Dupatta berat Chandni jatuh ke lantai, teronggok di tumitnya. Perhiasan tangannya bergemerincing saat dia membuka gelungan rambut, mengurai mayang gelap dan menyibaknya ke bahu, menyusuri helaian panjang itu dengan jemari berhias mehndi. Sentuhan lembut di punggungnya yang terbuka membuat Chandni terkesiap.
Imdad menggambar garis bergelombang di permukaan punggung mulus Chandni. Gadis itu memutar tubuh dan menoleh dengan mata terbuka lebar, tetapi segera menyorot lembut seakan sudah menantikan kedatangannya.
Imdad terpesona oleh ekspresinya. Wajah Chandni begitu jelita dengan hiasan bindi merah, kajal hitam melukis kelopak matanya dan bibir dipoles pewarna semerah darah. Ia segera menyentuh bibir Chandni dengan telunjuk agar gadis itu tidak bicara.
Imdad mendempetkan tubuhnya pada Chandni dan berbisik lembut di telinganya. “Tetaplah menyanyi, sayangku ... suaramu adalah mantra yang memanggil jiwaku.” Imdad memutar tubuh Chandni menghadap api diya agar ia bisa menghirup dalam aroma tengkuk Chandni, menyusuri lekukan punggungnya dengan ujung hidung seraya memejamkan mata membuai diri dalam aroma tubuh dan alunan lembut suara Chandni.
“Raat banjar si hai kaale khanjar si hai ...
Malam ini tandus seperti belati hitamTere seene ki lau mere andar bhi hai ...
Nyalakan api hitammu dalam dirikuTu hawaa de ise
Jika kau memberikan angin pada api ituTo meraa tan jale
Tubuhku juga akan terbakarJalaa de re sang jalaa de re
Bakar aku dengan dirimuMohe ang laga de re ....
Sentuh aku dengan tubuhmu ....” (*)Suaranya bergetar lembut begitu pun tubuhnya. Imdad bisa merasakan hangat meremang di seluruh tubuh Chandni. Hangat yang sama dengan hawa dalam tubuhnya. Sentuhan jemarinya menjalari tubuh polos itu bagai kuas halus menari di atas kanvas.
Chandni berdebar-debar oleh setiap sentuhan yang dibuat Tuan Imdad di tubuhnya. Kehadiran lelaki itu di sisinya menghilangkan kegalauan perasaannya setelah melihat kepergian Tuan Imdad yang tiba-tiba. Chandni menelan ludah dengan susah payah, lalu mulai menembang lagi, demi menyenangkan tuan yang dinantikannya.
“Bolo main kya karoon
Katakan apa yang harus kulakukan?Aise haalaat mein
Dalam situasi seperti iniHoon main teri malang
Aku tergila-gila karena kamuTu hi mera nasha
Kau adalah canduku.”(*)Bukankah syair itu menggambarkan persis apa yang dirasakannya? Imdad benar-benar tidak kuasa membantah hasrat yang mengambil alih akal sehatnya. Tali pengikat sehelai kain penutup dada Chandni terlepas dan perlahan diturunkan hingga bahu choli sangkut di sikunya. Buah dada ranum gadis itu terbuka lebar, siap dipanen sarinya.
Angin yang mengembus permukaan kulitnya membuat puncak buah dada Chandni mengeras. Tubuh Chandni menggigil gelisah. Chandni terkesiap dan menyilangkan tangan mendekap dadanya yang terbuka. Rok lehengga-nya jatuh ke mata kaki, membuat hawa dingin menyergap tubuh Chandni.
“Ah,” desahan lemah terlepas dari bibirnya, menyadari dia tidak berdaya menutupi tubuhnya lagi. Tuan Imdad memutar tubuhnya dan Chandni tertunduk dalam, sungkan menatap sepasang mata tajam pria itu karena tahu dia tidak akan sanggup melawan.
“Chandni-ku ... apa kau menunggu kedatanganku?” bisik Imdad seraya menyapukan bibirnya di tepi wajah Chandni.
Chandni terpejam merasakan sapuan lembut embusan napas Tuan Imdad. “Iya, Tuan, saya ... ah ....” Chandni tidak bisa melanjutkan karena kecupan Tuan Imdad begitu kuat di lekukan lehernya, kedua tangannya diturunkan dengan paksa, melepaskan kain choli dari tubuhnya untuk teronggok di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
RomanceSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...