Day 22: Terlena

501 49 5
                                    

Day 22: Terlena
Melihat suami tidak mengindahkan pandangan dari gadis belia yang menjadi selir barunya, membuat hati Anuradha serasa diiris-iris sembilu. Hanya karena sudah terbiasa memasang wajah anggun dia masih bisa menyunggingkan senyum manis pada para istri bawahan Rajputana. Mereka bergumam-gumam menjelek-jelekkan penampilan Lavanya, padahal mata mereka menyasar ingin melihat ekspresi tersakiti di wajahnya.

Gadis baru itu kecantikannya memang luar biasa, bahkan sebagai perempuan, dia pun mengakui hal tersebut dan itu membuat nyeri dalam hatinya semakin menyengat. Apalagi ketika Rajputana meminta gadis itu mendekat dan mereka bercakap-cakap.

Pelayan setianya mendekat dan membisiki Anuradha sesuatu, barulah Anuradha menjadi lebih santai. Dia bisa tersenyum tulus dan bernapas lega. Bahkan pemandangan Rajputana mengulurkan tangan pada gadis itu pun tidak mengganggunya.

“Ini hadiah untukmu,” ujar Rajputana sambil menyerahkan seuntai gelang emas pada Lavanya. Gadis itu beringsut ke depan dipan Rajputana dan menengadahkan tangan menyambut benda itu sambil tertunduk dalam. “Terima kasih, Yang Mulia,” ucap Lavanya.

Rajputana melirik pada pelayan di belakangnya dan mengangguk kecil. Seorang pelayan lalu mempersilakan Lavanya mengikutinya ke bagian lain istana. Gadis itu akan menuju kamar tempatnya menemani pangeran menghabiskan malam.

Rajputana tersenyum tipis. Ia kembali menikmati hidangan sambil berbincang dengan tamunya. Musik dimainkan. Hiburan tarian dan nyanyian kembali meramaikan suasana jamuan.

Saat hadirin terhanyut dalam hiburan, Rajputana beranjak dari tempat duduk menuju pintu samping balairung. Ia akan segera menemui selir barunya. Dua pengawal istana mengiringi Rajputana.

Imdad tiba di ambang pintu masuk ketika melihat Rajputana meninggalkan tempat. Ia segera berlari mengitari halaman luar balairung dan mencegat Rajputana di selasar menuju kamar selir.

Imdad tidak berucap sepatah kata pun. Namun melihat sorot mata tajam pria itu, Rajputana mengerti maksud sahabatnya.

Rajputana mendelik pada pengawalnya. “Tinggalkan kami!” ujarnya. Dua pengawal yang membawa tombak dan tameng itu pun membungkuk lalu undur diri. Rajputana kembali menatap Imdad. “Ada apa?” tanyanya.

Imdad mengamati sekelilingnya dan merasa aman, barulah Imdad mendempet bahu Rajputana dan berbicara dengan suara direndahkan padanya. “Informan menyebutkan Lavanya dikirim seseorang untuk membunuhmu.”

Sebelah kening Rajputana terangkat. Ia tertawa pendek. “Menarik sekali. Siapa kali ini yang mengirimnya?”

Imdad menunduk sungkan. “Maaf, informasi ini baru saja aku terima. Aku belum melakukan penyelidikan lebih lanjut. Hanya saja aku ingin mengingatkanmu lebih dulu agar waspada. Gadis itu mungkin menyimpan senjata rahasia atau racun untuk melumpuhkanmu.”

Rajputana menepuk pundak Imdad seraya semringah berkata memuji pria itu. “Terima kasih, saudaraku. Peringatan darimu selalu menyelamatkan hidupku. Allah memang mengirimmu sebagai malaikat pelindungku. Aku tidak akan khawatir selama kau ada di sisiku. Aku tidak ingin rakyat terprovokasi dengan rencana pembunuhan yang tidak jelas dan menimbulkan opini untuk mengadu domba keluargaku atau antar klan. Kita bisa mengatasi ini tanpa menimbulkan keributan, bukan?”

Imdad mengangguk patuh dan bersalut. “Tentu saja, Yang Mulia. Hamba akan mengatasi situasi di luar.”

Rajputana menaut tangannya ke balik pinggang dan melangkah santai. “Bagus! Sekarang biarkan aku menemui selir baruku. Kecantikannya membutakan, tetapi kau tahu aku, aku mudah melupakan wajah para wanita. Namun karena dia berusaha membunuhku, aku akan ingat bagaimana tampangnya. Jangan khawatir, saudaraku, aku yakin aku bisa mengatasinya." Imdad membungkuk dalam melepas kepergiannya ke kamar selir.

Wajah Rajputana mengeras. Tidak terlihat lagi bekas cengengesan atau ekspresi lembut yang ditampilkannya di hadapan publik. Ia telah menghadapi ratusan wanita yang dikirim ke ranjangnya dan tidak sedikit dari mereka yang berniat jahat. Selama ini ia bisa menyingkirkan mereka dengan mudah tanpa menimbulkan keterkaitan dengan masalah pemerintahan. Hanya dengan alasan sederhana, yaitu para wanita itu tidak memuaskan nafsunya dan mereka tidak cukup pandai menghiburnya.

Orang-orang menilainya sebagai laki-laki bernafsu besar, suka main-main dan mudah tergoda perempuan cantik. Biar saja orang menganggapnya demikian. Ia yang lebih mengetahui situasi sebenarnya dan apa yang diinginkannya. Ia punya ambisi dan kekuasaan untuk melakukan apa saja. Namun, satu hal yang pasti. Ia tidak pernah terlena dengan wanita mana pun.

Rajputana membuka pintu kamar di mana gadis jelita menunggunya dengan sabar di tempat tidur. Mata biru kelam yang indah beradu dengan sepasang mata cokelat tajam Rajputana.

Rajputana menyunggingkan senyuman, begitu pun gadis itu. Ia menutup pintu di belakangnya dan mendatangi selirnya. Jemarinya meraih wajah tirus gadis itu. “Lavanya ...,” ucapnya lembut.

Gadis itu menunduk tersipu. “Ya, Tuanku, hamba siap melayani ....”

Di lapisan langit nun jauh tinggi di atas sana, menembus kegelapan malam, di sebuah lantai luas teras alam semesta, seorang malaikat kematian sedang menyiapkan gulungan surat perintahnya melaksanakan tugas. Sayap di pundaknya terentang bersiap terbang. Pemuda itu berjalan sambil membaca perincian surat tugasnya.

“Kau mau pergi ke mana, Devdas?” tanya seorang pemuda yang berperawakan seperti pemuda malaikat itu.

“India, Kota Rajpur. Ada seorang gadis yang harus aku jemput,” jawab Devdas tanpa menoleh pada rekannya.

“Oh, selir Rajputana lagi?”

“Ya, begitulah. Daftarku di dominasi nama selir-selirnya dan orang di sekitarnya. Menyenangkan sekali. Aku tidak perlu pergi jauh dari Rajputana Udai Singh.” Devdas melompat dari ujung teras lobi untuk turun ke bumi. “Aku pergi dulu,” ujarnya.

Rekannya menyahut, “Semoga sukses!”

Devdas menembus lapisan langit dan kumpulan awan tebal. Tanpa disaksikan mata manusia mana pun, ia mendarat di atas atap kamar selir Rajputana dan ia mengamati dengan tenang dua anak manusia dalam kamar itu.

“Tuanku ...,” desah Lavanya merasakan cumbuan Rajputana di lehernya. Setelah pria itu mengulum bibirnya hingga meradang, sang pangeran membaringkannya di ranjang dan menggerayangi tubuhnya.
Dia masih mengenakan pakaian lengkap, sedangkan sang pangeran sudah melepas kurtanya, mempertontonkan dada padat dan perut kencang berotot keras. Bukan hanya wajahnya yang terkenal tampan tubuhnya pun rupawan, menjanjikan pergumulan yang intens dan panas.

Tangan pangeran terasa kasar membelai wajah dan selangkanya, akan tetapi sentuhan itu justru membuat aliran darah Lavanya semakin cepat.

Tubuh Rajputana yang kekar dan lebih besar darinya membuat tubuh mungil Lavanya harus menahan beban. Dada bidang pria itu menekan tubuhnya. Napasnya sesak dan dia terpekik kecil di bawah kuasa Rajputana.

