Duduk di ruang keluarga setelah mandi, Divya kembali mengecek ponsel suaminya. Seperti sudah tahu bahwa ponsel itu ia yang pegang, teman-teman Raga pun tidak pernah menghubungi Secara pribadi. Kecuali grup. Divya tidak habis pikir, grup chat—khusus karyawan Bank tempat Raga bekerja—sangat berisik ketika malam hari.
Satu panggilan dari nomor tak dikenal membuat alis Divya bertaut. Empat getaran berlalu, panggilan terputus. Ia tidak ingin mengangkat sebelum yang bersangkutan mengirim pesan identitas. Karena ini bukan ponselnya, Divya pun memikirkan sopan santun. Ponsel itu bergetar lagi, semakin membuat Divya penasaran, tetapi masih tidak ingin menerima panggilan.
“Assalamualaikum,” salam suaminya dari arah pintu utama.
Divya segera berdiri dan menghampiri Raga. “Ada nomor tidak dikenal telepon Mas.” Memberikan ponsel itu.
Raga menerima, menatap layar beberapa detik. “Dari siap—”
Ponsel bergetar lagi. Suaminya menatap Divya sebentar, saat Divya mengangguk mengizinkan, barulah Raga menerima panggilan tersebut.
“Halo,” sapanya.
Divya masih berada di sebelah suaminya. “Loudspeaker.” Ia berbisik.
Raga menuruti. “Halo, ini siapa, ya?”
“Mas, ini Aminah.”
Berusaha untuk tidak terkejut, Divya menatap tajam ke arah sang suami yang berdiri kaku di hadapannya.
“Tolong, jangan hubungi saya lagi,” ucap Raga, terdengar bergetar.
Entah itu bentuk dari senang mendapatkan telepon dari Aminah, atau karena takut Divya akan melakukan hal buruk pada Raga.
“Mas, kita belum kelar, jangan gantungin aku kayak gini.”
Mata Divya hampir keluar dari tempatnya, tetapi ia menahan hasrat untuk memaki wanita itu. Kesabaran masih lebih besar dari amarah. Ia lebih memilih menunggu momen bagus.
“Tolong, jangan ganggu saya lagi. Anda dan saya sudah punya pasangan masing-masing,” tegas Raga.
“Kenapa? Di situ ada istrimu, Mas?” Suara Aminah terdengar tenang, seperti tidak merasa bersalah.
Divya mengepalkan tangan, merasa tak tahan, ia mencubit lengan suaminya yang langsung menahan kesakitan.
“Ngomong yang bener, anggap aku nggak ada di sini,” bisik Divya, penuh penekanan.
Raga mengangguk patuh. “Ada atau tidak istri saya di sini, jangan pernah lagi hubungi saya.”
“Mas, ja—”
“Tolong mengerti, saya punya anak dan istri.” Raga mengakhiri telepon secara sepihak.
Divya kembali mencubit pria itu dengan sangat kuat. Sebelumnya hanya satu tangan, kali ini ia menggunakan kedua tangannya.
“Sekarang bilang anak istri, kemarin kami kamu kemanakan? Hah?” Divya semakin memutar cubitannya.
“Ah! Div, Mas minta maaf,” mohon Raga.
“Nggak ada maaf-maaf, sekarang putusin, dia atau aku dan anak-anak?” Divya melepaskan cubitannya, tetapi rasa kesal masih ada, maka kembali ia mencubit suaminya itu.
“Kamu dan anak-anak!” ujar Raga, tegas.
“Meskipun aku bersikeras mau pisah?”
“Div.” Raga memelas,
“Lupakan soal itu dulu, sekarang Mas mau lakuin apa buat dia ngerti?” Divya memutar cubitannya.
Dulu ia tidak begini, tetapi sekarang jiwa pemberontaknya terbangun. Meskipun berpikir sudah tidak mau memusingkan kelakuan suaminya, tetapi rasa ingin memberikan pelajaran sudah tidak bisa ditahan. Divya tidak ingin pergi tanpa memberikan bekas. Apapun itu, asalkan rasa kesal terbayar, maka akan dilakukan olehnya.
“Mas nggak bisa ngapa-ngapain, Div. Yang penting sekarang Mas mau blok nomor dia dulu.” Raga mengusap bekas cubitan istrinya.
Divya menghela napas. “Cepetan blok.”
Pria itu segera melakukan apa yang dikatakan Divya, setelah itu Divya dengan cepat mengambil ponsel Raga dan mengantongi di daster yang ia kenakan.
