “Heh, Chandni, kamu jangan sok suci. Kamu sendiri ingin jadi selir 'kan biar bisa keluar dari sanggar. Kau pikir kami tidak tahu? Kuberitahu kamu satu hal. Kamu tidak akan terpilih!” ujar gadis itu seraya menuding Chandni. “Bukan hanya karena kau cacat, tetapi juga karena asal usulmu yang tidak jelas siapa ayah dan ibumu. Aku yakin ibumu menjual diri pada para orang Eropa atau kau hasil dari perkosaan para tentara, jadi tidak jelas siapa ayahmu, karena itu ibumu membuangmu di sanggar.”
Wajah Chandni merah padam dan tubuhnya gemetaran menahan marah mendengar hal itu. “Itu tidak benar!” bentaknya. “Ibuku tidak seperti itu.”
“Apanya yang tidak? Dasar anak haram!”
“Tidak benar, aku tidak haram!” Chandni berang dan menjambak gadis itu. “Kyaaaah!” Keduanya berteriak marah dan saling balas jambak dan cakaran.
“Dasar Chandni binal, kau menganggap semua orang binatang, padahal kau lebih hina dari binatang. Dasar anak haram!”
“Tarik kembali kata-katamu!” Chandni menampar wajah gadis itu.
“Kyaaaahh!” Teriakan gadis itu makin nyaring dan semakin ramai dengan pekikan gadis lain. Beberapa gadis turut menjambak Chandni dan mencakarnya. Mereka bergumul berguling-guling di tanah.
Melihat Chandni dikeroyok, Prapti, hantu gadis kecil teman Chandni masuk ke tengah-tengah dan mengerahkan kekuatannya. “Hentikan!” teriaknya yang hanya terasa bagai embusan keras angin yang membuat gadis-gadis itu terjungkal menjauhi Chandni.
“Aduuuh, aduuuh ....” Mereka mengerang kesakitan.
Chandni meringis dengan tubuh dan wajah penuh baret merah bekas cakaran. Air mata meleleh di pipinya, tetapi tidak ada suara tangis keluar dari mulutnya. Dia menatap tajam pada gadis-gadis yang serupa musang dan aneka binatang lainnya. Mereka menatapnya dengan sorot ngeri, terkejut dengan kekuatan yang mendorong mereka.
“Hei, ada apa ini? Apa yang kalian lakukan?” tegur paman yang serupa bagal dalam penglihatan Chandni. Pria itu mendatangi mereka.
“Dasar Chandni aneh!” maki Priya sebelum paman itu mendekat. Dia dan teman-temannya berdiri tergopoh mengerubungi paman tadi. “Kami cuma main-main, paman, lalu Chandni marah-marah dan memukulku,” adu Priya.
Cukup lama Chandni tidak bikin ulah, kali ini paman itu keheranan dan tidak tahu harus memarahi siapa karena biasanya perkelahian anak-anak muda hanya masalah sepele yang dihadapi dengan emosi labil. “Sudah, sudah! Lebih baik kalian hentikan perkelahian ini dan jangan diperpanjang lagi. Ibu Kepala tidak akan senang jika anak-anak asuhnya berkelahi.” Pria itu lalu menatap Chandni yang masih terduduk di tanah. “Chandni kamu ....”
Belum sempat ia selesai bicara, Chandni segera berdiri lalu berjalan cepat dengan sebelah kaki berjingkat seraya terisak meninggalkan halaman. Mau dijelaskan seperti apa pun juga percuma. Toh dia kalah jumlah dan tidak ada yang bisa dibantahnya dari tudingan anak-anak itu. Lagi pula mengadu pada Bibi Sarasvati ataupun Ibu Kepala hanya akan menambah kecemburuan mereka. Chandni memilih menjauh. Dia kembali ke paviliun dan mengunci diri dalam kamar. Di bantalnya, dia menangis sesenggukan.
Prapti menghampiri Chandni. Dia duduk di sisinya dan mengusap punggung bergetar gadis itu. Sosok Prapti selamanya di mata Chandni adalah anak-anak. Dia tidak bertambah dewasa seperti Chandni. Namun puluhan tahun menjadi hantu membuat Prapti memiliki pemikiran yang lebih dewasa. “Jangan dipikirkan perkataan mereka, Chandni,” bujuknya. “Kau akan menikah suatu saat, jangan khawatir ....”
Chandni melirik sekilas dengan mata basah dan memerah pada hantu itu. Dia ingin membantah ucapan Prapti, tetapi lidahnya kelu. Seberapa besar pun dia ingin mempercayai ucapan Prapti, Chandni menyadari ucapan gadis-gadis tadi adalah benar. Tidak akan ada pria yang mau mengambil anak haram sebagai istri, apalagi dia memiliki kelainan. Chandni benar-benar terpukul. Akhirnya, dia hanya bisa menangis seorang diri.
***
Di Kota Manapur, hari itu adalah hari kedua Rajputana dan Imdad tinggal di kediaman Sir Robert Lanchester. Ekspatriat berusia lebih dari paruh baya itu tampak bersemangat menjamu dua pemuda itu. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris yang sangat lancar.
Sir Robert memperlihatkan prototipe senapan produksi Inggris yang akan mereka tawarkan kepada pihak kerajaan India. Senjata api tersebut bernama Brown Bees. Jangkauan tembak Brown Bees mencapai 180 meter. Senapan laras panjang itu menggunakan mekanisme flintlock, yaitu penggunaan batu api untuk memantik percikan di dalam kolom mesiu. Amunisi diisi melalui ujung laras, dibantu dorongan tuas besi yang disebut ramrod.
Rajputana menuang bubuk mesiu ke mulut senapan dan menusuk-nusuknya dengan ramrod. Ia mengokang senapan sejajar dengan bahunya lalu membidik patung jerami di ujung sana dan ia menarik pelatuk.
Dor! Suara letusan diiringi kepulan asap tipis dan bau mesiu menyebar di sekitarnya. Tembakan Rajputana tepat mengenai bagian tengah lingkaran target di badan boneka jerami yang dipajang di tengah hamparan hijau halaman kastel yang menghadap ke hutan.
“Hebat! Hebat!” seru Sir Robert sambil bertepuk tangan. Baru pertama kali menggunakan senapan itu, Rajputana sudah bisa menembak secara akurat. Sir Robert dibuat takjub oleh kemampuan anak muda itu.
Rajputana menyengir menampilkan senyum angkuh seorang penguasa. Seperti wanita, tidak ada senjata mana pun yang tidak bisa ditaklukkannya. Seorang sepoy menyambut senjata api itu dan membersihkannya lalu meletakkannya kembali di rak.
Rajputana beralih menatap Imdad. Imdad berdiri bersedekap tidak jauh di belakangnya. Wajah sahabatnya itu berekspresi serius karena berkonsentrasi.
Rajputana menyengir jahil pada Imdad. “Saudaraku, sekarang giliranmu. Aku ingin melihat bagaimana kehebatanmu dalam menembak,” tantangnya. Imdad balas menatapnya dengan sorot dingin. “Jika kau bisa mengalahkanku, aku akan mengabulkan satu permintaanmu, apa saja. Namun jika kau tidak bisa mengalahkanku, maka aku punya rencana bagus untukmu. Aku akan menikahkanmu dengan salah satu selirku dan kau ... tidak boleh menolak, karena itu ... adalah perintah.”
Imdad tidak menyahut. Hanya bola matanya menyeret tajam ke arah boneka jerami di tanah lapang. Bisakah ia membidik sasaran seakurat Rajputana?
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
RomanceSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...