Dugaan Divya benar, Raga datang mencarinya ke C-licious. Melihat mobil suaminya terparkir di depan toko, ia memilih untuk meminta Permana mengantarkan kembali ke apartemen. Pria itu tanpa protes mengiyakan keinginannya. Di tempat tinggal Permana ini, yang ia lakukan hanyalah duduk melamun memikirkan masa depannya.
Tentu saja Divya tidak akan bisa menatap Raga dengan tatapan yang sama. Benci, kesal, marah, semakin besar dan menjadi-jadi. Selama pelarian ini, Divya tidak menghubungi siapa pun orang rumah, tablet yang ditinggalkan Permana masih tergeletak di tempatnya, tidak berpindah seincipun.
Sebelumnya ia masih memiliki harapan untuk masa depan keluarga ini. Namun, jika sudah begini, Divya tidak punya harapan lagi, semua sudah berakhir.
Ia mengambil tablet yang ditinggalkan oleh Permana, membuka akun Instagramnya. Notifikasi membuatnya ingin membuang tablet itu, tetapi ketika melihat isi pesan, senyumnya mengembang.
Alena.S :
Ke rumah yuk, aku bikin sup kepiting.
Divya mematikan layar tablet, mungkin sudah saatnya ia menceritakan dan meminta pendapat pada sahabatnya itu.
{{{
Rumah megah Alena selalu terlihat hangat dan tenang di mata Divya. Sahabatnya itu, meskipun tidak bekerja, tetapi hidup sejahtera. Tak sedikit pun Divya dengar bahwa Alena mengalami kesulitan dalam hidup, setiap bertemu pasti tersenyum, suaminya benar-benar memperlakukan Alena dengan sangat baik.
“Lo telat!” semprot Alena dengan wajah cemberut.
“Ya udah, gue balik.” Divya hendak memutar tumit, tetapi sahabatnya itu menahan.
“Nggak, nggak, gue masih simpan kepiting buat lo. Kita masak bareng.” Alena menarik Divya masuk ke dalam rumah, tidak berhenti sampai mereka mencapai dapur.
“Seharusnya tamu di ruang tamu, bukan di dapur,” ucap Divya sembari mengambil apron yang diberikan Alena.
“Sekalian kita masak buat makan siang anak-anak. Eh, bilang supir lo anterin anak-anak ke sini langsung, nggak usah singgah di rumah.”
Mendengarkan kata anak-anak, Divya menjadi khawatir. Meskipun ia membuang jauh hal-hal tentang perasaan anaknya, tetapi hati seorang ibu tidak akan bisa berbohong. Divya masih memikirkan mereka.
“Gue nggak bawa HP,” ujar Divya.
Alena tidak menyahuti, tidak pula memarahi kecerobohannya. Biasanya wanita itu akan menasihati bahwa ponsel adalah hal penting yang harus dibawa ke mana saja.
“Kok, lo nggak marah, Al?”
Sahabatnya itu menoleh, dengan dengkusan kesal. “Gue udah biasa, buang-buang tenaga nasehati lo.”
Divya tersenyum, Alena benar-benar sudah seperti saudaranya.
“Ngomong-ngomong, semalam Raira nelepon.”
Tubuh Divya menegang, dengan kaku membalas tatapan sahabatnya itu. “Dia ... ngomong apa?” tanyanya.
“Itu, nanyain ballroom buat nikahan. Karena dia adik ipar lo, jadinya gue kasih potongan harga.”
“Ah, makasih.” Divya jawab seadanya.
Dari pembicaraan ini, bisa Divya tebak bahwa Raira belum tahu apa-apa ketika menelepon Alena.
“Nikahannya tiga minggu lagi, pas gue fix, undangannya udah mulai cetak hari ini,” jelas Alena.
“Akbar nggak larang lo kasih potongan, ‘kan?” Biar bagaimanapun Divya menjadi tidak enak dengan kemurahan hati Alena.
“Enggak. Karena Raira minta tolong di gue buat ngurusnya, jadinya terserah gue lakuin apa. Lagi pula, admin-adminnya tahu gue siapa.” Alena tersenyum bangga.
“Iya, tahu, istrinya konglomerat,” ujar Divya, kemudian tertawa mendapatkan cubitan dari sahabatnya.
“Kapan mulainya, nih? Ngobrol mulu.” Alena mendengkus, mulai menyiapkan bahan makanan. “Lo pakek HP gue buat hubungi Pak Umas, jangan lupa juga telepon Raga buat minta izin.”
Seketika gairah hidup Divya merosot turun mendengar nama Raga dan embel-embel izin. Menurutnya, suami seperti itu tidak pantas lagi dihormati.
“Div, gue mau nelepon ayahnya Alisha dulu. Lo lanjutin, gue bentaran, kok.” Alena meninggalkan dapur.
Divya mengambil bahan makanan yang sudah disediakan Alena, ia memotong bawang lebih dulu. Sedikit pun tidak ada keinginan untuk menghubungi Raga. Namun, mungkin Divya akan pulang sebentar untuk mengambil pakaian, mumpung Raga sedang bekerja. Atau ia akan meminta tolong Mbak Nur dan Pak Umas.
{{{
Seperti keinginan Alena, hari ini Pak Umas mengantarkan Raynar dan Kayla ke rumah sahabat Divya itu. Rasanya seperti tidak bertemu ratusan tahun, Divya mengecup dan memeluk kedua anaknya.
Raynar dan Kayla tak menanyakan apapun tentang Divya yang tidak berada di rumah sejak kemarin. Mereka berpikir bahwa ia ketiduran di kamar dan tidak sempat menemani makan malam sebelum tidur. Namun, itu tidak berlaku pada Pak Umas. Beliau menatap Divya dengan tatapan khawatir, tetapi segan untuk berkata.
“Pak, tolong rahasiakan dari Raga. Saya butuh waktu sebelum pulang ke rumah. Nanti sore jemput anak-anak, sekalian bilangin ke Mbak Nur tolong siapin baju buat saya dan antar ke sini.”
“Siap, Bu.” Pak Umas mengangguk patuh.
Divya tersenyum tipis. “Pak Umas boleh pulang sekarang, nanti saya telepon kalau udah waktunya jemput anak-anak.”
“Iya, Bu.” Pak Umas masuk ke dalam mobil, segera meninggalkan halaman rumah Alena.
Divya mengajak anak-anaknya untuk masuk. Seperti biasa, Alena selalu menyiapkan baju ganti untuk kedua anaknya itu sebelum bermain bersama Alisha dan Akmar. Belum juga Divya benar-benar menjauh dari pintu utama, suara mobil berhenti di depan rumah membuat kepalanya menoleh.
Bola mata hampir keluar dari tempatnya, kala melihat mobil Raga terparkir di sana. Tanpa berpikir panjang, Divya lebih dulu masuk ke bagian rumah paling dalam, sedangkan anak-anaknya mengejar dari belakang.
“Lo kenapa lari-lari kayak gitu?” tegur Alena dengan kerutan di alis.
“Ada Mas Raga, bilangin gue nggak ada di sini.” Divya menuju taman belakang, di mana ada gazebo di sana.
“Mama!” panggil Kayla dan Raynar, masih saja mengejar Divya.
“Kenapa, sih, Div? Lari-lari nggak jelas.” Alena tidak mengerti dengan sikap Divya yang sekarang. “Lagian, ngapain juga Raga di sini. Ini, kan, masih jam kerja!”
Divya tidak menyahuti ketidaktahuan sahabatnya itu. Setelah mencapai gazebo, ia menarik napas dan menengok ke belakang. Raynar dan Kayla masih mengejarnya.
“Mama, kok, lali-lali?” tanya Raynar.
“Nggak apa-apa, Sayang.” Divya mengangkat satu per satu anaknya ke gazebo, menyusul dirinya duduk di sana.
“Tadi itu mobilnya Papa, ‘kan?” Kayla bertanya.
Divya tidak menjawab, apa yang dilakukannya sekarang adalah berpikir bagaimana caranya lari dari rumah ini tanpa ketahuan Raga. Seharusnya ia hadapi saja pria itu, dan mengatakan keputusan akhir atas rasa sakitnya. Namun, sulit diucapkan ketika melihat anak-anaknya yang tidak tahu apa-apa.
“Div! Mas Raga, nih!” teriak Alena dari teras belakang rumah.
Divya menoleh, ingin sekali ia menguliti sahabatnya itu. Padahal, ia sudah bilang untuk merahasiakan keberadaannya. Wajah Raga tidak bisa dibilang santai. Marah, khawatir, sedih, dan rasa bersalah, berkumpul menjadi satu. Bagi Divya, mau bagaimana pun akhirnya, berada di sisi Permana adalah pilihan akhir. Sudah cukup, harapan di keluarga ini sudah sirna.
Siapa pun itu, Divya ingin seseorang menariknya keluar dari lingkaran sakit ini. Satu nama terbesit di kepalanya, Divya benar-benar berharap Permana ada di sini, menjadi tameng agar Raga tak bisa lagi masuk untuk membawa luka pada hidup Divya.
{{{
Vote dan komen
![](https://img.wattpad.com/cover/238003597-288-k978588.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
Storie d'amoreDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...