Awalnya Divya berkata ingin menguji Raga, tetapi pada kenyataannya menjadi beban pikiran untuknya. Ia menoleh pada Raynar yang memasukkan es krim ke dalam mulut. Ingin sekali menelepon Raga, hanya saja gengsi sudah di ujung langit dan rasa ingin menguji berada pada posisi satu di tujuan hidup.
Divya mengerang, sembari menggelengkan kepala untuk menghapus semua pikiran aneh di kepala.
“Kamu kenapa?” Permana menegur.
“Hm?” Divya menatap pria itu. “Nggak apa-apa.”
“Cerita,” kata pria itu, sedikit memaksa, “suamimu dan selingkuhannya berulah lagi?”
Divya menghela napas kasar, temannya itu sangat mudah menebak apa yang ada dalam kepalanya. “Bukan suamiku, tapi selingkuhannya. Aminah kabur dari rumah, dugaan sementara pergi ke Jakarta.”
“Kamu takut dia ketemu Raga?” tebak Permana.
Meskipun Divya mengelak, pada kenyataannya memang ia takut itu akan terjadi. “Ya ... mau gimana lagi, dia suamiku.”
Permana tersenyum. “Kalau dia balikan sama selingkuhannya, ada aku yang siap gantiin posisi dia.” Pria itu terdengar tenang mengatakan hal tersebut.
“Clov,” tegur Divya.
“Mumpung masih punya waktu sendiri, sebelum nikah. Pertunangan bisa dibatalkan, bukan?”
“Clov, aku nggak suka denger yang kayak gitu.” Divya mendengkus, wajahnya sudah tak enak dipandang.
“Aku serius, Div.”
“Aku udah nggak sendiri, Clov. Kamu harus ingat itu,” sela Divya, tegas.
“Suamimu sering main di belakang, kamu juga harus ingat itu.” Permana membalas.
Divya terdiam, ini bukan Clovis yang dikenalnya. Selama ini pria itu selalu menghormati dirinya yang sudah menikah, meski beberapa kali berkata akan ikut campur jika Raga berulah lagi. Namun, itu Divya tandai sebagai bentuk rasa sayang pada sahabat. Kali ini berbeda, Permana dengan terang-terangan mengajaknya untuk berkhianat.
“Kita coba dulu,” kata Permana.
“Anterin aku pulang, sekarang.” Divya bangkit dan meraih tasnya. “Kita pulang, Nak.” Ia menggendong Raynar.
{{{
Divya tidak menyangka Permana akan mengatakan hal itu. Selama sisa perjalanan di Denpasar, ia mendiamkan Permana. Pertemuan mereka hanya sampai di bandara, kemudian Divya dan Raynar pulang ke rumah dijemput oleh Pak Umas.
Sesampainya di rumah pada hari Minggu sore, seorang wanita berdiri di depan gerbang rumahnya, membuat Divya mengerutkan kening. Mungkin ia tak pernah melihat Aminah secara langsung, tetapi Divya bukan orang bodoh. Ia yakin itu adalah Aminah.
Mobil berhenti di sebelah wanita itu, Pak Umas menunggu Mbak Nur membuka gerbang, barulah setelah itu mobil masuk ke halaman rumah. Saat Divya menengok ke belakang, terlihat Mbak Nur menahan Aminah untuk masuk. Jelas sudah, Divya bisa membaca situasi. Ternyata Raga sudah memperingatkan kepada orang rumah untuk tidak mengizinkan Aminah masuk.
Divya hargai ketegasan suaminya, meski mungkin itu hanya gimik saja. Ia dan Raynar keluar dari mobil, dan bergegas masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum! Kayla!” Divya memanggil putrinya itu.
“Mama!” sahut Kayla.
Terdengar langkah kaki berlari menuju Divya, dan itu langsung disambutnya dengan pelukan penuh rasa rindu.
“Mama bawa oleh-oleh?” tanya Kayla.
Setelah memeluk Divya, gadis kecil itu beralih memeluk Raynar. Betapa manisnya kedua anaknya itu yang saling mengobati rindu.
“Bawa dong,” Divya menjawab, “di koper, tapi Mama masih capek, Sayang.”
“Ya udah, istirahat dulu.” Kayla menggenggam tangan mama serta adiknya, dan mengajak ke ruang tengah. “Papa! Mama sama adik udah pulang!” teriaknya.
Divya bersiap menghadapi suaminya, sudah pasti Raga tidak akan memarahinya yang menonaktifkan ponsel selama di Denpasar, karena fokus suaminya sekarang adalah Aminah yang berada di depan rumah. Entah senang atau takut, itulah yang ingin Divya ketahui.
“Papa!” panggil Kayla lagi.
“Kita langsung ke kamar aja, adik sama Mama capek.”
Divya dan anak-anaknya menaiki anak tangga, di sana bisa dilihatnya Raga menunggu dengan kekalutan. Wajahnya benar-benar tidak bisa dikatakan santai.
“Div, Ma—”
Divya mengangkat tangan untuk menghentikan ucapan Raga. Ia belum ingin diganggu oleh suaminya dengan penjelasan yang tentu membela diri. Detik ini, Divya hanya ingin melepas rindu bersama Kayla dan istirahat sebentar. Nampaknya Raga langsung mengerti.
Divya dan anak-anak masuk ke dalam kamar, pria itu mengikuti dari belakang. Raga bak anak ayam, terus mengekor di belakang Divya, bahkan ikut masuk ke kamar mandi.
“Mas, aku masih mau istirahat. Bukan cuma kamu yang ingin menjelaskan, aku juga mau bertanya. Jadi, tunggu sampai aku selesai istirahat,” jelas Divya, tegas.
Raga tidak menyahuti, memilih untuk keluar kamar mandi dan menggendong Raynar. Divya melanjutkan keinginannya untuk mengguyur tubuh di bawah shower.
{{{
Sampai anak-anak sudah tertidur, Divya tidak memberikan Raga waktu untuk menjelaskan. Ia memilih mengurung diri di kamar anak-anaknya, dengan ponsel menempel di telinga.
“Halo, Pak Ivan,” sapanya.
Seharusnya sudah sedari tadi ia menelepon pria itu, tetapi selalu gagal karena Raga terus membuntutinya, membuat Divya tidak punya kesempatan untuk berbicara dengan Ivan.
“Halo, Bu Divya.”
“Tadi sore Bu Aminah ada di depan rumah saya,” ucap Divya tanpa basa-basi.
Terdengar helaan napas berat di seberang sana. Ia tahu, ini masa tersulit Ivan. Jika sekarang Divya tengah menghadapi pasangan yang mulai berubah, tetapi tidak dengan Ivan. Aminah masih saja begitu, bahkan berkhianat dengan terang-terangan.
“Bu, maaf banget mengganggu keluarga Ibu, dan maaf juga saya nggak bisa jaga istri saya, jadinya keluarga Ibu yang terganggu. Maaf banget, Bu.”
Divya tidak pernah menyalahkan Ivan. Selama ini yang salah di matanya adalah Aminah, wanita yang tak memiliki hati, bahkan lebih rendah dari sampah menurut Divya.
“Nggak apa-apa, Pak. Ini bukan salah Pak Ivan,” ujar Divya.
“Saya salah, Bu. Selamanya saya salah.” Suara pria itu terdengar bergetar.
Lagi, Divya mendengarkan kesedihan Ivan yang teramat dalam. “Pak, kalau lelah bisa istirahat, Tuhan lihat mana orang baik, dan mana yang buruk. Pasti semua ada balasannya.”
“Iya, Bu.”
Divya bukan tipe manusia yang bisa menghibur orang bersedih, tetapi kali ini ia harus bisa memberikan Ivan semangat. Biar bagaimanapun beliau adalah teman seperjuangannya.
“Sekarang, Aminah masih di rumah Ibu?”
“Udah nggak ada, Pak. Saya nggak tahu dia ke mana,” jawab Divya.
“Kalau gitu saya tutup dulu, Bu, mau hubungi teman-teman istri saya yang di Jakarta. Siapa tahu dia nginep di rumah temannya.”
“Iya, Pak. Semoga beruntung.”
“Makasih, Bu, dan saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”
Divya tersenyum miris, Aminah yang berbuat salah, dan Ivan yang selalu mengucapkan maaf. Setelah sambungan terputus, Divya berbaring di sebelah Kayla. Pintu kamar yang menghubungkan kamarnya bersama Raga, sengaja Divya kunci agar pria itu tidak bisa mengganggunya.
Banyak pertanyaan yang ingin Divya lontarkan untuk Raga. Mungkin ini akan menjadi akhir dari sabarnya, jika saja jawaban sudah tak bisa diampuni. Ia memejamkan mata, menyusun pertanyaan di kepala. Besok akan dimulainya interogasi pada sang suami.
{{{
Jan lupa follow akun aku ini juga, ya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
RomanceDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...