"Kirim aja list yang mau kamu beli, nanti Mbak cariin di sini." Divya menoleh ke luar kaca jendela, mereka telah sampai di pemakaman umum.
"Iya, Mbak. Aku mau bikin catatan dulu. Udah nyampe di TPU?" tanya Raira.
"Udah." Satu tangan bebas Divya membuka pintu mobil, Raynar lebih dulu turun.
"Kalau gitu udahan dulu, Mbak, nanti aku telepon lagi. Titip salam dan doa buat ibu."
"Iya." Divya mengakhiri telepon tersebut, dan menyusul Raynar yang lebih dulu berada di luar mobil.
Hari ini, Permana mengantarkan mereka ke tempat pemakaman umum, di mana ibu dari Divya dimakamkan lima belas tahun yang lalu. Desi, Farah dan ketiga anaknya ikut berziarah. Fery baru akan sampai sore nanti, itu makanya tidak sempat untuk pergi berziarah bersama.
"Habis ini kita ke makam Paman, ya," ucap Divya sembari menggandeng lengan Desi.
"Iya." Wanita itu mengangguk.
Divya melirik ke arah Raynar yang kini berada di gendongan Permana. Namanya anak kecil, jika kesan pertama baik, maka pasti akan mudah menempel pada orang tersebut. Begitulah Raynar sekarang, seakan tidak bisa lepas dari Permana setelah diajak jalan-jalan meski baru satu kali.
Sebelum melewati gerbang, mereka sempatkan untuk membeli bunga. Selama berjalan menuju ke makam sang ibu, Desi tak melepaskan gandengan tangan Divya.
"Div," Wanita itu mengelus tangan Divya, lembut, "waktu ke sini kamu pamit sama Raga, 'kan?"
Ia mengangguk, sembari menoleh pada Desi. Wanita itu berekspresi tak tenang, sambil sesekali menoleh pada Permana dan Raynar.
"Kamu bilang ke Raga perginya bareng siapa?" Desi bertanya lagi.
Divya mengulum bibir, sangat wajar jika bibinya bertanya seperti itu. Ia menggeleng sebagai jawaban, dan Desi menghela napas berat.
"Jangan lakukan kesalahan, habis dari sini kamu harus minta maaf," ucap wanita itu, tegas.
Bibinya tidak tahu apa yang terjadi pada keluarganya saat ini. Jadi, sudah pasti akan mengatakan bahwa apa yang Divya lakukan sekarang adalah kesalahan. Padahal, ia dan Permana hanya berteman, pria itu juga terlihat tidak ingin menarik Divya pada sebuah pengkhianatan. Meskipun ia tahu, Permana masih menyimpan rasa.
"Kami hanya berteman, Bi. Nggak ada macam-macam," kata Divya, sembari mengelus tangan bibinya.
"Meskipun begitu, Bibi nggak suka. Kamu udah punya suami, jalan berdua dari Jakarta ke Denpasar kayak gini, sama aja menebar fitnah."
Divya hanya mengangguk paham, tidak berniat membalas kata-kata bibinya. Ya, ia akui itu benar. Divya tidak bisa memprotes, karena begitulah sifat asli manusia. Melihat dari luar, tanpa mencari tahu kebenaran. Berkomentar semaunya, tidak peduli dengan kenyataan.
{{{
Divya tidak bisa melewatkan kesempatan merasakan indahnya duduk di tepian pantai. Di Jakarta ia tak bisa sebebas ini, ada dua anak yang harus dijaganya meski sedang berlibur. Bukan berarti Divya mengeluh, tetapi begitulah adanya. Maka saat seperti ini adalah kesempatan emas untuk merasakan kebebasan.
Ya ... meskipun Raynar bersamanya, tetapi sejak tadi anak itu menempel pada Permana. Membuat Divya memiliki waktu sendiri.
"Mama!"
Divya yang tengah berbaring di kursi pantai, menurunkan kaca mata hitamnya dan menoleh ke asal suara. Raynar tengah tertawa bahagia duduk di tepi pantai, sembari menepuk ombak yang mendatanginya.
"Jangan jauh-jauh," peringat Divya.
Sebenarnya ia tidak perlu khawatir, ada Permana yang setia berada di sebelah Raynar. Keduanya tengah tertawa bahagia, siapapun yang melihat, pasti tidak akan berpikir bahwa Raynar dan Permana adalah ayah dan anak. Divya tertawa memikirkan hal itu. Mereka berdua sungguh sangat berbeda. Permana dengan hidung mancungnya, sedangkan Raynar mancung ke dalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
RomanceDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...