10: Toko Kue

95.5K 7.4K 232
                                    

Masih subuh Ranto sudah mengajak Mega dan Raira pulang. Hal tersebut Divya maklumi karena ayah mertuanya itu tidak ingin Mega terlalu ikut campur dengan masalah di keluarga sang anak.

Selama sarapan Divya masih melakukan kewajiban sebagai istri dan ibu, menyediakan makanan untuk anggota keluarganya. Meski begitu, ia sama sekali tidak berbicara pada Raga.

“Mas yang anterin hari ini,” Raga berkata sebelum meninggalkan ruang makan, “Pak Umas udah Mas suruh tidur lagi.”

Jika seperti ini, Divya tidak bisa membantah atau mengakali. Pak Umas datang bekerja sebelum waktu ke sekolah, dan kembali ke rumah di sore hari. Namun, harus bersedia ada jika malam hari Divya membutuhkan untuk mengantarkan ke suatu tempat. Karena selama ini, Divya belum bisa menyetir mobil sendirian.

Saat berada di luar rumah, memang benar Pak Umas tak berada di sana. Mobil yang sering digunakan Divya dan anak-anak juga masih dalam garasi. Kecuali mobil milik Raga yang sudah siap untuk ditumpangi.

“Kayla di depan,” suruh Divya pada anak perempuannya.

“Nggak, Kayla di belakang sama adik, Mama sama Papa di depan.” Raga menyela.

“Oke.” Anak perempuan itu mengiyakan apa kata sang ayah.

Sebenarnya Divya tidak masalah berada di jarak yang dekat dengan Raga, tetapi ia menghindari apa yang akan dilakukan pria itu padanya.

“Sekalian Mas mau lihat tempat kamu kerja,” ucap Raga ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

“Nggak perlu, anterin aja ke halte.” Divya menolak.

Raga tidak membalas, mobil perlahan meninggalkan rumah mereka. Detik berlalu menjadi menit, Divya merasakan sentuhan seseorang di tangannya.

Ia menoleh, mendapati Kayla berdiri di antaranya dan Raga. “Kay, bahaya. Duduk dan pakai seatbelt.”

Anak itu malah menggeleng, bibir mengerucut, dan menatap memelas pada Divya. Tangan sang mama ditarik pelan menuju ke arah Raga, saat itulah Divya sadar bahwa Kayla juga menarik tangan kiri sang papa sampai sentuhan itu dirasakan oleh Divya dan Raga.

“Jangan berantem lagi, ya,” pinta Kayla penuh harap.

Raga berdeham. “Mama sama Papa nggak berantem kok.” Pria itu berucap sembari menggenggam erat tangan Divya.

Apa yang dilakukan Divya hanyalah fokus pada Kayla yang masih saja menatapnya penuh harap. Detik kemudian Divya merasakan tangannya dikecup berkali-kali oleh Raga. Ia merasa tersentuh? Sungguh tidak, bahkan Divya ingin sekali menarik tangannya, jika saja Kayla tidak melihat kejadian tersebut.

“Tuh, percaya, ‘kan?” Raga menoleh sekilas pada Kayla setelah mengecup tangan sang istri.

Kayla menggeleng cepat. “Mama nggak senyum, itu berarti nggak seneng Papa nyium tangan Mama.”

Divya mengulum senyum, meskipun ia tahu bahwa Kayla sadar itu hanyalah senyum penuh paksaan. Ya, sudah berhari-hari berlalu, pasti anak itu melihat ada yang berbeda di keluarga ini.

“Mama seneng, kok, Sayang,” ucap Divya, tersenyum tulus.

Ia biarkan tangannya yang masih digenggam oleh Raga, agar Kayla merasa tenang melihat kedamaian ini. Hanya sampai anak-anak di sekolah, kemudian semuanya kembali seperti tadi pagi.

“Kayla duduk lagi, pakai seatbelt,” suruh Divya.

Anak itu segera menuruti, duduk di sebelah Raynar dan kemudian memakai sabuk sendiri. Divya menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. Ditariknya perlahan tangan yang masih digenggam oleh Raga, tetapi pria itu menahan dengan sangat erat. Divya dengan kasar menyentak tangannya hingga genggaman itu terlepas. Raga hanya bisa menghela napas pasrah.

{{{

“Hhmm ... di sini tempat kerja kamu?” Raga menilik intens toko kue yang berdiri kokoh di tepi jalan.

“Iya,” sahut Divya sembari membuka pintu. “Lepasin.” Menggoyangkan tangan yang tiba-tiba digenggam oleh sang suami.

“Cium dulu.”

“Hah?” Divya tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan Raga.

“Kalau kamu nggak mau cium Mas, biar Mas yang cium kamu,” ucap Raga, tersenyum merekah di bibir.

Perlahan pria itu mendekat ke arah Divya, kemudian tangan bebasnya menutup kembali pintu yang sempat dibuka oleh sang istri.

“Kamu cantik hari ini,” goda Raga.

Divya melengos malas menanggapi, tangan kirinya yang bebas menyelipkan rambut ke belakang telinga. Raga masih saja menatapnya, seakan tidak bosan bertemu tiap hari. Dipikir Divya akan terhanyut? Oh, jangan salah sangka, saat ini perutnya mual ingin memuntahkan sarapannya tadi pagi.

“Apa?” Divya membalas tatapan pria itu, “jangan sok keren, citra Mas di mata aku nggak lebih dari tukang selingkuh. Nggak keren, tahu, nggak.”

“Mas lebih suka kamu marah kayak gini daripada diemin Mas berhari-hari.” Senyum senang terbit di bibir Raga. “Ngomong-ngomong, maaf soal sikap ibu yang semalam. Pas kamu masuk kamar, ibu bilang nyesel ngomong kayak gitu ke kamu.”

Divya tidak merespons, malahan tangannya yang bebas kembali membuka pintu mobil. “Bosku udah datang,” ucapnya, sembari melirik Nissa yang baru saja tiba dengan motor matic.

Raga mengikuti arah lirikan manik Divya. “Ooh ... bos kamu cewek, ternyata.”

“Kenapa? Mau dijadiin selingkuhan?” dibandingkan melayangkan tatapan penuh ancaman, Divya malah terlihat santai, “Oke juga, lagi pula dia masih single.”

“Mas nggak mau debat di sini.” Raga melepaskan genggaman tangannya pada Divya.

Tanpa mengucapkan apapun, Divya segera keluar dari mobil. Bisa dilihatnya gurat kekesalan di wajah Raga, dan itu membuat Divya tersenyum karena lagi-lagi membuat suaminya kesal.

Kaki melangkah ke arah toko, dengan pelan membuka pintu, tetapi tetap saja lonceng itu berbunyi, membuat siapa pun di dalam sana tahu, ada seseorang yang datang.

“Selamat pagi,” sapa Divya pada semua pekerja yang sudah berjaga di tempat.

Divya menuju ruang ganti, mengambil seragam di loker dan pergi ke bilik di sudut ruangan. Rambutnya yang panjang menutupi punggung, dikuncir ke atas. Ini ia lakukan agar tidak kerepotan merapikan rambut terus-menerus.

Hari kedua bekerja, Divya harap akan berjalan lancar. Ah, ngomong-ngomong, ia belum terlalu banyak bercerita dengan Permana. Masih banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Termasuk status.

{{{

 
Vote dan komen

Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang