Pagi sangat cerah, Kayla duduk di atas kursi santai ditemani jus jeruk yang membuat harinya semakin terasa nikmat. Di depan sana, tepat lurus dengan pandangannya, ia menilik Raynar yang tengah mengajarkan Syafa berenang. Usia Kayla dengan sang adik berjarak sembilan tahun, ia ingat betul bagaimana adik keduanya itu terlahir ke dunia.
Lama tak bertemu tak membuat Syafa melupakan mereka berdua, meskipun sekarang ayah kandung adiknya itu telah kembali dari luar negeri, Kayla dan Raynar tetaplah favorit si bungsu. Siapapun akan melihat wajah Kayla dan Syafa tak mirip, itu karena mereka berasal dari ayah yang berbeda.
Kayla memiliki rambut lurus, sedangkan Syafa ikal dan kecokelatan. Adik kecilnya itu tidak menurunkan mata keabuan dari sang ayah, Kayla cukup bersyukur, sebab sampai sekarang mata itu membuatnya trauma.
"Baiklah, lupakan masa lalu," desahnya, sembari meletakkan gelas ke atas meja, kemudian melepaskan handuknya sembari meninggalkan kursi santai.
Gadis berusia tujuh belas tahun itu melompat ke dalam kolam, membuat kedua adiknya yang tengah serius belajar dan mengajar berenang, tersentak kaget melihat kelakuan kakak mereka. Kayla peduli? Tentu tidak.
Ia berenang sesuka hati, keluar dari air saat merasa tak bisa menahan napas lama. Kayla menggerakkan kepala, menciptakan percikan air dari tiap helai rambutnya.
"Kakak!" protes Raynar, "bisa pelan-pelan, nggak?"
Kayla menoleh, diberikannya satu kedipan mata kiri pada kedua adiknya itu. "Tua bebas, yang muda harus nurut."
Setelah mengucapkan itu, Kayla menarik diri ke tepian kolam duduk di sana dan memandangi halaman belakang rumahnya. Meskipun samar, Kayla masih mengingat jelas masa lalunya, di mana keluarga lengkap terkesan bahagia pernah dirasakannya.
Memang Kayla memiliki ayah sambung yang menyayanginya, sang adik, juga mamanya tanpa terkecuali. Namun, Kayla pun pernah menginginkan keluarga yang dulu kembali lagi. Hanya saja, seperti yang ia katakan pada adik-adiknya tadi, 'tua bebas, yang muda harus nurut'. Kayla tak bisa protes.
Pikirannya melayang ke kejadian dua minggu lalu, di mana Kayla dan Raynar pergi berbelanja bersama sang mama, di sana tak sengaja mereka bertemu dengan seseorang di masa lalu Raga. Melihat keluarga tersebut baik-baik saja, utuh tanpa tergantikan posisinya, membuat dendam Kayla hadir begitu saja.
Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, kemudian menjatuhkan tubuh ke dalam air. Hangat, sejenak Kayla bisa meninggalkan segala kepenatan, tetapi tidak dengan amarah yang meluap tanpa bisa ditahan.
Anaknya enak juga, tuh. Kayla berbisik di dalam hati.
**
"Kak, bagusnya yang mana?"
Kayla menoleh pada seorang pria yang menghampirinya dengan sebuah ponsel di tangan. Pria itu memperlihatkan beberapa gambar kemeja di layar ponsel, seperti biasa, Kayla dimintai pendapat untuk pakaian yang dikenakan ke sebuah acara resmi.
"Marun, Ayah belum pernah pakai marun," ujarnya.
Permana mengangguk setuju. "Terus, dasinya?"
Kayla bergumam, mengambil alih ponsel itu dan berkonsentrasi mencarikan warna yang pas dikenakan oleh sang ayah. "Hitam aja, Yah, kalau campur pakek warna yang berani takutnya kelihatan norak."
Ia mengembalikan ponsel tersebut pada sang ayah. Pria itu segera mengambil tempat di sebelahnya, pertemuan mereka sudah sangat lama, itu mengapa tak terasa canggung. Permana menemani mamanya sudah lebih dari sepuluh tahun, bahkan bagi Kayla dan Raynar, lebih banyak hari yang dilewatkan bersama Permana dibanding ayah kandung mereka.
"Gimana sekolahnya?" tanya Permana.
"Menyenangkan, seperti biasa."
"Teman Kakak masih Risya? Nggak nambah?"
Kayla tersenyum, ayahnya ini selalu ingin tahu tentangnya, juga tak pernah melupakan meskipun sudah sangat lama Kayla menceritakan hal tersebut. Ya, teman Kayla hanya ada satu di dunia ini, lebih tepatnya yang benar-benar teman, bukan sekadar datang sebentar lalu pergi ke teman lainnya.
"Iya, Risya doang. Yang lain emang baik, tapi Kakak nyamannya sama dia doang," terangnya, "keluarga Risya juga baik, nggak mandang status, level, atau kekayaan."
Berbicara dengan Permana memang terasa nyaman, layaknya seorang ayah pada umumnya. Meskipun begitu, Kayla masih saja merindukan kasih sayang papanya, berharap bisa bersama setiap hari, tanpa berpikir akan melukai salah satu di antara para orang dewasa.
"Kakak boleh tanya, nggak?" Kayla memberikan tatapan memohon, "Kakak tahu Ayah nggak bakalan jawab, tapi Kakak tetep mau nanya."
Permana tersenyum hangat. "Kamu masih penasaran soal masa lalu?"
Kayla mengangguk, kemudian bersandar di sofa. "Kakak udah ketemu wanita itu, kelihatannya juga mama bersikap biasa aja pas ketemu."
Ada hal yang membuat Kayla sangat penasaran, tentang perasaan sang mama, tentang segala kerumitan yang dihadapi, dan tentang kepedulian satu sama lain. Memang tak pantas bagi Kayla bertanya pada Permana, sebab beliau tak lebih dari karakter pengisi kekosongan. Hanya saja, ia tahu bahwa tak akan menemukan jawaban dari Divya, ibu kandungnya.
"Apa yang buat Kakak penasaran?" Permana ikut bersandar, tangannya terulur menarik si sulung untuk merapat memberikan kenyamanan, "kalau Ayah bisa, bakalan Ayah jawab."
"Eemm ... Kakak cuma bertanya-tanya setelah ketemu wanita itu. Mama pernah marah ke pelakor itu? Atau biasa aja seperti kemarin yang Kakak lihat?"
Permana mengacak rambut putrinya itu. "Benar kata orang, anak semakin dewasa, akan semakin ingin tahu," pria itu kembali mengulas senyum hangat, "mama pernah marah, memperjuangkan kebahagiaannya. Tapi ternyata itu nggak cukup buat dia bahagia setelah tahu semuanya, akhirnya mama memilih menyerah."
"Itu fatal?"
"Fatal menurut Kakak dan mama itu beda," jawab Permana, "seperti mama yang bisa memaafkan masa lalu, Ayah harap Kakak juga begitu. Tidak perlu membesarkan masalah yang udah berlalu."
**
"Tahu, nggak, Kakak nanya apa ke Ayah tadi sore?" Permana membuka percakapan saat Divya mulai melakukan ritual malamnya pada wajah.
"Apa?" Wanita itu menoleh.
Permana duduk di tepi ranjang, menarik satu bantal ke pangkuan. "Tentang Aminah, kayaknya Kakak penasaran banget sama masa lalu kalian."
"Nggak usah digubris, palingan bentar lagi lupa," Divya kembali melanjutkan aktivitasnya, "sejak ketemu Aminah, dia emang udah kelihatan pengin nanya, tapi ragu."
"Itu berarti dia masih menghargai kamu," ujar Permana, "lebih baik kamu terbuka sama Kakak, biar bagaimanapun dia pasti bakal nanya terus. Lagian, Kakak udah dewasa, siapa tahu itu dijadikan pelajaran buat masa depannya."
Divya menoleh, merasa bahwa apa yang diucapkan Permana memang tak ada salahnya. Rasa syukur selalu diucapkan dalam hati ketika Divya mendapatkan jawaban atas segala kebimbangannya. Permana selalu memberikan jawaban. Membuat Divya merasa tak akan bisa hidup jika tanpa pria itu.
Sama halnya ketika ia mulai tak mempercayai mantan suaminya, Permana datang perlahan, dan tanpa dipaksa Divya memberikan keputusan. Ya, begitulah arti Permana dalam hidupnya sejak dulu hingga saat ini.
"Kamu benar, aku juga nggak mau Kayla dapat laki-laki yang salah," Divya menghela napas kasar, "meskipun jalannya masih panjang, apa salahnya Kayla mulai belajar."
**
Update bonus bab karena masuk rank roman.
Hihiw
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
RomanceDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...