Pemuda itu seperti serigala yang siap menerkam jika lawannya lengah sedikit saja. Chandni merasa Panglima Imdad bakal menggigitnya jika dia bergerak asal-asalan. Tubuh Chandni condong ke belakang dan mematung dalam dekapan Imdad.
Chandni tidak bergerak. Kedua tangan Chandni mencengkeram pakaiannya membuat Imdad memanjangkan sebelah tangannya meraih belakang kepala Chandni dan membuka ikatan penutup matanya. “Sudah puas main-mainnya, Chandni?”
Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata dan tidak ada tanda-tanda akan menegakkan tubuh. Netra cokelatnya lalu terpana dengan sorot yang berbinar-binar. Bibir ranum yang sedikit terbuka seakan tidak bernapas. Bibir yang sering dikedut-kedutkan jika dia bergumam.
Anak-anak di sekitar mereka terkikik geli dan berbisik-bisik dengan wajah semringah, melirik pada mereka berdua.
Imdad segera melepaskan dekapannya. Ia menarik tangannya ke balik pinggang. Chandni terjatuh ke tanah dan mengerang kesakitan. “Aduuh, Tuan Imdad, kenapa melepaskanku tiba-tiba? Kau tidak perlu memegangiku jika akhirnya kau menjatuhkanku juga,” gerutu Chandni sambil berdiri menepuk-nepuk pantatnya.
Chandni memungut selendangnya dan menaikkan kain tipis itu ke pundak setelah sempat jatuh ke kakinya. Dia membungkuk di depan Imdad saat melakukan itu. Imdad segera mengalihkan pandangannya untuk menghindari terjebak pada pemandangan celah di antara dua gundukan membusung di dada gadis itu.
“Apa Tuan mencari saya?” tanya Chandni lugu seraya mengerudungi rambutnya. Sesuai pendapat Prapti, pihak istana akan mencarinya terkait kasus Lavanya. Chandni lega dirinya sudah bersiap-siap menerima tamu.
“Benar. Ikuti aku!” Imdad beranjak lebih dahulu tanpa menunggu sahutan Chandni. Chandni berlari kecil di belakangnya. Sangat menyenangkan rasanya melihat gadis itu terbirit-birit mengikuti langkahnya. Dia seperti piaraan kecil yang mengejar tuannya.
Imdad menuju kereta kuda di halaman depan sanggar. Kusir membukakan pintu kabin untuk Imdad. Imdad berhenti di depan pintu itu dan mempersilakan Chandni naik lebih dahulu.
Chandni agak ragu karena dia belum pernah naik kereta kerajaan dan pergi dengan orang lain selain Paman Akash atau Bibi Sarasvati. Namun karena membantah Tuan Imdad akan lebih menakutkan, dia memasuki kabin dan duduk di dipan kecil dalam kereta itu. Imdad duduk berseberangan dengannya. Pemuda itu menatapnya sekilas lalu memandang ke luar, menatap arak-arakan awan di langit melalui sisi atas tirai jendela kereta. Kereta bergoyang bergerak mengikuti derap kaki kuda.
Chandni mengemut-emut bibirnya sendiri. Bola matanya melirik-lirik sudut-sudut kereta, lalu menggaruk tengkuk karena gelisah. Karena Tuan Imdad tidak juga bicara, dia memberanikan diri bersuara. Chandni mendeham pelan. “Hemm, Tuan Imdad, Anda mau membawa saya ke mana?”
Imdad menoleh padanya dan sekelebat sorot mata yang dingin itu sempat melembut dan bibir tersenyum tipis. “Apa kau tahu Chandanee ka Bageecha (Moonlight Garden aka Taman Sinar Bulan)?”
Chandni nyaris melonjak gembira mendengar nama tempat itu disebut, tetapi karena segan, dia tersenyum-senyum saja. Kedua belah pipinya membentuk cekungan dalam yang sangat khas. “Saya pernah mendengar saja, tetapi belum pernah ke sana.”
“Owh, sungguh? Belum pernah ke sana?”
Chandni mengangguk. Imdad menelengkan kepala mengetahui hal itu. Sebelumnya ia percaya tidak ada seorang pun di Kota Rajpur yang belum pernah ke Taman Sinar Bulan. Ternyata masih ada yang belum pernah ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
RomantizmSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...