“Div, Mas minta maaf,” mohon Raga
Divya tidak menyahuti, kakinya melangkah ke arah dapur. Suaminya mengikuti dari belakang, mencoba untuk mengambil hati.
“Mas nggak tahu kalau dia bakal nelpon pakek nomor baru,” Raga terus membela diri, “Div, kali ini percaya sama Mas.”
Divya berbalik. “Aku nggak bakalan nunggu izin. Hari Jum’at aku mau pergi ke Denpasar, kalau sampai aku denger Mas berkhianat, tanpa babibu pulang dari Denpasar, kita kelar,” tukasnya.
Sorot mata Raga meredup, seakan tidak punya harapan untuk mendapatkan maaf dan berperilaku layaknya seorang suami.
“Entah mau diizinin atau enggak, aku tetap bakalan pergi.” Divya mengembalikan ponsel milik Raga. “Ingat, aku nggak bakalan segan, Mas. Udah muak aku lihat kelakuan kamu.”
Setelahnya ia meninggalkan pria itu yang terdiam di tempat. Divya ke dapur untuk menyiapkan makanan anak-anaknya.
{{{
Anggota keluarganya telah tertidur, Divya keluar dari kamar dengan membawa ponsel di tangannya. Ini masih pukul 21.43, tetapi Raga sudah tertidur. Mungkin lelah karena bekerja, atau lelah meminta maaf.
Divya turun ke lantai bawah dan menuju ruang tamu. Ia memilih ruangan ini karena berjauhan dengan kamarnya dan Raga. Jari mulai bermain di atas layar, ia menelepon satu nama yang dikenalnya. Ivan, suami sah Aminah.
“Halo,” sapanya dengan suara kecil.
“Halo, Bu Divya.” Ivan terdengar membalas.
“Pak, maaf mengganggu.” Divya memangku kaki kanannya ke atas kaki kiri, dan bersandar.
“Nggak apa-apa, Bu. Ada apa, ya, nelpon jam segini?”
“Saya mau cerita soal istri Pak Ivan. Tadi sore Bu Aminah nelpon suami saya.” Divya mengulum bibir.
Terdengar helaan napas berat di ujung sambungan. Jelas, itu sangat membuat beliau terpukul. Semua orang tahu, Ivan benar-benar merasa sakit.
“Pak, begini, saya bukan mau buat rumah tangga Pak Ivan kacau balau lagi, tapi saya cuma mau menyampaikan kelakuan istri Bapak. Dan jelas, kelakuan suami saya juga,” jelas Divya.
Ivan tidak mengatakan apapun, sangat jelas bahwa masih terpukul.
“Di sini mereka berdua yang melakukan kesalahan. Jadi, saya nggak memihak. Suami saya salah, saya akui itu Pak. Tapi, kita udah saling janji, kalau ada apa-apa harus kasih tahu satu sama lain.” Divya mencoba menjelaskan agar pria itu tidak tersinggung.
“Iya, Bu, saya ngerti,” balas Ivan, suaranya terdengar bergetar.
“Pak, maaf kalau saya nelpon malam-malam gini, jadi nggak enak.” Ia menggigit bibir, mendengarkan tarikan napas berat dari pria itu lagi dan lagi.
“Nggak apa, Bu. Saya juga belum tidur, ini baru mau pulang dari jaga toko.”
Divya tersenyum miris. Ivan rela meninggalkan pekerjaan di Jakarta demi membuat Aminah jauh dari Raga, sedangkan wanita tidak tahu diri itu malah mencoba menghubungi suami Divya. Sungguh tidak adil. Seharusnya Ivan mendapatkan istri yang baik. Tanpa ditahan, Divya meneteskan air mata ikut merasakan penderitaan pria itu.
“Bu, kalau ada apa-apa jangan sungkan kasih tahu. Saya akan berusaha bikin istri saya mengerti.” Ivan mengucapkan dengan nada tenang.
Tak sedikit pun terdengar putus asa. Divya merasa bersalah, tidak menjaga suami dengan benar. Ia sadar diri bahwa tidak sempurna, dan Raga pasti melihat kekurangan dirinya. Namun, melihat Ivan yang begitu mencintai sang istri, malah dikhianati begini, sakit hati Divya bertambah berlapis-lapis.
“Kita usaha sama-sama, Pak. Di sini saya juga bakalan usaha bikin suami saya nggak ganggu Bu Aminah lagi,” ucap Divya.
{{{

KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
RomanceDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...