Sampai detik ini Raga tidak meminta ponselnya dikembalikan oleh Divya. Hal itu Divya sambut dengan baik, meskipun kadang ia curiga bahwa suaminya itu memiliki ponsel lain. Maka saat kembali ke rumah, setelah bekerja, yang Divya lakukan pertama adalah merogoh saku celana kerja suaminya, tas yang sering digunakan, serta lemari dan laci-laci yang ada di meja atau bufet.
Selama kegiatannya itu, Raga beberapa kali bertanya, apa yang sedang dicari oleh Divya, tetapi hanya ia anggap angin lalu. Konsentrasi penuh, itu yang sedang Divya lakukan.
Sebenarnya Divya sudah tidak peduli dengan kelakuan Raga, hanya saja di sini ia memegang amanah. Ivan adalah alasannya, mereka memiliki keputusan yang berbeda setelah dikhianati, sebagai orang yang dipercayai, Divya mendukug keputusan Ivan untuk tetap bersama dengan Aminah sampai maut memisahkan.
“Di bawah bantal?” Ia segera mengangkat bantal Raga, tetapi nihil.
Jika di dalam kamar tidak ada, maka tidak menutup kemungkinan ada di luar kamar. Divya segera melangkah, mata memindai ke sekeliling ruang keluarga. Tempat pertama yang diperiksa adalah rak yang berada di bawah televisi. Beberapa buku dikeluarkannya dari rak tersebut, demi mendapatkan hasil yang memuaskan.
“Kamu lagi nyari apaan, sih?” tanya Raga untuk yang kesekian kalinya.
Divya menghela napas, lelah juga mencari tanpa kepastian. Maka ia tatap pria itu dengan sangat tajam, bak akan menghunuskan pedang jika kedapatan berbohong sedikit pun.
“Jawab jujur, Mas punya HP baru?”
Raga langsung menggeleng. “Kata siapa Mas punya HP baru?”
“Firasat,” jawab Divya.
Suaminya itu menghela napas kasar, seakan bosan dengan sikap Divya. “Mas udah tobat bohongi kamu. Udah berjalan hampir satu bulan, tapi kamu belum juga maafin Mas. Iya kali, Mas buat salah lagi.”
Divya memicingkan mata. “Kalau ketahuan bohong, aku nggak segan-segan mempercepat perceraian kita.”
“Apa kamu bilang?” sela Raga. Tatapan menyiratkan kemarahan.
“Jawab jujur, ada atau enggak?” Divya kembali mengatur buku-buku ke rak.
“Nggak ada, Div. HP Mas cuma yang kamu simpen, nggak ada yang lain,” Raga mendengkus, “kamu, kok, susah banget percaya sama Mas?”
“Terakhir kali aku percaya, Mas malah berkhianat!” Divya membanting buku yang ada di tangannya.
Raga duduk di sofa, helaan napas itu terdengar sangat berat. Rambut diacak untuk menyalurkan rasa frustrasi, benar-benar ingin marah, tetapi tak bisa. Divya hanya menonton bagaimana kondisi pria itu saat ini. Setelah puas membuat suaminya terdiam, ia meninggalkan ruangan tersebut dan menuju kamar.
Membuka lemari pribadinya, menarik laci dan mengambil ponsel Raga yang sudah hampir satu Minggu disimpannya. Divya mengaktifkan ponsel tersebut, getaran notifikasi membombardir. Ia biarkan dulu sampai getaran itu berhenti.
Setelahnya, Divya duduk di kasur dan mencari posisi ternyaman untuk membuka satu per satu notifikasi di ponsel itu. Pintu terbuka, Raga masuk masih dengan wajah kalut. Divya hanya tersenyum miring melihat apa yang terjadi pada pria tersebut.
“Div,” lirih Raga.
Detik kemudian Divya bisa merasakan dua tangan kekar melingkar di tubuhnya. Ia berdecak, mencoba lepas dari jeratan Raga.
“Sebentar aja.” Suaminya memohon.
“Lima, empat, tiga, dua, satu, lepas!” Divya menarik tangan Raga untuk menjauh darinya.
“Mas capek. Bentaran, ya,” pinta suaminya, menempel seperti terdapat cairan perekat di tubuh Divya.
“Aku masih jijik disentuh sama Mas.”
Divya berkata jujur. Jika membayangkan apa yang Raga lakukan bersama Aminah, sudah pasti tangan itu ikut campur dalam hubungan, bukan? Itu makanya, Divya belum bisa menerima jika ia disentuh oleh tangan yang pernah menyentuh perempuan lain.
“Sumpah, cuma kamu yang Mas cinta.” Raga menatap tepat di mata Divya.
“Terakhir kali Mas ngomong gitu, malah balik lagi ke Aminah. Sekarang aku tanya, apa kurangnya aku?”
Raga mendengkus, kemudian menjauh dari sang istri. “Mas udah jawab berkali-kali.” Berdecak dan berbaring sembari memunggungi Divya.
Baguslah. Jika begini Divya akan tenang memeriksa notifikasi di ponsel Raga.
{{{
Meskipun sudah diperiksa berkali-kali, tetapi Divya tidak menemukan hal yang mencurigakan di ponsel Raga. Ini sudah berlanjut lebih dari satu Minggu, ia juga mengaktifkan ponsel tersebut. Akan tetapi, telepon, SMS, chat di beberapa aplikasi, tidak kunjung datang.
Divya bersandar, hari ini ia sengaja tidak langsung pulang ke rumah karena sedang ingin mengobrak-abrik isi ponsel Raga tanpa diganggu oleh yang punya. Ia sangat kesal jika Raga mulai mengatakan hal-hal untuk membuatnya percaya. Omong kosong, mau berkali-kali dikatakan, Divya tidak akan percaya.
“Kamu lupa ini bulan apa?” tanya Permana sembari memberikan mug berisi teh kepada Divya.
“Agustus.” Ia menjawab.
“Kamu nggak mau ke Denpasar?”
Divya sudah memikirkan itu, ia juga berencana akan mengunjungi kampung halaman ibunya dan berziarah ke makam sang ibu. Namun, itu berarti ia harus meminta izin pada suaminya, entah apa syarat yang akan diberikan Raga agar mendapatkan izin.
“Aku temenin.” Permana duduk di sebelahnya.
Divya tersenyum senang. “Nanti aku coba buat minta izin dan pastiin anak-anak nggak masalah kalau aku tinggal.”
Pria itu mengangguk. Terjadi hening di antara keduanya, karena Divya tengah minum dan belum ingin mengangkat topik pembicaraan.
“Oh ya, Clov,” Ia menoleh pada pria itu, “waktu kamu telepon aku, kenapa tiba-tiba ngomong mau ketemu? Ada masalah?”
Permana diam, bibirnya terkatup rapat. Divya masih menunggu jawaban, tetapi nampaknya pria itu tidak ingin menjawab.
“Aku kenal kamu udah dari masa susah bareng. Ada masalah?” tanya Divya lagi.
Bangkit dan merenggangkan otot, Permana tersenyum padanya. “Nggak apa-apa, malam itu aku lagi iseng.”
Tentu Divya tidak langsung percaya, tetapi ia tidak ingin memaksa. Mungkin Permana butuh waktu untuk menceritakan, yang pasti itu bukan hal kecil.
“Nanti aku minta izin ke Raga.” Divya mengganti topik.
“Dia nggak masalah kamu pergi sendirian ke Denpasar?” tanya Permana.
Ia menggeleng. “Udah biasa. Kalau dia nggak ada waktu nganterin, aku pergi sendirian. Itu pun kalau ekonomi lagi cukup.”
“Mas Darsa bakalan ikut?”
“Dia sibuk banget, aku kasihan kalau sampai ganggu kerjaannya. Entar, deh, aku kasih tahu ke dia,” jelas Divya. “Kayaknya jemputanku udah di depan.” Sembari berdiri.
“Hati-hati di jalan,” sahut Permana.
Divya mengangguk dan segera keluar dari ruangan tersebut. Para karyawan melihat ke arahnya, ini sudah biasa terjadi jika ia keluar dari ruang kerja Permana.
“Jangan salah paham, dia keluarga saya,” ucap seseorang yang ada di belakang Divya.
Ia menoleh, Permana tersenyum padanya. Pria itu menganggap Divya keluarga, sebagai seseorang yang punya sedikit keluarga, ia pun menganggap Permana begitu.
“Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku.” Divya tersenyum hangat, kemudian melangkah menuju keluar toko.
Di sana Pak Umas tengah menunggunya. Pria itu selalu tepat waktu untuk menjemput, kadang pula terlalu cepat, membuat Divya kehilangan kesempatan mengobrol lama dengan Permana.
**
Haiii 👀
Vote dan komen yaaaa

KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
RomanceDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...