“Tuan ... ah!” Ujung payudaranya berada dalam mulut pria itu dan digigit keras, ditambah tangan yang menyingkap gaunnya dengan tergesa-gesa membuat Lavanya panik. Gaun tersingkap memperlihatkan lekukan feminin Lavanya. Gemerincing perhiasan dan serat kain tidak menghalangi Rajputana untuk menggarap tubuh itu.

“Tuan ... hamba .... Ah!” Lavanya ingin protes, tetapi Rajputana mengabaikannya. Dia membungkam mulut gadis itu dengan ciuman kuat.

Celana dalam Lavanya ditarik melewati kedua tungkai kaki dan Pangeran Rajputana menekan kepala tonggak kejantanannya ke celah di selangkangan gadis itu. Tekanan keras membuat Lavanya terkesiap mendapat perlakuan tersebut. Namun karena pangeran menarik diri, dia menjadi sedikit lebih tenang.

“Kau masih perawan, cantik?” tanya Rajputana lembut sambil mengusap rambut Lavanya melalui sela kerudung yang masih menghiasi kepalanya.

Lavanya mengangguk dan tertunduk sambil menggigit ujung jari. Rajputana tersenyum jahil. Ia gemas melihat ekspresi gadis itu.

“Kau sangat cantik, Lavanya,” pujinya seraya menundukkan kepala membisiki gadis itu.

Lavanya mengulum senyum dan mendesah pasrah. Tangan pangeran itu membelai-belai lapisan lembap di antara kedua pahanya dan dia merasakan cairan hangat mulai menetes di muara celah miliknya. Dia mengeluarkan desah lembut, terlena dalam sentuhan sang tuan.

Milik Rajputana yang menegang pun menerbitkan tetesan sekental madu di ujungnya. Ia membawa ujung batang kejantanannya ke depan celah kewanitaan Lavanya, mengoleskan cairan miliknya agar menambah licin area perawan itu. “Aku akan masuk, cantik, kau akan kesakitan sebentar. Berteriaklah jika kau ingin, karena aku tidak akan keberatan mendengarkan suaramu. Kau bukan hanya merdu kala menyanyi, tetapi saat bersetubuh pun, suaramu akan semakin indah ....”

Menahan tungkai tangan dan kaki Lavanya agar tidak berontak, Rajputana memasukkan tongkat lelakinya dengan mantap, menghunjam tubuh perawan Lavanya.

“Kyaaah, Yang Mulia ... aaah!” Lavanya menggeliat kuat saat merasakan pusaka lelaki itu memasuki tubuhnya. Dorongan yang sangat kuat di awal, merobek tabir kesuciannya. Air mata terpencar di sudut mata indah itu. Jemarinya mencengkeram erat lengan Pangeran Rajputana.

“Ooh ....” Rajputana mendesah merasakan miliknya menerobos liang yang sesak. Ia pun harus bergerak perlahan agar miliknya bisa mendapatkan posisi yang pas di dalam sana. Ketika otot-otot celah itu mulai menerima kehadiran batangnya, ia pun mulai menggoyang pinggulnya.

“Pangeran ... Yang Mulia ... oh, hmmh ....” Lavanya memejamkan mata dan menggeliat panik. Tubuhnya yang polos terbuai cengkeraman dan pengisian oleh keperkasaan seorang laki-laki, sentuhan yang baru pertama kali dirasakannya. Dia hampir lupa diri terbuai dalam rasa nikmat itu.

Lavanya berusaha mengembalikan pikiran warasnya, yaitu menjalankan misinya membunuh Pangeran Rajputana.

Di antara gelombang hasrat yang mendebur tubuhnya, sudut mata Lavanya mengamati Rajputana. Pria itu nanar menatapnya sembari menggoyang pinggul sehingga tubuh mereka berdua berayun cepat. “Oh, kau sangat nikmat, Lavanya. Sangat berbeda dari gadis lain ...,” gumam Rajputana. Ia menunduk lalu melahap bibir Lavanya, memberinya ciuman penghargaan karena membuatnya segera mencapai klimaks.

Sementara Rajputana terpejam menyesap rasa lega pelepasannya, bola mata Lavanya terbuka lebar. Tangannya menyusup ke bawah bantal dan mengambil sebilah pisau yang disembunyikannya sejak awal berada di kamar itu. Dengan pisau itu dia menusuk perut Rajputana.

*
*
*

Follow lanjutannya di akun DREAME aku.

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang