Pagi hari adalah pagi yang menggelora untuk Rajputana.
Dalam pemandian para raja di Istana Rajpur, terdengar suara canda tawa para wanita menggema. Air kolam bergemerencik keras oleh pergolakan beberapa tubuh polos yang bermain dalam air. Kolam itu dangkal sehingga mereka bisa berendam sambil duduk-duduk atau merangkak di dalam air.
Rajputana beringsut ke tepi setelah berkejaran dengan beberapa selirnya dalam kolam. Ia menggamit pinggang seorang selir yang berhasil ditangkapnya. Selir bernama Chitrarekha itu berlagak melawan dengan memukul-mukul manja dada Rajputana. “Tuanku ... lepaskan hamba,” rengek Chitrarekha.
Rajputana mengabaikannya dan terkekeh. Ia bersandar di dinding kolam dan menarik selir itu duduk di pangkuannya dalam air. Ia mencubit dagu Chitrarekha. “Tidak, aku tidak akan melepaskanmu, karena kamu nakal,” gereget Rajputana lalu mengecup bibir wanita itu. Tiga wanita bugil mendekati Rajputana dan bermanja-manja di sisinya.
“Yang Mulia, karena Chitrarekha nakal, bagaimana Yang Mulia akan menghukumnya?” desak mereka.
Rajputana menyeringai. Ia mendorong Chitrarekha ke tangan para selir itu. “Pegangi dia,” katanya. “Aku akan menumbuknya sampai dia berteriak minta ampun.”
Dua wanita memegangi tangan dan kaki Chitrarekha sambil tertawa kecil dengan wajah tersipu, sementara Chitrarekha memekik manja. “Ah, Yang Mulia, jangan ....”
Tubuh Chitrarekha dibungkukkan dan kedua tangannya ditekuk ke belakang. Kedua kakinya dibuka lebar, bibir liang sanggamanya dibuka oleh jemari-jemari lembut dan memperlihatkan lubang berselaput pucat kemerahan yang engap-engap mencari pasak.
Rajputana menegakkan tubuhnya meninggalkan permukaan air sebatas pahanya. Ia berlutut ke arah Chitrarekha. Seorang selir mendempetkan buah dada ke lengannya. Tangan lembut membelai keperkasaannya yang menunjuk ke bawah dan dengan cepat mengacung tinggi sepusarnya.
“Mari, mari, Tuanku .... Chitrarekha sudah siap ...,” ajak para selir.
“Aaah ....” Selir Chitrarekha mendesah nyaring merasakan tubuhnya terkekang dan otot-otot lubang di selangkangannya sudah meronta ingin menjepit sesuatu.
Sepasang tangan memandu kepala jantan sang pangeran ke muara lubang kenikmatan itu. Rajputana mencengkeram pinggul Chitrarekha dan mendorong jantan panjangnya masuk dan bersarang di sana untuk beberapa saat.
“Aaah, Yang Mulia ...,” rengek Chitrarekha merasakan rongganya diterobos dengan tegas, lalu menahan gojlokan keras dari tuannya. Tangan para selir yang lain memagut-magut gundukan kenyal yang menggelantung di dadanya.
Pekikan Chitrarekha dibarengi tawa kecil para wanita memeriahkan suasana di kolam pemandian itu. Beberapa pelayan wanita yang berdiri di tepi kolam menundukkan kepala dalam berusaha tidak terpengaruh dengan kesenangan tuan mereka.
Rajputana mendesah berat dan napas tersengal mengikuti tubuhnya yang bergetar kuat. Dua kantong buah jantannya dibelai-belai gemas. Seorang selir menyodorkan pucuk payudara padanya dan ia segera mengisap pucuk itu, mengisap kuat hingga wanita itu terpekik. Mendengar pekikan-pekikan halus itu, ia pun semakin gencar mengguncang tubuh selirnya, terus menerus sampai mereka berteriak dan ia sendiri pun berteriak mengonarkan keperkasaannya.
Tuan mereka mengguyurkan cairannya di dalam sana dan setiap sodokan bolak- balik kejantanannya menumpahkan air mani itu.
Para wanita tertawa manja, menadah keperkasaan tuan mereka setelah menyemburkan sari tubuh lelaki beraroma hasrat di dalam tubuh teman mereka. Mereka membasuh milik sang pangeran, lalu memanjakan urat yang melemah itu dalam mulut mereka, bergantian menyesap sisa-sisa cairan keperkasaan tuan mereka. Sementara wanita yang sudah diisinya terduduk tidak kuasa bangkit karena terlalu puas dan sayu menatap sang tuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play In Darkness 2: The Beginning (END)
RomanceSemua cinta berawal dari mata, lalu turun ke hati. Namun penglihatan seseorang akan tertutup oleh kebusukan dalam hati. Tidak dapat melihat cinta sejati. Di samping penglihatannya yang dikutuk, nasib cintanya juga dikutuk. Ketika semua dibenarkan d...