Rombongan penari beristirahat di taman istana. Mereka duduk-duduk sambil menunggu pementasan selanjutnya. Mereka menikmati kudapan dan minuman sambil mendengarkan Sarasvati dan Akash sibuk memberikan pengarahan akan apa yang mereka lakukan berikutnya.
Chandni gelisah bukan main. Dia mengangkat tangan minta permisi pada Sarasvati. “Bibi, bisakah aku mangkir dulu di penampilan berikutnya?”
“Kenapa lagi kamu, Chandni?”
“Aku merasa tidak enak badan,” keluhnya.
Sarasvati terlalu sibuk memikirkan acara berikutnya. Dia menggoyang kepala mempersilakan Chandni menyingkir, karena dia tahu Chandni mungkin merasa cemas karena baru pertama kali berada di istana.
Chandni beranjak menjauhi rombongan. Kepalanya terasa sangat pusing dan perutnya mual. Dia tidak ingin mengganggu istirahat penari lain dengan muntah-muntah di dekat mereka. Dia ingat dia belum makan sejak siang. Perut kosong dan membawa roh Prapti di tubuhnya membuat tubuhnya lemah terhadap energi negatif hantu itu.
Chandni tidak mengenal wilayah istana. Dia menuju tempat yang familier saja, yaitu tempat kereta dan kuda-kuda diparkir. Dia mendekati sebatang pohon dekat palang pengikat kuda. Di sana ada sumber air untuk persediaan minum kuda dan dia bisa menggunakan air itu untuk menyiram muntahan dan mencuci muka. Keremangan dan gelapnya malam menyembunyikannya dari pandangan pengawal dan para kusir yang beristirahat di pos agak jauh dari situ.
Chandni membungkuk di bawah pohon dan muntah lendir karena belum makan apa-apa. Itu pun cukup membuatnya tersiksa. “Prapti, lepas dari badanku,” lirihnya dan hantu itu segera melepaskan diri dari Chandni dan menempel ke pohon.
“Maafkan aku, Chandni ...,” sesal Prapti. Dia ingin menangis melihat kondisi Chandni yang berkeringat dingin dan pucat pasi. “Maafkan aku, aku tidak menyangka aku bisa mempengaruhimu.”
Chandni mengibaskan tangannya. Dia menggeleng lemah. “Sudahlah,” desahnya. “Bukan hanya karena kamu, tetapi hawa di istana juga membuatku gelisah. Aku merasakan energi buruk yang sangat kuat.”
Chandni duduk di palang dekat bak minum kuda. “Biar aku istirahat sebentar.” Chandni merogoh saku untuk mengambil gelang jimatnya. Dia memasang gelang itu di tangan kiri. Karena lingkarannya kebesaran, gelang itu menyampak dekat bahu. Chandni merasa lebih tenang setelah gelang itu dipakai dan tenaganya pun berangsur-angsur pulih.
Ringkikan kuda-kuda di dekatnya membuat Chandni keheranan. Dengusan mereka bersahutan dan kaki berderap tidak karuan. “Kenapa dengan kuda-kuda ini?” gumamnya.
“Entahlah. Mungkin mereka terganggu dengan kehadiranku,” jawab Prapti sekenanya. Hewan-hewan memang sensitif terhadap kehadiran makhluk tak kasatmata, apalagi jika berhawa negatif.
Dua kuda penarik kereta milik sanggar yang juga ada di situ menggeleng-geleng. Dia mengenali kuda berkulit cokelat itu. Chandni mengamati kuda-kuda lainnya dan matanya berbinar melihat sesosok kuda putih yang dikenalnya. “Eh, ada Aanjay!” ujarnya bersemangat. Dia mendatangi kuda milik Imdad Hussain itu. “Hai, Aanjay, kau juga ada di sini, tetapi di mana Tuan Imdad? Apa ia juga di istana? Aku tidak melihatnya di dalam tadi,” celotehnya sambil mengusap dahi Aanjay dan membelai surainya. Dia tidak melihat Imdad karena terlalu konsentrasi menari sambil menahan pusing dan mual.
“Chandni! Chandni!” panggil Prapti cemas.
Chandni menoleh. “Ada apa?” tanyanya.
“Kuda kita ingin mengatakan sesuatu.”
“Kuda kita?” Chandni menatap pada dua kuda cokelat tua, penarik kereta kencana sanggar. “Kabil dan Kabul, apa yang ingin kalian sampaikan?” Kuda itu menggerundel tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
Storie d'amoreSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...