25. Menunggu

315 42 2
                                    

Di bawah pohon dekat parkiran kuda, Chandni duduk sambil menepuk-nepuk nyamuk yang mengerubunginya. “Bisakah kau menyuruh nyamuk-nyamuk ini berhenti menggigitiku, Prapti?” pinta Chandni. Hantu Prapti menggeleng. “Mereka makhluk nakal, Chandni. Mereka tidak mau ditegur.”

Kuda-kuda juga meringkik gelisah. Chandni mengira karena para nyamuk juga menggigiti para kuda. Hanya makhluk kecil itu yang bisa bersenang-senang di kegelapan malam.

“Chandni, sebaiknya kita segera pergi dari sini,” lontar Prapti. “Aku merasakan hawa yang sangat berbahaya dan ini tidak main-main, para kuda pun sampai gelisah.”

Chandni merengut dan menggoyang-goyang kepalanya sambil bicara, “Tetapi Tuan Imdad menyuruhku menunggu di sini,” ujarnya. “Aku tidak berani pergi begitu saja. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dan ia marah padaku?” Chandni lalu terbungkuk sambil meremas perutnya. “Aduuhh, padahal aku sudah kelaparan,” keluhnya. “Mau sampai kapan aku berada di sini?”

Sementara itu, di dalam sasana belajar Pangeran Rajputana, Imdad dan Rajputana sedang berbincang-bincang.

“Apa yang aku sembunyikan?” Imdad balik bertanya.

Rajputana menelengkan kepala seraya mengangkat bahu. “Entahlah, jika aku tahu aku tidak akan bertanya. Dengar, bhai, kita besar bersama. Jika ada sesuatu perubahan pada dirimu aku pun bisa merasakannya. Apa kau mencurigai seseorang, tetapi ragu untuk mengatakannya padaku karena status orang itu?”

Imdad buru-buru menunduk dalam. “Hamba tidak akan berani,” jawabnya dan Rajputana langsung memahami bahwa itulah sebenarnya yang ada dalam benak Imdad.

Rajputana kembali memainkan koinnya. Ia mengempas punggungnya ke sandaran kursi. “Anuradha memiliki semua kecurigaan itu, tetapi kembali lagi pada statusnya, aku tidak bisa menuduhnya sembarangan. Dia bisa saja menimpakan tuduhan itu pada selir lain atau salah satu pelayan dan akan muncul barang bukti atau saksi yang dengan mudah melengkapi tuduhan. Itu membuatku akhirnya mau tidak mau menghukum orang yang tidak bersalah atau kaki tangan saja, tidak akan pernah sampai pada dalang sesungguhnya.”

Tidak terhitung lagi jumlah selir dan istri resmi yang dikirimnya ke pengasingan, bahkan dinginnya sel penjara. Termasuk juga mantan para pelayan. Sebagian dari mereka ada yang meninggal akibat sakit-sakitan dan tekanan batin, ada pula yang bunuh diri. Apa pun situasinya, perlakuannya pada orang-orang yang pernah melayaninya itu membuat kerabat mereka bersedih dan mungkin saja memiliki dendam kesumat.

Seakan itu adalah curahan hati Rajputana, Imdad diam saja mendengarkan. Rajputana memandang ke arah jendela yang terbuka dan kembali mengangankan bulan di langit. “Aku berharap kita bisa selangkah lebih dulu mengakali rencana dalang ini. Caranya sangat licik. Aku benci mengakuinya, ia membuat imajiku semakin jelek di mata rakyat Rajpur. Ia tidak meraih keinginannya menghabisiku, tetapi mendapatkan keuntungan lain dengan membuat banyak pihak melawanku. Tidak perlu ia turun tangan, sudah ada orang lain yang bersedia membunuhku.”

Imdad tidak ingin mengomentari apa pun karena biasanya ujung-ujungnya Rajputana akan mengeluh ingin bertukar posisi dengannya. Imdad pun turut memandang rembulan di bingkai jendela. “Ini hampir dini hari. Rombongan penari akan cemas jika mereka belum boleh pulang,” ujarnya. Imdad dan Rajputana bertatapan. “Aku akan pergi untuk menangani mereka. Kau sebaiknya membersihkan diri dan beristirahat. Siapa tahu percikan racun laba-laba itu mengenai tubuhmu, kau harus segera mengenyahkannya.”

Rajputana melongok tubuhnya sendiri dan merasakan bekas keringat lengket di kulitnya. “Oh, kau benar. Baiklah, aku akan ke kamarku dan mandi dulu,” ujarnya lalu berdiri dan melangkah keluar ruangan lebih dulu dari Imdad.

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang