31. Perasaan

362 44 5
                                    

Senja berganti kelam malam dan bulan menampakkan wajahnya di langit, tepat di puncak reruntuhan kuil Taman Sinar Bulan.

Dinamakan Taman Sinar Bulan karena pemandangan terindah terjadi saat malam hari dan bulan terbit. Sinar bulan yang melewati pilar-pilar itu akan memanjakan mata. Sinar bulan yang lembut keperakan, bagaikan cadar tipis penghias kesyahduan malam.

Partikel-partikel yang mengambang di udara akan memantulkan cahaya sehingga terlihat berkilauan seperti debu perak.

Dalam lorong gelap dengan sedikit cahaya datang dari celah-celah lubang udara, Chandni dan Imdad berdiri berhadapan. Mata Chandni berkedip-kedip menatap sosok serigala yang menatap tajam padanya. Mata pemangsa yang mengincar mangsanya.

“Pelajaran apa yang akan Tuan berikan pada saya?” tanya Chandni.

Imdad mendekatinya perlahan hingga bisa melihat jelas ke dalam mata Chandni. Gadis itu mendongak membalas tatapannya tanpa praduga. Imdad beralih mengamati bibir Chandni yang tampak memucat karena cahaya malam. “Apakah pernah ada lelaki yang mencium bibirmu?” tanyanya pelan, tetapi cukup jelas didengar Chandni.

“Menciumku?” Chandni berpikir sejenak.

Dia pernah melihat dua binatang berciuman, seperti Paman Akash sang sapi mencium Bibi Sarasvati sang angsa, kombinasi yang unik. Tampak aneh, tetapi keduanya terlihat bahagia setelah berciuman, jadi sepertinya berciuman hal yang menyenangkan. Chandni pun ingin mencobanya jika saja dia tidak terganggu oleh penampakan para pria di matanya. Mungkin jika dia menutup matanya rapat-rapat, dia akan baik-baik saja.

“Tidak pernah, Tuan,” jawab Chandni. “Apa Anda ingin mengajari saya berciuman? Anda akan jadi yang pertama mencium saya.” Chandni menutup mata hingga mengernyit keduanya dan memonyongkan bibirnya.

Imdad terpaku. Ia tidak bisa bereaksi terhadap penyerahan diri Chandni. Gadis itu sangat terang-terangan, sementara dalam situasi itu dirinya harus menutupi banyak hal dan menduga macam-macam.

Bibir Chandni sangat menggiurkan untuk laki-laki seperti dirinya, tetapi menciumnya begitu saja terasa mengambil kesempatan dari keluguan seorang gadis. Imdad mengomeli dirinya sendiri dalam hati. Bagaimana jika pria lain yang membawa Chandni jalan-jalan? Pria itu akan ... ah, ia tidak bisa membayangkannya. Hasratnya akan lepas kendali.

Chandni masih menunggu dengan mata terpejam dan bibir monyong. Penantiannya segera dihampakan oleh Imdad. “Ck! Kau pikir aku akan mencium budak? Jangan konyol, Chandni,” ejeknya. Imdad menjentik dahi Chandni dan menertawakan ekspresi kecewanya.

Chandni mendelik marah pada Imdad. “Uuhh!” Chandni merengut sambil mengusap-usap dahi. “Apa salah saya, Tuan Imdad? Jika tidak ingin mencium saya seharusnya di awal Tuan jangan menanyakannya. Saya jadi salah paham dan Tuan malah mempermalukan saya.”

“Aku hanya bertanya, tidak menyuruhmu melakukan apa pun. Kau sendiri yang langsung menyosor. Sepertinya kau akan mencium sembarang pria jika mereka memintamu.”

“Tidak juga!” tampik Chandni. “Itu tadi karena saya menghormati Anda, Tuan Imdad. Anda orang yang baik. Saya tahu Anda tidak akan macam-macam pada saya.”

Imdad mengerling tajam. “Jadi, kau ingin aku menciummu?”

Chandni mengangguk dengan wajah ditekuk kesal. “Tadinya, sekarang tidak lagi.” Chandni membuang muka.

Play In Darkness 2: The Beginning (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang