Belum sanggup untuk bertatap muka dengan Permana, Divya memilih meminta izin libur kerja hari ini. Seharian berada di rumah, yang Divya lakukan adalah merawat tanamannya. Sudah satu bulan lebih ia tidak berlama-lama di taman. Seperti kembali ke hari-hari di mana ia belum bekerja, Divya kadang merasa rindu dengan waktunya yang begini. Namun, itu bukan alasan untuk berhenti bekerja.
Hari sudah menjelang sore, sebentar lagi Raga akan pulang. Biasanya pria itu yang lebih dulu sampai di rumah dibanding dirinya, sekarang Divya yang menjadi penunggu. Bukan untuk bersikap romantis, tidak akan. Divya lakukan ini karena ada banyak hal yang akan ditanyakan pada Raga. Sesuatu yang lebih intens, bukan hanya soal rasa. Selama ini Divya belum menemukan jawaban atas rasa penasarannya itu.
“Div,” panggil seseorang dari arah punggung Divya.
Ia menoleh, mendapati Raga tengah berdiri di teras rumah. Pria itu tidak melengkungkan senyum, mungkin karena tatapan Divya yang membuat kaku.
“Tunggu di kamar, ada yang mau aku omongin.” Divya berdiri, menuju keran dan mencuci tangannya yang kotor karena mengurus tanaman.
Pada lirikan mata, dilihatnya Raga menuruti perkataan itu. Divya sendiri tidak mengerti mengapa pria itu selalu menurutinya, tetapi di belakang malah berkhianat. Entah, mungkin karena ancaman jadinya malah sudah seperti robot yang di-remote oleh Divya.
Meski begitu, ia bersyukur suaminya tidak seperti Aminah yang sulit diatur. Namun, bukan berarti Divya 100% percaya dengan perubahan pria itu.
Divya masuk ke dalam rumah, melewati ruang keluarga di mana Raynar dan Kayla tengah menggambar dengan ditemani oleh Mbak Nur. Tujuannya adalah kamar, sesampainya di sana, ia melihat Raga yang duduk di tepi kasur dan menunduk dalam dengan wajah frustrasi.
Seharusnya pria itu marah karena Divya mematikan ponsel selama di Denpasar, tetapi nyatanya hal itu dibuang oleh Raga, dan malah fokus dengan ketakutan soal tindakan apa yang akan Divya ambil akibat ulah Aminah.
Ia mengunci pintu, dan bersandar di sana. “Aminah udah sejauh itu nemuin Mas, pasti ada yang lebih dari sekedar pegang tangan.”
Raga mengangkat wajah, menatap Divya dengan wajah terkejut. “Kamu nuduh Mas berzinah?”
“Nggak mungkin kalau enggak, kalian selingkuh dua tahun, loh,” Divya menatap intens, “dia juga ngejar Mas sampai abaikan suaminya.”
Raga diam tak menyahuti, dan hal itu membuat hati Divya bak teriris sembilu. Terjawab sudah, seharusnya ia sudah bisa menebak akan hal itu. Runtuh sudah pertahanan Divya, sebelumnya ia masih bisa memaafkan meski sedikit. Namun, kali ini tidak. Harapan yang dipikirkannya masih ada karena Raga menuruti maunya, kini hilang sudah hanya dengan diam sebagai jawaban dari pria itu.
Air mata tak bisa dibendung lagi, rasanya lebih parah dari sebelumnya.
“Tapi Mas berani sumpah, itu hanya nafsu semata, Mas cintanya sama kamu.” Raga berdiri dari duduk, mencoba untuk mendekati Divya.
“Diam di situ,” lirih Divya, suara tegasnya yang selama ini berani mengancam Raga, kini menghilang begitu saja.
Ia membuka pintu, dan segera keluar dari kamar. Berlari menuju luar rumah, entah akan ke mana ia pergi, tempat yang ada di pikirannya hanyalah bahu Permana.
{{{
Bangunan itu berdiri kokoh, dari luar bisa Divya lihat aktivitas para pekerja yang sedang melayani para pembeli. Ia langkahkan kaki, membuka pintu, suara lonceng membuat para karyawan lain melihat ke arahnya.
Segera Divya menuju ruang kerja Permana, tanpa bertanya apakah ada pria itu di dalam sana. Para karyawan tidak memarahinya yang masuk ke ruangan tersebut dengan seenak jidat. Mereka membiarkan Divya masuk bahkan tanpa mengetuk.
“Clov,” panggilnya pelan.
Pria yang duduk di sofa, menoleh ke arahnya dan segera berdiri. Langkah Divya terbawa menuju Permana, tanpa berpikir apapun, ia menghambur ke pelukan pria itu. Tangis tak bisa dibendung, hati benar-benar hancur dibuat oleh Raga.
“Div, kamu kenapa?” Pria itu menyentuh bahunya yang bergetar, mencoba untuk melihat wajah Divya yang sudah sangat kacau.
Tidak, Divya tidak membiarkan Permana melihat kerapuhannya. Ia memang butuh pria itu, tetapi bukan untuk mengasihani, melainkan untuk membuatnya lupa bahwa tengah merasakan sakit teramat dalam. Satu tangan Permana melingkar di bahunya, dan satunya lagi mengelus rambut. Memberikan ketenangan, hal itu berhasil membuat Divya sadar bahwa selama ini ia tak sendiri.
“Kamu tenang dulu, terus cerita ke aku,” ucap Permana masih dengan mengelus rambutnya lembut.
Divya mencoba melupakan apapun itu yang mengganggu pikirannya. Kehadiran Permana dipergunakan dengan baik, beruntung pria itu sangat sayang padanya.
“Clov, aku mau ubah hidupku. Aku nggak mau dipermainkan lagi, masa bodoh dengan perasaan anak-anak, aku juga punya perasaan,” lirih Divya.
“Jangan ngomong apapun, tenangkan dulu pikiran kamu.” Permana terdengar tidak suka dengan kata-kata yang dikeluarkan Divya.
“Aku nggak butuh Raga, aku mau berakhir sekarang juga!”
{{{
Ketika terbangun, Divya merasa ruangan itu sangat asing di matanya. Entah berapa lama ia menangis di pelukan Permana, dan juga ia tak tahu bagaimana akhirnya. Divya turun dari ranjang, menuju pintu keluar. Suara alat penggorengan, menjadikan petunjuk arah ke mana akan melangkah. Didapatinya Permana tengah sibuk di dapur, berusaha membuat telur mata sapi, tetapi kelihatannya gagal.
“Biar aku yang masak,” ucap Divya.
Permana menoleh, senyum itu terkesan kikuk, sepertinya malu karena Divya melihat kelemahannya.
“Tapi aku cuci muka dulu.” Divya meninggalkan dapur tersebut, dan kembali ke kamar yang semalam ditempatinya.
Ia baru sadar, hanya membawa dompet kecil yang biasanya berisi uang belanja bahan makanan, dan malah meninggalkan ponselnya di rumah. Mungkin saja para orang rumah sedang mencarinya sejak semalam. Namun, Divya tidak peduli, di pikirannya sekarang adalah ingin menghapus semua luka.
Setelah menggosok gigi dan mencuci muka, Divya keluar dari kamar tersebut. Permana masih berada di dapur, tidak melakukan apapun. Sepertinya pria itu menunggu Divya.
“Kamu tunggu di ruang makan, aku nggak biasa masak dilihatin,” kata Divya.
Permana mengangguk, dan segera meninggalkan Divya. “Sekalian bikinin nasi goreng, yang tadi aku buat rasanya kurang enak.”
Divya mengernyit, ditatapnya sepiring nasi goreng yang berada di dekat bak cuci piring. Ia mengambil sendok dan mencicipi nasi goreng tersebut. Benar-benar asin.
“Kenapa bikin nasi goreng, kalau kamunya lebih sering sarapan pakai roti?” tanya Divya.
“Karena ada kamu.” Permana menjawab dengan lantang.
“Emangnya kamu nggak apa-apa sarapan pakai nasi?”
Permana tertawa kecil. “Kamu pikir aku bule seutuhnya? Ayahku asli Indonesia, tulen.”
Jawaban Permana membuat Divya tidak merasa ragu untuk melakukan aksi di dapur tersebut. Sebelum memulai, ia tersenyum miris pada telur mata sapi yang gagal total.
“Kamu biasanya masak sendiri?” tanya Divya sembari membuka kulkas, bahan makanan di sana sangat lengkap.
“Charles, bukan aku.”
Divya menghentikan aktivitasnya, ia menoleh pada pria yang duduk di kursi sembari menghadap ke arahnya.
“Charles bisa masak?” Divya tidak menyangka.
“Dia pernah sekolah masak, niatnya mau jadi chef tapi nyatanya nggak kesampaian.”
Divya membulatkan bibir. “Terus, sekarang dia di mana?”
“Entah, dari kemarin dia belum pulang,” jawab Permana, terlihat sama sekali tidak terganggu sang adik belum pulang ke apartemen.
Divya menduga, Charles sudah biasa meninggalkan kakaknya sendirian, bahkan berhari-hari.
**
Vote dan komeeen
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo Selingkuh, Gue Balas! ✓ (END)
RomanceDivya Arsyakayla dua kali dikhianati sang suami, Raga Bamantara. Dipikirnya satu kali ketahuan, suaminya itu akan menyesal dan tidak mengulangi lagi. Namun, nyatanya Raga masih berhubungan dengan wanita yang sama. Pada keputusasaan, menyalahkan diri...