Day 32: Berbunga-bunga
Chandni tidak menduga berciuman bisa menimbulkan reaksi liar dari dalam tubuhnya. Panas yang datang dari dalam tubuh mengenyahkan udara dingin di sekitarnya. Pakaian yang dikenakannya terasa sesak dan mengganggu. Sentuhan lembut tidak memuaskannya. Dia merasa dahaga. Haus akan sentuhan yang lebih kuat dan cepat. Tubuh laki-laki yang menekannya pun tidak terasa sebagai beban berat, melainkan jumlah tekanan yang pas di atasnya agar dia tidak terpencar ke mana-mana. Getaran kereta yang mereka tumpangi menambah kepanikan yang dialaminya, sekaligus meredam suara-suara percakapan mereka.
“Tuan Imdad, ini ... uhmmh.” Desahan Chandni segera dibungkam lagi oleh bibir kasar Imdad. Chandni tersandar di pojok kabin kereta sementara Imdad memeluknya erat seraya mengulum bibirnya dengan kelaparan. Chandni hanya ingin tahu kereta sudah sampai di mana, akan tetapi Imdad tidak memberinya kesempatan untuk bicara.
Imdad tidak ingin mendengar protes apa pun. Ia ingin menikmati Chandni di menit-menit terakhir perjalanan mereka.
Chandni tidak kuasa menolak karena tubuhnya sudah terbuai dalam rasa itu. Sensasi mabuk berahi yang dijanjikan Tuan Imdad akan diberikan hanya padanya. Dia ingin bertanya dulu pada Bibi Sarasvati mengenai perasaan baru ini apakah baik-baik saja atau berbahaya. Namun karena yang menyentuhnya adalah Tuan Imdad, dia yakin ini tidak akan berbahaya, malah dia ingin melakukannya lebih lama. Rasanya akal sehatnya hilang dan dia ingin melepas seluruh pakaiannya, ingin agar pria yang menciumnya dan menyentuh seluruh tubuhnya. Dan ketika Tuan Imdad melepaskan bibirnya untuk beralih ke lekukan lehernya, Chandni merasa sedikit lebih lega.
“Oh, Tuan Imdad ...,” desahnya sambil terpejam dan jemari mencengkeram rambut tengkuk Tuan Imdad. Dia sudah lama ingin melakukannya ketika melihat bulu tebal sang serigala dan rasa gemas itu sekarang telah tersalurkan.
“Mere-Chandni ....” Chandni-ku, desah Imdad saat mengecup bahu Chandni. Ia menurunkan bahu atasan choli Chandni dan mengusapkan bibirnya ke permukaan kulit halus gadis itu. Ia berusaha keras mengendalikan diri, akan tetapi rasa gadis itu semakin membuatnya ketagihan. Sekecup bibirnya saja rupanya tidak mencukupi sebagai pendahuluan. Imdad merasa terjebak oleh permainannya sendiri dan tidak bisa berhenti. Napasnya memburu ketika menurunkan sebelah bahu choli Chandni sehingga mengeluarkan sebelah buah dadanya.
Imdad menatap gundukan indah itu sesaat dan menyukai tonjolan mungil di puncaknya. Besar puting setara kuku jari kelingkingnya, tampak sangat menggoda, berwarna kemarahan yang kontras dengan kulit sekitarnya. Netra cokelat Imdad gulita oleh pemandangan itu.
“T-tuan ...,” gagap Chandni sambil menggigit ujung jari, gugup melihat sosok serigala menatap nyalang dan liur menetes di sela gigi-gigi runcingnya.
Mengabaikan kegugupan Chandni, Imdad menyurukkan kepalanya ke belahan dada Chandni dan mencengkeram gundukan dadanya. Ia mengecup kuat puting yang mencuat di sela jemarinya dan menggigitnya.
“Kyah, Tuan Imdad!” pekik Chandni sambil terpejam lemas. Nyeri di puncak dadanya melemaskan sekujur tubuhnya. Jemarinya kembali menggenggam rambut Tuan Imdad. Chandni terpejam dan tidak hentinya mendesah pendek. “Ah, Tuan ... itu ... ah ... sedikit sakit ... ah ....”
Imdad mereguk darah dalam mulutnya dan dirinya diujung kewarasan merasakan tetesan itu. Rasa cairan tubuh Chandni yang menstimulasi keganasannya. Ia harus berhenti secepatnya, atau ia akan benar-benar ‘melahap’ Chandni.
Imdad berhenti menggigit tonjolan mungil dalam mulutnya. Sebagai gantinya, ia memainkan tonjolan itu dengan jari. Ia mengangkat kepala menatap Chandni, mengamati wajah pasrahnya yang kemerahan di cahaya temaram dan desahan lembutnya karena tidak berdaya. “Apakah aku menyakitimu, Chandni?” bisik Imdad seraya sebelah tangannya menangkup pipi Chandni. Ia mengusap lekukan pipinya yang timbul ketika Chandni menggigit bibir. Gadis itu melirik sekilas dengan mata berkaca-kaca lalu kembali terpejam sambil mengangguk kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
RomanceSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...